Perbaikan Iklim di Persimpangan Jalan Akibat Pandemi Covid-19

Arief Kamaludin (Katadata)
Penulis: Diwangkara Bagus Nugraha
Editor: Redaksi
14/7/2020, 12.10 WIB

Tahun ini, penurunan emisi karbon tidak disebabkan oleh kebijakan maupun kesuksesan efisiensi energi, tetapi disrupsi pandemi corona. Pada bulan Maret – April 2020, polusi DKI Jakarta bahkan berada pada level terendah selama tiga tahun terakhir seperti dilaporkan oleh Siswanto, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Namun, emisi dikhawatirkan akan kembali meningkat ketika roda perekonomian berputar kembali.

Pola bekerja dan mobilitas manusia berubah akibat Covid-19. Sejak pandemi, kebijakan pembatasan sosial atau social distancing mendorong aktivitas kerja jarak jauh yang berujung pada penurunan aktivitas transportasi. Penurunan lalu lalang kendaraan jelas menurunkan tingkat emisi, tetapi mungkin hanya sementara. Pelonggaran restriksi di kala masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi sudah mulai membuat ruas-ruas tol Jakarta macet lagi.

Pandemi ini membuat perjuangan menghadapi perubahan iklim berada di tengah persimpangan. Kini, masa depan perubahan iklim tergantung pada kacamata pemerintah dalam melihat pandemi. Apakah pandemi menjadi hambatan atau malah menjadi batu loncatan bagi penurunan emisi?

(Baca: Perpres EBT Terus Digodok, Pemerintah Pilih Empat Skema Harga Listrik)

Menakar Usaha Penurunan Emisi

Dalam rapat terbatas di awal Juli 2020, Presiden Joko Widodo mengingatkan jajarannya terhadap target penurunan emisi sebesar 29% dibandingkan kondisi business-as-usual pada tahun 2030 dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan luar negeri. Jokowi meminta jajarannya untuk fokus pada program rehabilitasi hutan, penanganan kebakaran hutan, pengembangan biodiesel dan pengembangan energi surya dan angin. Gestur ini membawa angin positif bagi penurunan emisi, tetapi pelaksanaan program dan arah kebijakan menjadi hal yang lebih ditunggu saat ini.

Jika melihat lebih detail target penurunan emisi, sektor energi dan kehutanan memang dua sektor yang membutuhkan perhatian khusus dibandingkan sektor limbah, sektor pertanian, dan sektor proses industri dan penggunaan produk (IPPU). Penurunan emisi di sektor energi dan kehutanan ditargetkan masing-masing sebesar 11% dan 17,2%, seperti tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Ini artinya hampir seluruh target penurunan emisi 29% dipikul dua sektor ini.

(Baca: Target Turunkan Emisi Karbon 26%, Jokowi Minta Jajarannya Konsisten)

Sementara, sektor energi adalah sektor yang bakal memiliki tingkat emisi tertinggi dibanding sektor lainnya menurut estimasi model NDC. Ini semakin meningkatkan urgensi transisi ke energi bersih dan efisiensi energi, masing-masing berkontribusi terhadap 54,3% dan 30,7% dari keseluruhan penurunan emisi pada tahun 2030 di sektor energi.

Kegagalan melakukan aksi mitigasi di sektor kehutanan dan energi berarti kegagalan mencapai keseluruhan target emisi.

Ancaman Pandemi bagi Perubahan Iklim

Pandemi tidak hanya mengakibatkan kendaraan berhenti, tetapi juga realisasi proyek dan investasi. Realisasi proyek energi terbarukan, sebagai salah satu tombak penurunan emisi, juga mengalami penundanaan akibat pandemi, seperti disampaikan Direktur Konservasi Energi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Hariyanto.

Harga yang kompetitif menjadi aspek krusial untuk beralih dari energi fosil ke sumber energi terbarukan yang bersih. Walaupun harga energi terbarukan berangsur menunjukkan penurunan, namun penurunan harga komoditas energi fosil, seperti minyak dan batu bara, kembali memperlebar jurang kompetisi.

