Pertumbuhan Ekonomi RI 2026 Terancam Tidak Tembus 5%, Investasi Belum Ekspansif

Katadata/Fauza Syahputra
Suasana gedung bertingkat di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (4/11/2025). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2025 mencapai 5,04% secara tahunan.
21/11/2025, 14.01 WIB

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan terancam tidak bisa melampaui 5%. Padahal, pemerintah sudah membidik ekonomi RI perlu mencapai 5,4% jika ingin pertumbuhan selanjutnya bertahap tembus 8%. 

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan ekonomi RI pada 2026 hanya bisa mencapai 5%. Sementara itu, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) juga memprediksi ekonomi Indonesia pada 2026 hanya berada di rentang 4,9% hingga 5,0%.

Kedua lembaga ini mengingatkan ekonomi RI ini tidak akan mampu bergerak jauh dari level 5% karena dipengaruhi berbagai faktor. Baik kondisi domestik maupun juga ekonomi global yang dilanda ketidakpastian.

Ketidakpastian Global Meningkat

Direktur Program Indef Eisha Rachbini mengatakan proyeksi pertumbuhan ekonomi RI ini karena mempertimbangkan sejumlah hal, salah satunya ketidakpastian global yang meningkat.

“Ketidakpastian global cenderung meningkat masih tinggi,” kata Eisha dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2026 yang disiarkan secara daring, Kamis (20/11).

Dalam Dokumen Indef bertajuk Menata Ulang Arah Ekonomi Berkeadilan, dijelaskan meningkatnya ketidakpastian global ini karena kondisi geopolitik. Begitu juga dengan perlambatan ekonomi Cina hingga fragmentasi perdagangan.

Semua kondisi itu berdampak kepada ekonomi global. Sebab, gejolak ekonomi global ini turut menekan ekspor, arus modal, dan nilai tukar yang juga terasa bagi Indonesia.

Rapuhnya Konsumsi Masyarakat

Tak hanya faktor global, ekonomi RI juga masih terus dihadapkan tantangan memulihkan konsumsi masyarakat pada 2026. Daya beli yang tertekan pada 2025 juga belum pulih dan diproyeksikan masih akan berdampak pada tahun depan.

“Pemulihan konsumsi domestik yang juga masih rapuh dan akibat mungkin nanti ke depan akan ada inflasi, tekanan harga pangan dan energi, daya beli yang juga mungkin masih belum pulih,” kata Eisha.

Indef mengungkapkan, dalam delapan triwulan terakhir atau sejak kuartal I 2024, konsumsi rumah tangga terus berada di bawah 5%. Terakhir kali konsumsi rumah tangga bisa di atas 5% yaitu pada kuartal IV 2023 yang mencapai 5,05%.

Dalam tiga kuartal terakhir tahun ini, tercatat pada kuartal III 2025 konsumsi masyarakat hanya di level 4,89% yoy, kuartal II mencapai 4,97%, dan pda kuartal I 2025 juga masih di level 4,95%.

Eisha mengatakan sub sektor yang menunjukan leisure atau wisata juga bahkan belum bisa menunjukan perbaikan. Hal ini seperti restoran, hotel, transportasi, dan komunikasi.

“Padahal sub sektor tersebut diperkirakan meningkat seiring pemberian stimulus fiskal untuk sektor transportasi dan subsidi upah di bulan Juni-Juli 2025,” ujarnya.

Investasi Belum Ekspansif dan Lesunya Pasar Tenaga Kerja

Eisha mengungkapkan pertumbuhan ekonomi pada tahun depan yang akan stagnan di level 5% juga karena investasi yang belum ekspansif dan lesunya pasar tenaga kerja.

“Investasi ini karena tidak produktif atau hanya cenderung pada proyek-proyek padat modal yang memiliki pengganda kecil, multiplier yang kecil,” kata Eisha.

Lalu di sisi lain pasar tenaga kerja juga masih lesu karena didominasi sektor informal dan skill mismatch. Hal ini membuat kenaikan pendapatan rumah tangga masih terbatas.

Stimulus dan Subsidi Tidak Boleh Diandalkan

Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky mengungkapkan pemerintah tidak boleh mengandalkan stimulus dan subsidi untuk menggerakan ekonomi. Jika ini terus diandalkan maka tekanan pertumbuhan ekonomi pada 2026 masih akan terus berlanjut.

Riefky menjelaskan, untuk sisa tahun 2025, Indonesia harus beralih dari meluncurkan solusi sementara seperti subsidi dan stimulus fiskal. “Ini perlu dilakukan menuju penanganan permasalahan struktural dan menerapkan deregulasi besar-besaran,” kata Riefky.

Ia menilai hal ini perlu dilakukan sambil meningkatkan kepastian hukum dan ketertiban serta regulasi. Jika berhasil, reformasi tersebut dapat menggeser lintasan pertumbuhan Indonesia yang tidak hanya meningkat, tetapi juga menuju jalur pertumbuhan yang lebih berkualitas dan inklusif.

Jika pemerintah gagal melakukan hal tersebut, Riefky menyebut nantinya akan memperpanjang tekanan ekonomi hingga 2026 dan seterusnya. “Pada akhirnya, kuncinya terletak pada pemfokusan kembali upaya kebijakan pada isu-isu mendasar yang sebenarnya yaitu produktivitas, penciptaan lapangan kerja, daya beli, dan iklim bisnis secara keseluruhan,” ujar Riefky. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti