Pandemi dan Disrupsi Perdagangan Internasional

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.
Pekerja melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (15/5/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit 350 juta dolar AS secara bulanan pada April 2020 di tengah pandemi COVID-19 yang berbanding terbalik dari Maret 2020 yang surplus 743 juta dolar AS.
Penulis: Subagio Effendi
Editor: Redaksi
2/6/2020, 09.22 WIB

(Baca: Kadin Prediksi Ekspor dan Konsumsi Pulih Perlahan saat Fase New Normal)

Beberapa negara berkembang bahkan telah mengadopsi konsep Food Sovereignty and Solidarity yang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk menentukan pilihan produksi dan konsumsi pangan yang terbaik termasuk penerapan sistem agrikultur yang sesuai dengan sumber daya dan kearifan lokal.

Dalam konsep ini, produk pangan ditempatkan sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan sehingga terbebas dari semua ketentuan ekonomi pasar dan perdagangan internasional. Indonesia telah mengadopsi konsepsi kedaulatan pangan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan namun belum diterapkan secara holistik.

Disrupsi perdagangan internasional juga membuat upaya pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat di masa resesi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan.

Badan Pusat Statistik mencatat total impor minyak bumi, beras, gandum, daging, dan kedelai pada tahun 2019 masing-masing mencapai 40.926, 444, 10.692, 262, dan 2.670 ribu ton. Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan, jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’ penanganan pandemi menjadi semakin tinggi.

Karena itu, pemerintah perlu segera melakukan langkah strategis untuk meminimalisir dampak disrupsi perdagangan sekaligus mencegah krisis kesehatan berkembang menjadi krisis pangan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan: pertama, meningkatkan produktifitas sektor pertanian domestik dengan intensifikasi proses produksi dan peningkatan stimulus ekonomi untuk industri dan kelompok petani.

(Baca: Strategi Pemerintah Pulihkan Industri Manufaktur Pasca PSBB )

Kedua, meminimalisir disrupsi di rantai pasokan domestik dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah, melalui kerja sama dengan penyedia jasa e-commerce, dapat mentransformasi sistem referensi harga pangan milik Kementerian Pertanian dan sistem informasi Badan Usaha Milik Desa milik Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal menjadi integrated food marketplace yang mempertemukan produsen dan konsumen dengan harga terbaik.

Ketiga, mengoptimalkan peran food banks (Perum Bulog dan koperasi milik pemerintah daerah) untuk melakukan fungsi manajemen persediaan pangan, stabilisasi harga, dan distribusi. Keempat, merelaksasi pungutan bea masuk serta non-tariff barriers (kuota dan persetujuan impor) atas produk esensial.

Kelima, mengafirmasi komitmen para mitra dagang di kawasan, terutama negara-negara produsen bahan pangan, seperti Australia, Thailand, Vietnam, dan Myanmar untuk tetap memberikan akses pasar dan tidak melakukan export restrictions.

Halaman:
Subagio Effendi
Peneliti University of Technology Sydney, Australia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.