Potensi Besar Industri Rempah, Sayang Masih Diekspor Mentah

ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/foc.
Potensi industri rempah Indonesia diperkirakan mencapai Rp3.000 triliun per tahun, menciptakan kesempatan untuk hilirisasi yang akan memperkuat posisi di pasar global.
12/10/2024, 20.54 WIB

Potensi industri rempah Indonesia diperkirakan mencapai Rp 3.000 triliun. Sayangnya, banyak rempah yang saat ini masih diekspor dalam bentuk mentah, akibatnya terjadi penurunan nilai ekonomi.

Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Rantai Pasok Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ali, menjelaskan, potensi ekonomi sektor rempah dari hulu hingga hilir, dapat mencapai angka tersebut setiap tahunnya.

Namun, meskipun angkanya sangat menjanjikan, kenyataannya potensi ini belum sepenuhnya dikelola dengan baik dan kurang terintegrasi secara optimal. Dengan meningkatkan pengolahan dan hilirisasi, Indonesia bisa mengoptimalkan nilai tambah dari rempah-rempahnya, membuka peluang ekonomi yang lebih luas bagi petani dan pelaku industri.

“Ada BUMN asal Cina yang sudah bermain rempah di Indonesia selama 35 tahun melalui jalur yang tidak terekam secara formal. Maka, kita akan memetakan satu persatu, membuat satu ekosistem bisnis yang menjadikan koperasi dan UMKM sebagai tulang punggungnya,” kata Ali dalam keterengan resmi, Sabtu (12/10).

Ali menjelaskan bahwa strategi dari hulu ke hilir akan menghubungkan para petani skala mikro dan kecil dengan industri yang berperan sebagai offtaker di tingkat menengah dan besar. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan konektivitas yang solid antara produsen dan pemroses, sehingga ekosistem bisnis rempah dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.

Dengan adanya koneksi ini, setiap elemen dalam rantai pasok mulai dari penyedia bahan baku hingga produsen akhir akan saling mendukung, menciptakan sinergi yang kuat.

Hal ini diharapkan tidak hanya menjamin keberlangsungan bisnis rempah nusantara, tetapi juga meningkatkan nilai tambah dari proses pengolahan, sehingga produk rempah Indonesia dapat bersaing lebih baik di pasar global.

Dengan pengelolaan yang terintegrasi, diharapkan industri rempah tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga mampu menembus pasar internasional secara efektif.

"Semua terkoneksi, sampai pada akhirnya mengarah ke kata kunci yaitu hilirisasi," ujar Ali.

Ali mengungkapkan para pelaku usaha dan asosiasi rempah akan menginisiasi agar ke depan Indonesia memiliki lembaga atau badan khusus yang menangani industri rempah nusantara.

"Ini untuk mencapai kejayaan rempah nusantara," kata Ali.

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki melarang hasil bumi seperti tambang, perkebunan, pertanian, hingga komoditas kelautan, tidak boleh lagi diekspor dalam bentuk bahan mentah, termasuk rempah, melainkan harus melalui proses hilirisasi.

"Harus kita olah, harus kita hilirisasi, supaya kita mendapat nilai tambah ekonomi dari sumber daya kita, termasuk juga di dalamnya bisa menciptakan lapangan kerja," kata Teten.

Untuk mencapai minimum pendapatan perkapita USD 13.200 sebagai negara maju, Teten menyebut Indonesia harus membangun industri yang berkelanjutan, yang mengolah bahan baku yang ada di Indonesia. Hari ini, Indonesia baru mencapai USD 5.000 perkapita.

Pada era 1980-an, kata Teten, banyak masuk industri manufaktur dari luar, namun menjadi sunset industry karena bahan baku tidak ada di Indonesia.

"Kita tidak akan mengulang pengalaman itu. Kita harus membangun industri berbasis keunggulan domestik. Salah satunya, bahan baku kita punya seperti nikel, bauksit, rumput laut, dan juga rempah," kata Teten.

Khusus rempah, Teten mencontohkan bisa dihilirisasi di industri bumbu, selain juga bisa diolah untuk masuk rantai pasok bagian industri farmasi, makanan-minuman, dan industri kecantikan.

"Kita harus samakan visi semua pihak untuk merancang bangun desain program mengarah ke hilirisasi rempah," kata teten.

MenKopUKM mencontohkan komoditas nilam yang diolah menjadi minyak atsiri dengan standar industri.

"Sekarang minyak nilam dari Aceh sudah bisa langsung dikirim ke Paris untuk bahan baku industri wewangian. Industri parfum dunia, kebutuhan nilamnya 80 persen yang dipasok dari Indonesia,” kata Teten.

Selain nilam, juga sudah ada hilirisasi komoditas cabai yang diolah menjadi pasta, sehingga memiliki rantai nilai ekonomi yang lebih panjang. Begitu juga dengan cokelat yang juga sudah ada pabrik pengolahannya.

"Rempah bisa dikembangkan dan diolah menjadi bumbu untuk masuk ke pasar dunia. Makanan Indonesia masih tertinggal bila dibanding Thailand dan Vietnam. Mereka jauh dikenal masyarakat dunia," kata Teten.

Reporter: Selfie Miftahul Jannah