Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin menyebut perekonomian negaranya berada dalam krisis. Ia mengatakan akan meluncurkan langkah-langkah stimulus, antara lain berupa bantuan tunai meskipun gubernur bank sentral tidak setuju dengan pendekatannya. Mengapa PM Thailand menganggap negaranya sedang krisis ekonomi?
Profesor Ekonomi Pertanian di Crawford School of Public Policy Petter Warr dalam artikelnya di laman Eastasiaforum.org menjelaskan masalah yang terjadi pada ekonomi Thailand. Pada tahun lalu, Thailand mengalami perubahan politik yang signifikan.
Pada Mei 2023, pemilu untuk memperebutkan 500 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat menghasilkan kemenangan tak terduga bagi Partai Move Forward yang reformis dengan 151 kursi. Namun, partai tersebut bukan mayoritas di parlemen. Adapun tempat kedua diisi adalah Partai Pheu Thai yang populis dengan kemenangan 141 kursi.
Keberhasilan Partai Move Forward dalam pemilu, yang sebagian besar didasarkan pada dukungannya di kalangan pemilih muda Thailand, mengejutkan sebagian besar pengamat. Agenda mereka yang berorientasi pada reformasi berpotensi mengancam posisi elit negara tersebut.
Manuver dalam senat yang beranggotakan 250 orang yang tidak melalui pemilihan menghalangi Partai Maju untuk membentuk pemerintahan. Koalisi yang dipimpin oleh Partai Pheu Thai, yang mencakup partai-partai yang mewakili pemerintahan yang didukung militer, mampu membentuk pemerintahan mayoritas. Srettha Thavisin, seorang taipan real estate dan bukan anggota parlemen terpilih, dicalonkan oleh Partai Pheu Thai sebagai perdana menteri dan diangkat pada Agustus 2023.
Situasi politik yang rumit ini terjadi dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang tengah melambat. Pertumbuhan PDB riil Thailand pada tahun 2023 diperkirakan sebesar 2,5%, terendah di Asia Tenggara setelah Myanmar. Proyeksi ekonomi Thailand untuk tahun 2024 dan seterusnya pun diperkirakan semakin lemah.
Inflasi Thailand pada tahun lalu tetap berada di bawah 1%. Angka pengangguran sebenarnya tidak menjadi masalah, tetapi masalah ada pada upah riil yang rendah. Ini karena Partai Pheu Thai dalam kampanyenya menjanjikan mencakup pemberian uang tunai kepada seluruh warga negara Thailand dan kenaikan upah minimum dalam jumlah besar.
Tak lama setelah menjabat, janji pemilu berupa pemberian uang tunai menjadi tujuan utama kebijakan. Pemerintah akan membagikan uang dalam bentuk ‘dompet digital’ sebesar 10.000 baht Thailand atau setara Rp 4,44 juta untuk setiap warga negara Thailand. Suntikan likuiditas ini akan dibiayai oleh pinjaman pemerintah sebesar 500 miliar baht atau setara Rp 222 triliun.
Inisiatif ‘dompet digital’ mungkin mempunyai manfaat redistributif sementara. Namun, para pakar hukum berpendapat bahwa pinjaman pemerintah dalam jumlah besar hanya akan sah jika situasi saat ini dianggap sebagai ‘krisis sementara’. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah stimulus permintaan masuk akal secara ekonomi?
Menurut Warr, kebijakan pemerintah tersebut salah kaprah di tengah kondisi masalah utama ekonomi Thailand saat ini. Alasan utama tetap melambatnya pertumbuhan ekonomi Thailand adalah bukan karena kurangnya permintaan. Pada periode lockdown akibat Covid-19 pada 2020-2021
Kebijakan saat ini mencerminkan kesalahpahaman mengenai masalah utama perekonomian Thailand. Alasan tetap lambatnya laju pertumbuhan ekonomi sejak Krisis Keuangan Asia bukan karena kurangnya permintaan agregat. Selama periode lockdown akibat COVID-19 pada tahun 2020–2021, teori keynes banyak digunakan pemerintahan yakni memberikan stimulus untuk mendorong permintaan. Stimulus itu memang terjadi sebagaimana mestinya saat itu.
