Jiwasraya dan Pekerjaan Rumah Erick Thohir

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Menteri BUMN: Erick Thohir di halaman Istana Merdeka, Jakarta Puaat (23/10/2019). Hari ini presiden Joko Widodo mengumum para calon Menteri dan Pejabat Setingkat Menteri Periode Tahun 2019-2024.
Penulis: Irvan Rahardjo
8/11/2019, 09.30 WIB

Kedua, terkait dengan 474 nasabah Saving Plan warga Korea Selatan (Korsel) yang membawa persoalan gagal bayar Jiwasraya tersebut ke parlemen Korsel dan direncanakan menjadi agenda pertemuan kedua kepala negara November ini, kita teringat pada kasus Melinda Dee. Pegawai Citibank Indonesia itu membobol dana nasabah hingga puluhan miliar selama 2007-2011. Pada waktu itu timbul desakan untuk menerapkan asas resiprokalitas dan asas nasionalitas dalam revisi UU Perbankan dan UU tentang Bank Indonesia (BI).

Peristiwa pembobolan dana nasabah yang dilakukan Melinda Dee menunjukkan pengawasan internal Citibank Indonesia lemah. Hal ini diperburuk dengan ketidakpatuhan Citibank terhadap peraturan dan instruksi BI tentang persyaratan sertifikasi pejabat bank dan rotasi karyawan.

Komisi XI DPR ketika itu menyatakan bahwa kelalaian dan ketidakpatuhan Citibank terhadap pengawasan peraturan dan instruksi BI, serta lemahnya pengawasan BI menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Melinda Dee dan merugikan kepentingan nasabah. Analogi kasus nasabah asing Jiwasraya dengan kasus Melinda Dee menimbulkan pertanyaan, apakah petugas bank telah memberikan konsultasi yang transparan dan akuntabel kepada nasabah terkait dengan produk asuransi Jiwasraya yang berbalut investasi?

Asuransi Jiwasraya (Dok. Jiwasraya)

Sinkronisasi Kebijakan OJK dan BI

Ketiga, kebijakan investasi dan pengelolaan aset perusahaan asuransi yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi perlu disinkronkan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang penilaian kualitas aset perbankan. Kebanyakan perusahaan asuransi tidak mendetailkan peraturan dari regulator di lingkup internal perusahaan, termasuk membuat kebijakan portofolio untuk investasi, tidak menerapkan manajemen risiko, dan GCG.

Perusahaan asuransi umumnya sangat berorientasi pada pencapaian top line (pendapatan premi) dengan mengabaikan bottom line (laba usaha). Bahkan, dengan rezim tarif yang menjanjikan laba super normal sekalipun sebanyak 52 asuransi umum (71,23%) dan 35 asuransi jiwa (68,82%) tercatat membukukan rasio beban (klaim, beban usaha, dan komisi) terhadap pendapatan premi neto di atas 100%. Ini berarti perusahaan menghasilkan rugi operasional dengan hanya mengandalkan hasil investasi (Biro Riset Infobank, 2018).

Pengawasan terintegrasi OJK antara sektor bank dan non-bank belum sepenuhnya efektif, masih menggunakan mindset yang terkotak kotak. Sebagai perbandingan, sejak krisis 1998 pengaturan bank oleh BI lebih berhati-hati dan ada penguatan aturan, lebih transparan, dan akuntabel.

Untuk penguatan kehati-hatian dibuat aturan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), posisi devisa neto, gearing ratio, dan kualitas aktiva produktif yang lebih ketat. Penguatan peraturan dilakukan dengan memperkuat kelembagaan seperti pendirian, kepemilikan, kepatuhan, direksi, komisaris, dan internal audit.

Audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2016 atas pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan, dan biaya operasional 2014-2015 Jiwasraya menghasilkan banyak temuan. Di antaranya, BPK menyebutkan Jiwasraya berpotensi menghadapi risiko gagal bayar atas transaksi investasi pembelian surat utang jangka menengah (medium term notes) PT Hanson Internasional Tbk (MYRX).

BPK mempertanyakan kebijakan manajemen menjadi investor terbesar di instrumen investasi tersebut. Pasalnya, manajemen menempatkan dana Rp 680 miliar dengan imbal hasil 12%, jauh di atas bunga deposito perbankan yang pada umumnya sebesar 6%. Temuan ini hingga kini belum ditindaklanjuti oleh aparat terkait. Terlebih dengan rilis Satgas Waspada Investasi OJK baru-baru ini yang menyatakan ribuan nasabah menjadi korban kegiatan penghimpunan deposito ilegal hingga mencapai triliunan rupiah dari emiten properti PT Hanson International Tbk (MYRX), yang diduga melakukan pelanggaran atas UU Perbankan.

Keempat, Jiwasraya perlu melanjutkan program transformasi dan turn around strategi. Di antaranya, dengan mengoptimalkan digitalisasi dan mengubah sistem kantor cabang berbasis biaya tetap yang diterapkan selama ini, dengan strategi General Agency System (GAS) yang berbasis biaya variabel. Dengan GAS, operasi kantor cabang dan kantor wilayah ditiadakan. Karyawan menjadi mitra usaha atau agen sehingga secara drastis akan menekan beban biaya tetap.

Guna meningkatkan efisiensi, Jiwasraya telah memangkas 8.000 agen tradisional menjadi 2.000 agen yang berkualifikasi perencana keuangan (financial planner). Yang terpenting, Jiwasraya harus memperbaiki model bisnis korporasi berbasis business to business (B to B) untuk meniadakan praktik agen fiktif dan penumpang gelap yang membebani perusahaan selama ini.

Dengan berbagai terobosan yang telah dan akan dilakukan, kami yakin Erick Thohir dapat menuntaskan PR-nya dengan baik. Selamat bekerja.

Halaman:
Irvan Rahardjo
Pendiri Komunitas Penulis Asuransi Indonesia ( KUPASI )

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.