Salah satu keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK yang harus diakui adalah telah terciptanya stabilitas makro ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berlangsung secara berkesinambungan meskipun pada kisaran 5 persen, tidak setinggi janji kampanye yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengeh (RPJM), yakni 7 persen rerata setahun, sedangkan inflasi dan suku bunga terkendali.
Sudah beberapa kali Idul Fitri terakhir kita rayakan tanpa dihantui lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok. Inflasi selama hampir lima tahun terakhir reratanya hanya 3,1 persen, tak sampai separuh dari rerata lima tahun sebelumnya dan jauh lebih rendah dalam dua dekade terakhir.
Teori ekonomi yang sama-sama pernah kita pelajari menyebutkan selama ada pertumbuhan ekonomi sedangkan inflasi terkendali, maka daya beli masyarakat pun terpelihara. Mereka yang mengatakan daya beli masyarakat Indonesia merosot, mungkin kurang cermat mempelajari teori itu, atau sengaja mengabaikannya.
Pengalaman ikut serta menjalani proses kelahiran era reformasi menunjukkan secara jelas betapa gelombang unjuk rasa menentang Orde Baru sedemikian kuat dan efektif karena didukung oleh segenap lapisan masyarakat, khususnya ibu-ibu rumah tangga.
Mereka yang langsung merasakan kian sulitnya mencukupi uang belanja setiap bulan sampai rela memecah celengan demi membantu menyediakan sekadar air mineral dan nasi bungkus bagi para mahasiswa yang tengah berjuang di jalanan. Situasi di era perjuangan kemerdekaan ketika para ibu rela mengeluarkan simpanan beras terakhir untuk membuka dapur-dapur umum terjadi lagi ketika itu.
Tetapi selama masa kampanye pemilihan umum 2019 yang hiruk-pikuk ini, sama sekali tidak ada gerakan massal seperti itu. Secara umum ibu-ibu tidak merasa perlu harus ikut atau mendukung unjuk rasa. Mengapa? Karena mereka merasa baik-baik saja, jauh dari ancaman kenaikan harga yang mencekam.
Yang ramai sebatas di media sosial dan panggung kampanye, oleh ibu-ibu pendukung aktif kubu penantang. Tidak perlu pemahaman canggih untuk sekadar mengetahui bahwa segelintir ibu-ibu yang tampil sebagai aktivis politik dadakan itu sama sekali tidak mewakili kaum ibu secara keseluruhan.
Bagaimana mungkin muncul hantu kenaikan harga-harga kebutuhan hidup jika harga BBM justru diturunkan, tarif listrik sudah hampir empat tahun tidak naik, subsidi listrik untuk kelompok pelanggan 900 KVA yang dihapus pada awal 2018 kembali dihidupkan kembali, tarif angkutan rakyat seperti TransJakarta tak pernah sekalipun dinaikkan; tarif angkutan kereta api Jabodetabek masih memperoleh skema PSO (public service obligation) yang dikucurkan dari APBN; harga kebutuhan pokok pangan seperti beras, gula pasir, dan minyak goreng diawasi ketat oleh “polisi pasar” (Satgas Mafia Pangan) yang dikomandani jenderal polisi berbintang satu.
Tak pelak lagi, laju inflasi relatif rendah bertahan paling lama sepanjang sejarah. Terlepas dari cara pemerintah mengendalikan inflasi, fakta kasat mata menunjukkan tidak ada lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Data perbaikan keamanan pangan juga menjelaskan demikian adanya. Dalam empat tahun terakhir, peringkat Global Food Security Index (GFSI) Indonesia naik sembilan peringkat, dari urutan ke-74 pada 2015 menjadi urutan ke-65 pada 2018, dengan peningkatan skor dari 46,7 menjadi 54,8. Inti pesan dari indikator tersebut adalah akses pangan masyarakat Indonesia dalam empat tahun terakhir ini semakin baik.
Demikian halnya soal utang. Demi memanfaatkan potensi pertumbuhan ekonomi secara maksimal, wajar saja jika suatu negara menarik utang, dari dalam maupun luar negeri. Dengan cara ini negara tersebut akan dapat tumbuh lebih pesat. Jadi jelas kiranya utang produktif adalah sesuatu yang positif, bukan nista atau dosa yang harus dijauhi dengan risiko apa pun.
