Potensi PHK Massal, DPRD DKI Jakarta Minta Pajak Hiburan Dikaji Ulang
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta meminta pemerintah untuk mengkaji ulang pajak hiburan sebesar 40%-75%. Adapun dalam Perda DKI Nomor 1 Tahun 2024, tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa menjadi sebesar 40%.
Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi Partai Nasional Demokrat atau NasDem, Jupiter mengatakan, kenaikan pajak hiburan tersebut akan memengaruhi perekonomian masyarakat. Sebab, dikhawatirkan terjadi PHK massal bagi penyedia jasa hiburan.
“Masyarakat banyak yang terbantu karena adanya tempat hiburan tersebut, lalu jika pajaknya dinaikkan, tentu punya dampak yang kurang baik karena sepi pengunjung,” ujar Jupiter dalam keterangan resmi dikutip Selasa (20/2).
Jupiter juga mengimbau agar Pemprov DKI mengkaji kembali kenaikan pajak tersebut. “Jika Perda tersebut hanya dapat menguntungan beberapa pihak saja, mungkin sebagai pemerintah terkait harus mengkaji secara menyeluruh dan melihat dampaknya secara lebih luas lagi,” kata dia.
Pelaku Usaha akan Sulit Penuhi Pajak
Dari sisi lain, Anggota Komisi B bidang perekonomian DPRD DKI Jakarta, M. Taufik Zoelkifli mengatakan, terdapat kekhawatiran banyak pelaku usaha yang tidak sanggup memenuhi kewajiban untuk membayar pajak. Terutama bagi kalangan pelaku usaha menengah ke bawah.
Untuk itu, dia merekomendasikan penetapan pajak hiburan sebesar 40% sebaiknya hanya berlaku bagi tempat hiburan kalangan atas. Dengan demikian, tidak seluruh tempat hiburan dibebankan dengan pajak hingga 40%.
Selain itu, kata dia, pemberlakuan besaran pajak tersebut pada dasarnya membawa pengaruh positif terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kota Jakarta. “Jadi saya kira, harus ditinjau ulang. Artinya dicari pos-pos yang bisa dipajakin. Jadi pendapatan atau perusahaan yang memang konsumennya itu menengah ke atas,” ujar Taufik.
Akan Membuat Usaha Gulung Tikar
Diberitakan sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI berencana tidak mengindahkan pajak hiburan dengan tarif baru atau menjadi 40% sampai 75%. Hal tersebut merupakan konsekuensi implementasi Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 yang berlaku awal tahun ini.
Ketua Umum GIPI, Hariyadi Sukamdani berargumen, pajak tersebut akan membuat usaha diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan spa domestik gulung tikar. Sebab, dasar perhitungan pajak tersebut adalah pendapatan kotor, sedangkan pendapatan bersih kelima usaha tersebut rata-rata hanya 10% dari pendapatan kotor.
"Kami akan menerbitkan surat edaran kepada usaha yang terdampak pajak hiburan baru yang intinya mengimbau mereka mengikuti tarif pajak hiburan yang lama," kata Haryadi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (7/2).
Haryadi menekankan, langkah tersebut bukan bentuk mengemplang pajak. Namun perlu dilakukan agar pengusaha di industri hiburan bisa bertahan sampai pemerintah daerah menggunakan diskresi pemberian insentif pajak hiburan.
Untuk diketahui, Kementerian Dalam Negeri telah menginstruksikan kepala daerah untuk memberikan insentif pajak hiburan hingga 40%. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 101 UU No. 1 Tahun 2022.