Cina mencatat pertumbuhan ekonomi terendah dalam setahun pada kuartal III 2025. Dilansir dari BBC, produk domestik bruto (PDB) negara itu hanya tumbuh 4,8% dibandingkan periode yang sama pada 2024.

Perlambatan ekonomi tersebut terjadi di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat. Sebagai respons terhadap kebijakan AS, pemerintah Cina memberlakukan kontrol ketat terhadap ekspor tanah jarang atau mineral penting dalam produksi berbagai perangkat elektronik global.

Kebijakan ini justru memperburuk hubungan perdagangan kedua negara. Padahal, perekonomian Cina selama ini masih sangat bergantung pada kinerja ekspor.

Selain itu, sektor properti yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Cina juga mengalami tekanan berat. Dosen Ekonomi Universitas Teknologi Nanyang, Laura Wu.

Hal ini ditandai pasar perumahan mengalami penurunan tajam, ditandai dengan turunnya harga rumah, penjualan yang melemah, serta banyaknya pengembang yang menelantarkan proyek-proyeknya.

Harga rumah turun di hampir setiap kota besar di Cina, meski pemerintah telah memberikan berbagai bentuk dukungan.

Bagaimana Dampaknya ke RI?

Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menilai perlambatan ekonomi Cina bukan sekadar isu siklikal.

“Ini mencerminkan transisi struktural ekonomi terbesar dunia dari orientasi ekspor ke penguatan domestik,” kata Rizal kepada Katadata.co.id, Selasa (21/10).

Menurutnya, dampak perlambatan ekonomi Cina terhadap negara lain sangat bergantung pada seberapa kuat keterkaitan ekonomi masing-masing negara dengan Cina, serta kesiapan kebijakan domestik dalam merespons guncangan eksternal.

Bagi Indonesia, Rizal menyebut pelemahan ekonomi Cina membawa dua sisi sekaligus. “Ada risiko jangka pendek, tetapi juga peluang jangka menengah,” ujarnya.

Dari sisi risiko, kontraksi permintaan industri Cina akan langsung menekan ekspor unggulan Indonesia seperti batu bara, nikel, dan CPO. Penurunan permintaan ini juga berpotensi menekan harga komoditas global.

“Akibatnya, potensi perlambatan bisa terasa pada sektor penerimaan devisa dan ruang fiskal ekspor,” kata Rizal.

Selain itu, potensi perlambatan investasi asal Cina, terutama di proyek smelter dan infrastruktur, dapat memperlambat realisasi hilirisasi industri nasional yang menjadi andalan pemerintah.

“Artinya, guncangan ini bukan semata eksternal, tapi juga bisa menguji delivery capacity program ekonomi nasional yang masih bergantung pada modal dan permintaan dari luar negeri,” ujarnya.

Meski demikian, Rizal menilai momentum ini dapat dimanfaatkan untuk memperkuat daya tahan struktural ekonomi Indonesia. Ia menjelaskan, saat Cina menyesuaikan model pertumbuhannya, Indonesia perlu mempercepat diversifikasi pasar ekspor ke India, Timur Tengah, dan Afrika.

“Indonesia perlu mendorong transformasi industri agar tak lagi hanya menjual bahan mentah,” kata Rizal.

Perdagangan RI dengan Cina akan Menurun

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai perlambatan ekonomi Cina akan berdampak bagi ekonomi dunia. Hal ini dikarenakan Cina merupakan partner dagang utama bagi sekitar 120 negara di dunia, termasuk Indonesia.

“Ekonomi kita juga akan terpengaruh melalui perdagangan dan investasi,” kata Wijayanto.

Menurut Wijayanto, jika ekonomi Cina melambat maka perdagangan Indonesia dengan Cina akan menurun. Padahal Cina adalah partner dagang terpenting Indonesia dengan kontribusi 23% dari total ekspor dan 31% dari total impor.

Dia juga menyoroti aliran investasi Cina ke Indonesia juga berpotensi terganggu. Pada 2024, Cina mewakili sekitar 38% total investasi langsung asing ke Indonesia, sementara tahun ini diperkirakan akan sama atau lebih dominan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti