Mengobati UMKM untuk Memulihkan Ekonomi dari Pandemi

ANTARA FOTO/Maulana Surya
Perajin menyelesaikan pesanan perabot lukis dari barang bekas di Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2020). Pemerintah menargetkan peningkatan penyaluran plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp190 triliun pada tahun 2020 atau meningkat Rp50 triliun dibandingkan tahun 2019, serta akan terus ditingkatkan secara bertahap hingga Rp325 triliun pada 2024, guna meningkatkan kelas dan produktivitas UMKM nasional .
Penulis: Masyita Crystallin
Editor: Yura Syahrul
16/5/2020, 15.22 WIB

Di dua krisis terdahulu, sektor riil tidak terdampak secara langsung. Sektor riil yang terdampak adalah sektor yang bergantung pada sektor keuangan dan terpapar risiko nilai tukar.

Sementara, sektor informal dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang tidak terlalu tergantung pada pembiayaan dari sektor keuangan, relatif terjaga pertumbuhannya, bahkan justru menjadi peredam perlambatan ekonomi.

Terpukulnya sektor UMKM sekarang sebetulnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Dalam laporannya yang berjudul “COVID-19: SME Policy Response”, OECD menyebutkan bahwa selain permintaan turun, UMKM di berbagai negara juga mengalami sejumlah tekanan dari sisi penawaran. Aktivitas UMKM yang beroperasi lintas batas atau antarnegara juga ikut tertekan oleh disrupsi rantai pasok. 

Menjaga ketahanan sektor UMKM untuk melalui periode hibernasi ini memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sebab, kontribusi sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 60%, dengan penyerapan tenaga kerja yang besar hingga 97,02% (2017).

Bahkan, sekitar 98.7% sektor usaha di Indonesia masuk dalam kategori UMKM, yang sebagian besar merupakan usaha informal. Sektor UMKM juga menyerap jumlah tenaga kerja yang besar. Setelah krisis ekonomi tahun 1997-1998 jumlah UMKM terus meningkat, bahkan mampu menyerap 85 juta hingga 116,7 juta tenaga kerja sampai tahun 2017.

Karena itu, pemerintah memberikan perhatian khusus pada sektor UMKM dan sektor mikro. Sebelum pandemi sebenarnya sudah banyak kebijakan eksisting untuk mendukung sektor ini, baik dalam bentuk insentif fiskal maupun nonfiskal, seperti perluasan akses ke pembiayaan melalui program KUR dan kredit UMi.

(ANTARA FOTO/Maulana Surya/hp.)

Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional dari pandemi, fokus dukungan terhadap UMKM antara lain diberikan dalam bentuk subsidi bunga kredit dan penundaan angsuran kepada debitur eksisting maupun calon debitur.

Kebijakan subsidi bunga kredit dan tambahan modal kerja diberikan selama enam bulan, dengan asumsi perekonomian mulai rebound di kuartal ke-4. Besaran subsidi disesuaikan dengan skala usaha UMKM tersebut.

Alokasi anggaran untuk subsidi bunga mencapai Rp 34,15 triliun kepada sekitar 60,66 juta debitur pemilik rekening. Sementara alokasi untuk penundaan angsuran pokok Rp 285,03 triliun, dari total outstanding kredit penerima subsidi bunga Rp 1.601,75 triliun.

Pemerintah juga memberikan insentif fiskal bagi UMKM dengan membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) bagi UMKM selama enam bulan ke depan.

Selain dukungan terhadap UMKM, berbagai kebijakan sedang disiapkan untuk membantu sektor riil lain yang terdampak. Misalnya, bantuan bagi bank yang melakukan restrukturisasi, mendukung penyediaan tambahan kredit modal kerja pada dunia usaha dengan dukungan penempatan dana, atau memberikan jaminan pemerintah dan dukungan terhadap BUMN terdampak.

Recovery tergantung timing pandemi

Lalu, sampai kapan program pemulihan ekonomi akan digulirkan? Jawabannya adalah tentu sesuai pemulihan (recovery) ekonomi. Pola perlambatan ekonomi global saat ini masih sejalan dengan perkiraan banyak pihak. Namun, seberapa dalam dan seberapa lama perlambatan dan/atau kontraksi ekonomi sangat ditentukan oleh timing dari pandemi.

Sampai saat ini, hampir semua negara di dunia dan lembaga-lembaga internasional, seperti IMF, World Bank dan OECD, masih mengasumsikan recovery ekonomi berbentuk V (V-shaped recovery). Dimana perekonomian diperkirakan mulai rebound di tahun 2021, dengan asumsi penyebaran sudah mulai berkurang di kuartal terakhir tahun ini.

Namun, jika terjadi gelombang kedua pandemi (second wave), maka recovery ekonomi dapat mengikuti pola W, dimana ekonomi yang mulai rebound turun lagi akibat gelombang kedua pandemi.

Karena itu, kebijakan untuk mengontrol pandemi melalui berbagai pembatasan sosial hingga penetapan PSBB menjadi sangat krusial dalam keseluruhan pemulihan ekonomi. Timing pandemi mempengaruhi tipe recovery ekonomi, yang kemudian akan mempengaruhi kebijakan ekonomi yang dibutuhkan.

Tentu kita berharap, Indonesia dapat keluar dari kondisi ini dengan baik.

*Kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis, yang  tidak terkait dengan posisi dan institusi tempatnya bekerja.

Halaman:
Masyita Crystallin
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi; Sherpa Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.