Tentu jumlahnya harus disesuaikan dengan kebutuhan pendanaan riil, dan kemampuan untuk membayarnya kembali. Jadi yang dilihat jangan hanya jumlah utang, melainkan juga tambahan pendapatan yang tercipta. Seseorang yang punya utang Rp 10 juta namun ia punya penghasilan Rp 20 juta, tentu lebih baik ketimbang orang lain yang utangnya Rp 1 juta tetapi penghasilannya cuma Rp 500 ribu.
Jumlah utang pemerintah RI berdasarkan data per akhir Januari 2019, sebesar Rp 4.499 triliun, sementara PDB menurut harga berlaku pada 2018 sebesar Rp 14.837 triliun. Jelaslah bahwa utang pemerintah itu masih ada dalam batas aman, karena rasio utang (debt to GDP ratio) tergolong sangat rendah, yakni hanya 30 persen dan masih separuh dari batas maksimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Lagi pula, Undang-Undang tentang Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB, sehingga pemerintah tidak bisa ugal-ugalan berutang.
Tak terbantahkan bahwa stabilitas makroekonomi merupakan prasyarat untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, berkualitas, dan berkelanjutan. Ibarat balap mobil F-1, sebelum pembalap memasuki arena, tim teknis harus memastikan seluruh bagian atau komponen mobil berfungsi secara prima. Sedikit saja abai atau lengah, akibatnya sangat vatal.
Perhelatan F-1 terakhir di Bahrain menjadi pembelajaran berharga bagi tim Ferrari. Charles Leclerc, pembalap muda berusia 21 tahun yang baru bergabung dengan tim Ferrari pada musim laga tahun ini, memimpin sampai menjelang 10 putaran terakhir. Namun, tiba-tiba mobilnya mengalami gangguan hybrid system, sehingga laju mobilnya melambat.
Leclerc terbantu oleh kehadiran safety car sehingga hanya dua pembalap Mercedes yang bisa menyusulnya. Jika tidak terjadi insiden, Leclerc tidak akan naik ke podium sebagai juara ketiga.
Bisa dibayangkan jika perekonomian tidak dikelola secara proper, tanpa perhitungan cermat. Perekonomian tidak bisa tiba-tiba dipacu dengan kecepatan roket. Jantung perekonomian harus dipastikan terlebih dahulu tidak mengalami gangguan sekecil apa pun. Untuk take off, pastikan energi terhimpun cukup dan seluruh organ perekonomian dalam keadaan prima.
Jika tidak, bisa saja tumbuh secepat roket tetapi pada tahun berikutnya masuk ruang gawat darurat. Yang dipertaruhkan adalah ratusan juta rakyat, bukan sekadar satu pembalap dan mobil yang ditumpanginya.
Ke depan, yang perlu dilakukan bersamaan adalah peningkatan ekspor secara berkesinambungan. Impor harus dibayar dengan devisa, dan ekspor adalah cara terbaik untuk memperoleh devisa. Industri manufaktur menjadi ujung tombaknya mengingat sumbangsihnya sebagai penghasil devisa terbesar, sekaligus sumber utama penerimaan pajak.
Tidak ada cara instan untuk memacu penerimaan pajak. Besar-kecilnya pajak merupakan cerminan jangka menengah dan panjang atas keseluruhan upaya pengelolaan ekonomi.
Karena itu, usaha-usaha memperbesar investasi langsung (asing maupun domestik) dan memacu ekspor harus dilakukan bersamaan dan terpadu, dengan titik berat pada sektor- sektor yang paling dapat diandalkan memperbesar investasi dan ekspor secara berkesinambungan, yakni industri manufaktur. Itu artinya, kita justru harus lebih membuka diri terhadap perekonomian global dalam jalinan global supply chain.
Setiap pilihan ekonomi akan menimbulkan dampak terhadap berbagai sektor dan variabel, oleh karena itu harus diperhitungkan dengan seksama dan matang. Jika salah perhitungan, kerusakan yang ditimbulkannya membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki atau pulih kembali.
Namun, kita juga berpacu dengan waktu. Sekitar sepuluh tahun lagi Indonesia memasuki fase aging population dan demographic dividend berakhir. Tidak ada pilihan kecuali pindah gigi lebih tinggi agar terhindar dari “tua sebelum kaya”.
(Artikel ini disunting dari buku “Menuju 5 Besar Dunia” yang dirilis di Jakarta pada 12 September 2019.)
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.