Menularkan Revolusi Industri Penerbangan ke Angkutan Laut

Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mohamad Ikhsan
Penulis: Mohamad Ikhsan
Editor: Yuliawati
3/12/2018, 12.04 WIB

4 Langkah Dorong Inovasi

Pemerintah dapat memfasilitasi tumbuhnya inovasi di atas pada beberapa hal. Pertama, dalam pasar jalur perintis, tendernya dapat dilakukan untuk multiyears, misalnya 3-4 years cycle. Dengan kontrak yang lebih panjang, perusahaan mendapatkan pendanaan lebih murah sehingga menekan biaya.

Di samping itu, interupsi pelayanan yang kerap terjadi pada awal tahun dengan kontrak tahunan, dapat dihindari.

Fasilitasi kedua adalah memisahkan urusan keselamatan dengan pemilikan pesawat. Keharusan memiliki pesawat sendiri dapat meningkatkan start-up cost dan overhead cost. Padahal, keselamatan tidak selalu berasosiasi dengan pemilikan.

(Baca juga: Kemenhub Akan Naikkan Batas Bawah Tarif Tiket Pesawat Jadi 35%)

Seperti halnya dalam praktik leasing kendaraan dan komputer yang umumnya lebih superior dibandingkan dengan pemilikan sendiri, maka hal yang sama juga berlaku untuk industri penerbangan. Keselamatan lebih berhubungan dengan kualitas regulasi dan regulator yang sepenuhnya di tangan pemerintah.

Jika regulasi dan kualitas regulatornya baik maka tidak ada bedanya memiliki pesawat sendiri atau menyewa dari pihak lain. Malah kemungkinannya, manajemen perusahaan menjadi lebih sulit menghadapi perusahaan leasing dibandingkan dengan menghadapi divisi operasi atau divisi keselamatan dalam perusahaan sendiri.

Kualitas regulasi dan regulator yang baik menyebabkan regulasi tarif menjadi tidak relevan lagi. Regulasi tarif justru akan meningkatkan infleksibilitas perusahaan yang pada gilirannya mengurangi prospek bisnis dalam industri ini.

Isu lain yang sering muncul adalah masalah predatory pricing. Banting-bantingan harga menyebabkan sebagian perusahaan dipaksa untuk keluar dari pasar. Perusahaan yang menang dan tinggal di pasar kemudian bisa mengenakan harga monopoli karena minim investasi.

Praktik predatory pricing ini sebetulnya dilarang berdasarkan UU tentang persaingan usaha. Tapi argumentasi tentang predatory pricing dalam pasar industri penerbangan tidak kuat karena seperti yang dijelaskan di atas pasar dalam industri ini sangat contestable.

Untuk memaksa saingannya keluar dari pasar (trayek tertentu), perusahaan predator akan menekan tarif serendah mungkin, sehingga mereka mengalami kerugian. Katakanlah tindakan ini berhasil, dan setelah berhasil menendang pesaingnya ke luar dari industri, mereka akan mengenakan tarif monopoli.

Harga monopoli ini kemudian memberikan sinyal bagi pelaku baru untuk masuk dan menekan harga ke tingkat harga kompetitif. Jadi, sepanjang mekanisme free entry and exit-nya bisa berjalan efektif, predatory pricing untuk industri penerbangan sukar untuk berjalan.

Perubahan di Sektor Kelautan

Apakah pengalaman [sukses dan gagal] di sektor penerbangan ini dapat ditularkan kepada sektor lain? Sektor angkutan laut merupakan kandidat yang paling dekat. Langkah pertama dapat dilakukan dengan copy paste model voucher dalam angkutan perintis.

Hentikan pembelian kapal oleh pemerintah dan pengoperasian jalur perintis oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara seperti PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Modifikasi sistem voucher dengan kontrak multiyears (3-5 tahun) akan memberikan leverage bagi perusahaan swasta untuk mendapatkan pembiayaan yang menguntungkan.

Bahkan, seperti halnya rute baru yang dikembangkan industri penerbangan, perusahaan pelayaran bisa mengombinasikan jalur perintis dengan jalur komersial dengan voucher untuk membiayai overhead cost.

Model voucher pun dapat digunakan untuk mengembangkan sistem tol laut pada tahap awal pengembangan. Daripada memberikan penugasan dan subsidi kepada Pelni, pemerintah lebih baik memberikan voucher untuk perusahaan swasta.

Voucher ini di samping akan menekan biaya untuk perusahaan angkutan laut, dijadikan sinyal bagi perusahaan pelayaran untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan.

Kedua, sistem angkutan udara banyak berkembang ketika infrastruktur bandara berkembang. Bandara di jalur utama dan jalur pendukung kini bisa didarati oleh pesawat jet jarak pendek dan menengah sejenis Boeing 737.

Ketersediaan infrastruktur tersebut memungkinkan maskapai mengembangkan jalur penerbangan sesuai dengan potensinya. Praktik ini perlu dilakukan di angkutan laut. Kapasitas dan kualitas pelayanan di 6-7 pelabuhan utama mulai Belawan, Jakarta, Surabaya, Makasar, Bitung dan (kelak Sorong) harus ditingkatkan.

Peningkatan infrastruktur pelabuhan meliputi pendalaman alur dan kolam pelabuhan hingga bisa dilayani kapal kargo dengan kapasitas 3.500 TEUS. Kemudian diikuti dengan upgrading crane dan pelayanan di pelabuhan-pelabuhan yang memungkinkan bongkar-muat di pelabuhan tersebut diselesaikan dalam waktu 2-3 jam.

Jika hal tersebut dilakukan maka urat nadi jalur tol laut akan dilayari dengan rutin dan menekan biaya angkut kontainer pada jalur utama. (Baca juga: Infrastruktur Masih jadi Kendala Logistik Indonesia)

Setelah jalur utama matang seperti halnya angkutan udara, konsolidasi akan terjadi pada regional loop. Kapal dengan ukuran kecil yang tadinya melayari jalur Belawan-Tanjung Priok atau Tanjung Perak-Makasar akan pindah melayani loop regional.

Proses konsolidasi ini akan mendorong optimisasi pelayaran untuk semua jalur dengan jumlah kapal – secara aggregat lebih sedikit – tetapi dengan kapasitas efektif yang lebih besar.

Standardisasi pelabuhan akan mendorong industri pelayaran berkembang dengan lebih sehat dan akan mengurangi cost of entry bagi pelaku baru di industri pelayaran. Perusahaan pelayaran tidak perlu lagi menyediakan fixed crane di kapal, sebab selain menambah biaya tetap juga meningkatkan biaya variabel.

Pelajaran penting dari gagasan ini adalah bagaimana menempatkan peran pemerintah secara tepat untuk membantu mengembangkan industri, terutama pelayaran dan laut. Yakni dengan memfokuskan pada peran dalam pembangunan infrastruktur, standardisasi dan regulasi yang efektif dalam mendorong pelaku swasta untuk berkembang pada niche market masing-masing.

Pelajaran penting dari penerbangan udara menunjukkan pasar perintis yang tadinya dianggap cost center dengan model pengembangan pasar yang tepat justru dapat menjadi celah pasar dengan marjin yang menarik. Intervensi model lama dengan melibatkan BUMN justru menghambat perkembangan pasar.

Pengalaman di angkutan udara mestinya bisa menginspirasi pemerintah untuk beralih dari model yang tradisional ke model baru bagi pelayaran perintis dan pelayaran rakyat. Negara tidak menjadi predator tetapi menjadi fasilitator.

Halaman:
Mohamad Ikhsan
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.