Mengobati UMKM untuk Memulihkan Ekonomi dari Pandemi

ANTARA FOTO/Maulana Surya
Perajin menyelesaikan pesanan perabot lukis dari barang bekas di Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2020). Pemerintah menargetkan peningkatan penyaluran plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp190 triliun pada tahun 2020 atau meningkat Rp50 triliun dibandingkan tahun 2019, serta akan terus ditingkatkan secara bertahap hingga Rp325 triliun pada 2024, guna meningkatkan kelas dan produktivitas UMKM nasional .
Penulis: Masyita Crystallin
Editor: Yura Syahrul
16/5/2020, 15.22 WIB

Awal pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2020 sebesar 2.97%. Ini angka pertumbuhan terendah dalam 19 tahun terakhir.

Perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini memang tidak pandang bulu. Semua negara mengalami perlambatan signifikan. Bahkan, IMF menyebutkan resesi kali ini bisa lebih dalam dari The Great Depression tahun 1930.

Beberapa negara mengalami kontraksi lebih dalam di kuartal pertama 2020, Tiongkok  berkontraksi minus 6.8%, Hong Kong minus 8.9%, Singapura minus 2.2%, Amerika Serikat 0.8%, dan Uni Eropa minus 3.3%. Indonesia masih relatif baik, pertumbuhan melambat ke 2.97%.  

Namun, perlambatan ini diperkirakan akan lebih dalam di kuartal kedua dan ketiga seiring dengan berkurangnya interaksi antarmanusia secara drastis.

(Baca juga: Tertekan Pandemi, Luhut Optimistis Ekonomi Tahun Ini Bisa Tumbuh 3%)

Pembalikan sentimen dan perlambatan ekonomi terjadi dalam waktu singkat. Seperti biasa pasar keuangan bereaksi lebih dahulu dibandingkan sektor riil.

Meskipun kasus pertama pandemi Covid-19 di Wuhan sudah ditemukan sejak akhir Desember 2019, kondisi pasar keuangan global masih sangat optimistis di awal tahun. Ini ditunjukkan dengan aliran modal masuk menuju negara berkembang yang tinggi.

Kondisi ini berbalik di akhir Februari dan tereskalasi sangat cepat di bulan Maret. Bahkan, indeks volatilitas (VIX), yang mengukur tingkat kecemasan investor di pasar saham, mencapai titik tertinggi sejak indeks ini pertama kali diperkenalkan tahun 1993.

Kinerja pasar keuangan Indonesia pun ikut terpengaruh. Dalam waktu satu bulan, kurs rupiah melemah dari level 13.600 per dolar Amerika Serikat (AS) pada 20 Februari hingga menyentuh level terendah Rp 16.575 pada 23 Maret lalu.

Aliran modal keluar di kuartal pertama mencapai Rp 145,28 triliun. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan periode krisis 2008 dimana pembalikan aliran modal terjadi, namun masih mencatat surplus sebear Rp 69.9 triliun.

Dampak terhadap sektor riil mulai terasa di akhir Januari dengan berkurangnya jumlah turis Tiongkok. Di pertengahan Februari, dampak wabah Covid-19 mulai menghambat rantai pasok bahan baku Tiongkok dan mempengaruhi sektor industri, terutama industri yang sangat bergantung pada bahan baku dari Tiongkok, seperti industri elektronik dan tekstil.

Menghadapi kondisi ini, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertujuan mendukung sektor industri melalui berbagai relaksasi dan insentif pajak. Pemerintah juga mengurangi berbagai larangan dan pembatasan (lartas) impor untuk menjaga pasokan bahan baku bagi sektor industri.

Di sektor keuangan, dilakukan relaksasi persyaratan kredit dan restrukturisasi kredit UMKM. Sementara, untuk mendorong daya beli, dilakukan percepatan pemberian jaminan sosial dan dana desa.

Kondisi sektor riil merosot tajam di bulan Maret, diawali dengan terungkapnya pasien Covid-19 pertama di awal Maret dan mulai maraknya pembatasan sosial yang sangat mempengaruhi aktivitas ekonomi.

(Baca juga: Jubir Covid-19: Penambahan Kasus Corona Mulai Melandai, tapi Meluas)

Dalam kondisi yang menurun tajam dan kegentingan yang memaksa itulah, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 tahun 2020. Salah satu peraturan turunannya yang berfokus pada pemulihan ekonomi, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.23 tahun 2020.

Esensi dari kebijakan pemulihan ekonomi adalah melindungi masyarakat dari kondisi yang sangat berat ini dengan semua dimensinya. Baik itu dari sisi kesehatan, mendukung daya beli melalui jaminan sosial, dan menjaga mata pencaharian masyarakat melalui dukungan pada dunia usaha.

Anatomi krisis dan perhatian khusus pada UMKM

Banyak pihak yang membahas perbedaan antara kondisi yang kita hadapi saat ini dengan dua krisis terdahulu, yaitu Krisis Keuangan Global tahun 2008 dan Krisis Keuangan Asia tahun 1997-1998. Berbeda dari dua krisis sebelumnya yang diawali dari sektor keuangan, kondisi sekarang disebabkan oleh pandemi yang mengharuskan pembatasan sosial serta karantina wilayah.

Kebijakan untuk menangani pandemi tersebut menyebabkan terhentinya sebagian besar aktivitas ekonomi. Ekonomi seperti memasuki periode hibernasi yang menghantam sisi penawaran dan permintaan sekaligus.

(Baca juga: Nyaris Tak Ada Permintaan Selama Pandemi, Penjualan Mobil Anjlok 90%)

Halaman:
Masyita Crystallin
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi; Sherpa Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.