Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25% pada Rabu (24/4). Kemudian menaikkan suku bunga deposito facility sebesar 25 bps menjadi 5,50% dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 7,00%.
Ini merupakan kenaikan suku bunga pertama untuk tahun 2024 setelah kenaikan 25 bps menjadi 6% pada Oktober 2023 lalu. Kenaikan suku bunga ini untuk mengatasi pelemahan rupiah yang kini berada di level Rp 16.155 per dolar AS.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan, alasan menaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, sebagai langkah preventif dan memastikan inflasi tetap terkendali.
"Hal ini untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5% plus minus 1% pada 2024 dan 2025, yang sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro stability," kata Perry dalam konferensi pers, Rabu (24/4).
Selain menaikkan suku bunga, bank sentral juga terus memperkuat kebijakan moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran agar tetap tumbuh dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
"Pelonggaran kebijakan makroprudensial akan terus ditempuh untuk mendorong penyaluran kredit perbankan ke dunia usaha dan rumah tangga," kata Perry.
Tak hanya itu, kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk tetap memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.
Terhitung mulai 21 Desember 2023, BI menggunakan nama BI Rate sebagai suku bunga kebijakan menggantikan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate untuk memperkuat komunikasi kebijakan moneter.
Penguatan Dolar AS dan Kebijakan The Fed Jadi Pertimbangan
Kenaikan suku bunga BI sesuai prediksi Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Andry Asmoro pada Rabu (23/4). Dia sempat mengatakan, terdapat ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Ia memperkirakan potensi kenaikan suku bunga acuan BI pada tahun ini, seiring dengan menguatnya dolar AS terhadap mata uang lain termasuk rupiah, ditambah lagi dengan penurunan ekspektasi bahwa bank sentral AS, The Fed akan segera menurunkan suku bunga.
“BI mungkin masih berpikir untuk hold dulu. Walaupun ruang naiknya ada, kalau memang rupiah tembus Rp 16.500 per dolar AS dan outflow juga masih terus terjadi,” ujar Andry dikutip dari Antara, Selasa (23/4).
Ia mengungkapkan, tantangan saat ini adalah kenaikan harga komoditas terutama minyak mentah akibat konflik di Timur Tengah, yang akan menyebabkan kenaikan tingkat inflasi di berbagai negara.
Dengan kenaikan tingkat inflasi tersebut, maka berbagai bank sentral dunia termasuk The Fed berpotensi masih akan menerapkan era tingkat suku bunga tinggi alias higher for longer.
“Kan higher for longer. Otomatis potensi untuk ekspektasi pertumbuhan ekonominya jadi terbatas, karena inflasi, biaya kredit jadi tetap mahal. Itu kan implikasinya,” ujar Andry.
Ia memperkirakan, The Fed baru akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada September 2024, yang semula diproyeksikan turun pada pertengahan tahun 2024.
“Dari peluang market terakhir itu, baru kemungkinan pemangkasan suku bunga pada September 2024. Tapi, kalau dilihat dari peluang masih imbang sekitar 40%,” ujar Andry.