Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12% pada 2025 bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi, menurut Institute for Development of Economics and Finance atau Indef.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti mengungkapkan, Indef pernah menghitung dampak ke perekonomian jika PPN naik menjadi 12,5% pada 2021. Hasilnya sebagai berikut:
- Upah nominal masyarakat turun 5,86%
- Indeks Harga Konsumen atau IHK susut 0,84%
- Konsumsi masyarakat melemah 3,32%
- Ekspor terkontraksi 0,14%
- Impor turun 7,02%
- Pertumbuhan Produk Domestik Bruto atau PDB turun 0,11%
“Ini hitungan Indef pada 2021,” kata Esther dalam diskusi publik Indef, Kamis (12/9). “Pertumbuhan ekonomi terkontraksi karena konsumsi masyarakat turun.”
Oleh karena itu, Esther mengingatkan bahwa rencana menaikkan PPN 12% tahun depan akan berdampak negatif kepada masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengatakan, pemberlakuan PPN 12% pada 2025 bertujuan meningkatkan penghasilan negara dari sektor pajak. Langkah ini juga diharapkan berkontribusi terhadap pengendalian rasio utang pemerintah.
"Targetnya yakni kenaikan pendapatan dari perpajakan. Rasio utang aman," kata Airlangga di Kolase Kanisius, Jakarta Pusat pada Sabtu (11/5).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, kepastian tarif PPN menjadi 12% masih terus dibahas bersama Presiden terpilih Prabowo Subianto. “Kami terus berkomunikasi dan konsultasi dengan presiden terpilih,” kata dia saat ditemui di Gedung DPR, Selasa (27/8).
Rencana kenaikan pajak tersebut masih dalam perhitungan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025. Kepastian mengenai besaran PPN akan tertuang dalam APBN.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa detil kebijakan PPN sebesar 12% akan disampaikan Prabowo saat resmi dilantik sebagai presiden baru.
Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN secara bertahap dari semula 10% menjadi 11% tahun ini dan 12% tahun depan. Rencana ini diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.