Aturan DHE Disorot Prabowo, Para Ekonom Ungkap Masalahnya
Presiden Prabowo Subianto memanggil sejumlah menteri kemarin, Minggu (12/10), untuk membahas isu strategis. Salah satunya evaluasi Peraturan Pemerintah soal devisa hasil ekspor atau DHE yang dianggap belum maksimal.
Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurrahman mengungkapkan sejumlah masalah utama yang Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2025 tentang Perubahan atas PP Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE.
Kebijakan ini mewajibkan eksportir di sektor pertambangan (kecuali migas), perkebunan, kehutanan, dan perikanan untuk menempatkan 100% DHE di dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan.
“Masalah utama kebijakan DHE sebenarnya bukan terletak pada kewajiban menempatkan dolar di dalam negeri, melainkan pada efektivitas desain dan insentifnya,” kata Rizal kepada Katadata.co.id, Senin (13/10).
Secara konseptual, Rizal menjelaskan, tujuan DHE adalah memperkuat cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar. Namun dalam praktiknya, implementasi di lapangan masih bersifat administratif ketimbang ekonomis.
“Banyak eksportir menempatkan devisa hanya sebatas memenuhi kewajiban formal diparkir untuk jangka waktu minimum tanpa ada konversi riil ke rupiah sehingga dampak terhadap suplai valas domestik dan penguatan rupiah sangat terbatas,” ujarnya.
Dari sisi pelaku usaha, persoalannya lebih kepada return (imbal hasil) dan instrumen. Imbal hasil deposito valas di perbankan nasional relatif rendah, sedangkan produk lindung nilai atau hedging belum kompetitif dibandingkan fasilitas di luar negeri.
“Akibatnya, pelaku ekspor merasa tidak ada value added (nilai tambah) ketika menempatkan devisa di bank domestik. Padahal, secara makro, kebijakan ini diharapkan menciptakan efek berantai terhadap likuiditas, pembiayaan, dan stabilitas kurs,” katanya.
Ia menilai evaluasi yang digagas Prabowo perlu dibaca sebagai momentum untuk mengoreksi desain kebijakan agar lebih efisien dan propelaku usaha. Artinya, pemerintah tidak cukup hanya mewajibkan penempatan DHE, tetapi juga harus memastikan ada insentif yang membuat eksportir betah dan merasa diuntungkan.
“Mekanisme suku bunga valas yang kompetitif, instrumen investasi berbasis valas yang produktif, serta kemudahan birokrasi menjadi kunci agar kebijakan ini tidak menimbulkan efek compliance without impact (kepatuhan tanpa efek),” ujar Rizal.
DHE Berisiko Jadi Kebijakan Kosmetik
Rizal menekankan, jika pemerintah tidak melakukan perbaikan desain, DHE berisiko hanya menjadi kebijakan kosmetik. “Ini seperti patuh di atas kertas tapi minim dampak terhadap fundamental ekonomi,” kata Rizal.
Evaluasi yang sedang dilakukan sebaiknya bukan sekadar relaksasi. Ia meminta pemerintah bisa menciptakan langkah rasional untuk menjadikan DHE sebagai instrumen yang benar-benar memperkuat stabilitas eksternal sekaligus menjaga iklim usaha tetap sehat dan kompetitif.
Beban Biaya untuk Eksportir
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan kebijakan DHE belum optimal. Hal ini karena desainnya menambah likuiditas dalam negeri tanpa cukup menyesuaikan kebutuhan arus kas eksportir.
“Kewajiban memarkir 100% DHE selama 12 bulan mengikat modal kerja banyak subsektor yang hidup dari perputaran cepat dan margin tipis, sehingga kepatuhan terasa sebagai beban biaya, bukan pendorong daya saing,” kata Syafruddin.
Data aliran DHE memang meningkat dan konversi ke rupiah mendekati 80%. Namun, menurut dia, hasil makronya belum sepadan dengan biaya mikro di tingkat perusahaan.
“Ini terlihat dari dorongan pelaku usaha yang meminta peninjauan karena risiko rantai produksi memanas hingga potensi pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujar Syafruddin.
Kebijakan DHE Ditinjau Ulang
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan dari hasil rapat yang dilakukan Prabowo, kebijakan DHE disebut belum berjalan maksimal. Padahal, eksportir telah diwajibkan menyimpan dana hasil ekspor sumber daya alam di bank lokal lewat PP Nomor 8 Tahun 2025.
"Evaluasi sejauh mana efektivitas dan dampak terhadap diberlakukannya DHE. Dari yang kami terapkan, hasilnya belum cukup menggembirakan," kata Prasetyo di Kertanegara, Jakarta, Minggu (12/10) dikutip dari Antara.
Prasetyo mengatakan, masih ada beberapa celah dalam PP yang akan menjadi bahan evaluasi. Hal ini membuat para eksportir tak menempatkan dananya di bank yang ada di Indonesia.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan pemerintah akan meninjau kembali kebijakan itu. Ia juga menyebut kebijakan itu belum memberikan hasil yang positif.
“Tapi kelihatannya hasilnya belum betul-betul berdampak ke jumlah cadangan devisa kita. Jadi Bank Indonesia mungkin akan melihat lagi,” kata Purbaya di Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (13/10).
Namun Purbaya mengatakan belum mengetahui secara detail evaluasi kebijakan itu. Ia menyatakan Prabowo akan menyampaikan secara langsung berkaitan dengan evaluasi kebijakan DHE.