Namun, menurut dia, masalah ekonomi Thailand pada 2023 bukan lagi soal permintaan. Permasalahan perekonomian Thailand terletak pada sisi penawaran. Lambatnya pertumbuhan produksi terjadi karena rendahnya pertumbuhan kapasitas pabrik yang berkelanjutan selama beberapa dekade sejak Krisis Keuangan Asia, terutama sejak sekitar 2006.
Apa Masalah Ekonomi Thailand Sebenarnya?
Warr menganalisis penyebab utamanya adalah rendahnya tingkat investasi swasta dan tidak memadainya bentuk investasi publik dan reformasi ekonomi untuk meningkatkan produktivitas. Tingkat investasi swasta terhadap PDB Thailand berada jauh di bawah tingkat investasi pada dekade-dekade sebelum Krisis Keuangan Asia tahun 1997–1999 dan lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dunia usaha di Thailand belum cukup percaya diri untuk berinvestasi pada kapasitas produktif mereka.
Dengan demikian, menurut dia, masalah ekonomi Thailand saat ini bukanlah kapasitas ekonomi yang tidak terpakai, termasuk pengangguran akibat rendahnya permintaan. Oleh karena itu, menurut Warr, program ‘dompet digital’ dianggap sebagai respons kebijakan terhadap masalah kekurangan permintaan yang sebenarnya tidak ada.
Mengutip CNA, Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin pada Kamis (25/1) menekankan bahwa perekonomian negara tersebut membutuhkan suntikan stimulus yang besar untuk keluar dari apa yang disebutnya sebagai "krisis". Ia juga mengatakan bahwa negara tersebut berisiko semakin tertinggal dari para pesaingnya.
Srettha dalam sebuah forum bisnis melukiskan gambaran suram bagi perekonomian yang menurutnya bermasalah dengan utang rumah tangga dan rendahnya upah bagi masyarakat miskin. Ia memperjuangkan kebijakan pembagian “dompet digital” yang menjadi ciri khasnya yaitu menyalurkan 500 miliar baht atau setara Rp 222 triliun kepada 50 juta warga Thailand. untuk dibelanjakan dalam enam bulan.
Namun demikian, Bank Sentral Thailand tak setuju jika Negeri Gajah ini disebut dalam kondisi krisis. Gubernur Bank of Thailand Sethaput Suthiwartnarueput mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari perkiraan seperti yang terjadi di Thailand saat ini bukanlah kondisi krisis seperti yang digambarkan pemerintah. Kondisi ekonomi saat ini juga tidak dapat diperbaiki dengan memberikan stimulus sementara seperti yang ingin dilakukan pemerintah dengan membagikan bantuan tunai mencapai Rp 222 triliun.
“Jika ingin meningkatkan potensi tingkat pertumbuhan jangka panjang, Anda harus melakukan hal-hal struktural. Anda harus meningkatkan produktivitas. Namun cara untuk mencapainya tidak hanya dengan melakukan stimulus jangka pendek,” kata Sethaput menanggapi pernyataan PM Thailand.
Ia juga menetapkan suku bunga bank sentral netral atau tak berubah meski pemerintah meminta penurunan suku bunga untuk menggenjot perekonomian. Suku bunga bank sentral Thailand saat ini berada di kisaran 2,5%.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan krisis ekonomi?
Market Business News mendefinisikan krisis ekonomi sebagai situasi dimana keadaan ekonomi negara memburuk secara signifikan. Penurunan ini biasanya disebabkan oleh krisis keuangan dan dapat berbentuk stagflasi, resesi, hingga depresi ekonomi. Ketika berada dalam masa krisis, nilai Produk Domestik Bruto (PDB), likuiditas, harga properti, serta saham menurun drastis.
Krisis ekonomi memiliki beberapa perbedaan mendasar dari krisis keuangan. Krisis keuangan biasanya melibatkan sektor keuangan dan perbankan. Bila suatu negara mengalami krisis keuangan, lembaga keuangan pun kehilangan kepercayaan sehingga berhenti memberi pinjaman satu sama lain.