Sebagai contoh, pandemi menggoyang usaha pemerintah untuk memanfaatkan bahan bakar nabati. Pemerintah mencanangankan program mandatori biodiesel B30 pada tahun ini, meskipun harga bahan bakar nabati (BBN) masih lebih tinggi daripada harga bahan bakar diesel. Akibat pandemi, penurunan harga produk minyak bumi memperlebar gap harga antara bahan bakar diesel dengan bahan bakar nabati. Implikasinya, insentif lebih besar harus dIsediakan untuk mengompensasi selisih harga dan melanjutkan program ini.

(Baca: Norwegia Bayar Rp 812,86 Miliar ke RI karena Turunkan Emisi Karbon)

Rencana pembangunan PLTS terapung d Cirata, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Agenda Hijau dalam Pemulihan Pascapandemi

Dari kacamata lain, bukan tidak mungkin menggunakan agenda hijau sebagai motor pemulihan ekonomi. Korea Selatan mengambil langkah ini untuk pulih dari krisis ekonomi tahun 2008 dengan memfokuskan investasi baru bagi program energi bersih. Malaysia, tetangga dekat Indonesia, membuka tender pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan total kapasitasfp 1 GW bagi perusahan lokal untuk mendorong industri lokal pascapandemi COVID-19.

Laporan Special Series on Fiscal Policies to Respond to COVID-19 oleh International Monetary Fund (IMF) menekankan bahwa krisis Covid-19 tidak akan mengubah tantangan perubahan iklim, tetapi respon pemerintah saat pandemi ini dapat mengubah iklim ke depan.

Indonesia dapat melihat pandemi ini sebagai batu loncatan bagi usaha perbaikan iklim. Menurut analisis Bappenas, pembangunan rendah karbon akan menumbuhkan 15,3 juta lapangan kerja dan menurunkan kemiskinan menjadi 4,2% pada tahun 2045. Sehingga, Presiden Jokowi harus tetap fokus pada pencapaian target penurunan emisi dan transisi energi bersih untuk dapat meraih benefit tersebut.

(Baca: Kementerian ESDM Mulai Bahas Aturan DMO Minyak Sawit untuk Pertamina)

Penurunan mobilitas dan logistik antarnegara dan antardaerah saat krisis pandemi menjadi ujian bagi kemandirian daerah. Penguatan akses energi, terutama bagi daerah-daerah terpencil, dapat dilakukan pemanfaatan sumber energi lokal, seperti air dan matahari. Pembangunan pembangkit EBT skala kecil, seperti PLTS dan PLTMikrohidro, dapat membuka peluang bagi penyediaan energi bersih bagi masyarakat sekaligus penguatan kemandirian daerah menghadapi krisis serupa di masa depan.

Kerjasama proyek kelistrikan dan energi terbarukan antara Indonesia dan International Energy Agency (IEA) yang baru saja diumumkan pada 7 Juli 2020 patut diapresiasi. Kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan investasi swasta pada energi terbarukan dan integrasi energi terbarukan ke sistem kelistrikan Indonesia. Kerjasama ini diharapkan dapat menjadi katalis awal untuk pengembangan energi bersih pascapandemi.

Pekerjaan rumah selanjutnya adalah efisiensi energi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 70/2009 tentang Konservasi Energi, pemerintah seharusnya memiliki roadmap konservasi dan efisiensi energi dalam bentuk Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN). Meskipun target peningkatan efisiensi energi ada dalam RUEN, roadmap detail terkait efisiensi energi sangat dibutuhkan melihat kontribusi efisiensi energi yang besar bagi penurunan emisi karbon.

(Baca: PLTS Likupang jadi Pembangkit Tenaga Matahari Terbesar di Indonesia)

Diwangkara Bagus Nugraha
Peneliti Energi Purnomo Yusgiantoro Center, Alumnus University of Manchester

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.