Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka dan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar ingin mendirikan Badan Penerimaan Negara (BPN) jika memenangkan Pilpres 2024. BPN nantinya merupakan institusi hasil peleburan dari Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang akan langsung berada di bawah presiden.
Rencana pembentukan BPKS disampaikan oleh calon wakil presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming dalam debat calon wakil presiden akhir pekan lalu. Pasangan Anies - Cak Imin juga menyampaikan rencana pembetukan BPN dalam poin kedelapan visi dan misinya.
Anies dan Cak Imin ingin membentuk badan penerimaan negara yang bertanggung jawab langsung kepada presiden untuk memperbaiki integritas dan koordinasi antar instansi guna menaikkan penerimaan negara.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar mengatakan, isu pendirian BPN sudah tidak relevan lagi bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru. Ia menilai, esensi pembentukan BPN sudah dilakukan oleh DJP melalui peningkatan jumlah dan anggaran tenaga kerja. Salah satunya, menurut dia, dengan membangun core tax system yang mengoptimalkan penggunaan SDM.
Menurut dia, pembentukan BPN justru akan menyulitkan koordinasi antara lembaga pembuat kebijakan dengan pemungut pajak jika dipaksakan.
“Akan ada ego sektoral antar keduanya dan ini akan menyusahkan pemerintah setiap tahunnya terutama dalam proses penganggaran. Jadi, tak benar jika pembentukan BPN akan mendorong penerimaan pajak bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru. Terlebih jika kita memperhitungkan biayanya,” ujar Fajry kepada Katadata, Rabu (27/12).
Cawapres Gibran Rakabuming dalam debat cawapres pekan lalu menyebutkan bahwa pembentukan BPN diperlukan agar koordinasi dengan Kementerian atau Lembaga (K/L) lainnya lebih baik. Ia bahkan memasang target kenaikan rasio pajak atau tax ratio terhadap PDB yang tinggi jika terpilih yakni dari 10% menjadi 23%.
Menurut Fajry, gagasan Gibran tersebut kurang tepat.Ia menilai koordinasi dengan K/L sudah berjalan dengan baik. Ia mencontohkan, sudah adanya koordinasi yang baik antara Ditjen pajak dengan Kominfo atau kebijakan pajak karbon. Menurut dia, koordinasi antara Ditjen Pajak dengan kementerian terkait lainnya juga sudah terbangun
“Pertanyaan saya selanjutnya, koordinasi dengan K/L apa yang bisa membuat tax ratio kita meningkat dari 10% ke 23%? Toh pemerintah selama ini sudah melakukan reformasi birokrasi, administrasi, regulasi, tapi tax ratio kita masih seperti sekarang, nah apalagi yang cuma memudahkan koordinasi dengan K/L lainnya?,” ujar Fajry.
Terkait target ambisus Prabowo - Gibran untuk menaikkan rasio perpajakan, menurut Fajry, tidak perlu dilakukan dengan membentuk BPN baru. Pemerintah hanya melanjutkan reformasi perpajakan yang telah berlangsung, seperti melanjutkan core tax system atau beberapa ketentuan penting dalam Undang Undng Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang masih perlu dilanjutkan dalam pemerintahan selanjutnya, seperti anti-tax avoidance.
“Lalu melanjutkan reformasi birokrasi di tubuh DJP, penguatan SDM, semua itu lebih penting dibanding membentuk BPN,” ujar Fajry.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai poin positif dari pembentukan BPN memberikan dampak terhadap kewenangan yang lebih luas bagi pengambil kebijakan perpajakan dan kebijakan cukai.
“Misalnya mau terapkan pajak karbon, ya langsung bisa dieksekusi. Kemudian mau kejar pajak kekayaan (wealth tax) juga bisa lebih cepat masuk kantong penerimaan negara,” ujar Bhima.
Menurut Bhima pembentukan BPN dapat membantu mewujudkan cita-cita Indonesia yang memiliki rasio pajak 18%-25%pada 2045. “Apalagi Indonesia mau jadi negara anggota OECD yang rasio pajaknya tinggi butuh lembaga perpajakan yang superpower,” ujar Bhima.
Koordinasi DJP dengan lintas lembaga menurut Bhima juga dapat menjadi lebih fleksibel dan memiliki posisi yang lebih kuat karena berada langsung dibawah presiden.Bahkan DJP bisa langsung diskusi dengan DPR soal strategi perpajakan dan target pajak.
Menurut Bhima proses pemisahan DJP butuh waktu tidak sebentar dan membutuhkan anggaran yang tidak murah.
“Anggaran untuk pemisahan tidak murah, tapi biaya tadi sebenarnya sepadan dengan potensi penerimaan perpajakan yang lebih besar ” ujar Bhima.