Moral Ekonomi Baru

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.
Pedagang gitar rumahan memotret barang dagangannya untuk dijual secara daring di Ciledug, Tangerang, Banten, Senin (20/7/2020). Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi terus mendorong 10 juta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhubung dengan platform digital atau "go online" hingga akhir tahun ini.
Penulis: Meuthia Ganie-Rochman
Editor: Redaksi
8/8/2020, 11.00 WIB

Covid-19 akan memperburuk ketimpangan di banyak negara karena tiga faktor. Dua pertama telah disebut yaitu kecenderungan digitalisasi jasa dan produksi. Karakter eknomi digital memperkuat logika penyingkiran persaingan yang sukar dikendalikan dengan peraturan anti-monopoli dan menempatkan platform sebagai senjata digital (The Economist, 1 Desember 2012). Terakhir adalah tertekannya institusi demokrasi yang sebelumnya sedikit banyak menahan dominasi kembar ekonomi-politik.

Kecenderungan ke depan adalah pembesaran keterlibatan negara untuk mencegah kelaparan dan kekacauan/ketidakstabilan sosial akibat depresi (The Economist, 23 April 2020). Untuk pembiayaan program kesejahteraan, ekonomi negara akan mengandalkan pajak pada lebih sedikit organisasi ekonomi yang dapat bertahan. Ketiga faktor ini kan bekerja seperti lingkaran setan, jika logika penyelesaian terbatas pada premis ekonomi konvesional sebelum pandemi Covid-19.  

Jadi para intelektual harus memikirkan jalan lain untuk menyelamatkan kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara baru mengelola perekonomian. Prinsip yang harus dipertahankan adalah ekonomi inklusif. Pemikiran ini harus melampaui gagasan “penguatan UMKM” dan digitalisasi. UMKM dan digitalisasi tanpa konsep subtantif tentang bagaimana bekerjanya struktur perekonomian adalah ilusi.

Banyak kemungkinan untuk setiap negara. Namun ada beberapa hal pokok yang harus ditinjau. Pertama,  tingkat  keterkaitan antar-industri. Jelas bahwa mengandalkan penyerapan oleh industri besar sudah masa lalu karena alasan kesehatan.

Jadi jalan yang harus ditempuh adalah membangun keterlibatan UMKM seluas mungkin. Porsi produksi barang dan jasa harus dialihkan ke pelibatan UMKM. Apalagi sektor-sektor yang harus dikembangkan di semua negara akibat pandemi ini adalah sektor yang sesungguhnya membuka peluang keterlibatan industri yang tidak canggih seperti agro industri, agro pariwisata, pemenuhan kebutuhan konsumen esensial dan diproduksi dengan prinsip frugal.

Dengan membangun UMKM artinya memberikan kesempatan yang lebih besar, artinya berbagai sumber daya harus dialokasikan untuk penguatan mereka. Sebagai contoh, bagaimana membuat UMKM dapat memasok berbagai kebutuhan terkait pangan dengan standar kesehatan yang baik. Bahkan barang yang lebih canggih, seperti alat transportasi dengan melibatkan komponennya dari UMKM.

Moral ekonomi inklusif memaksa suatu negara memetakan kembali beberapa hal pokok, yaitu bentuk keterkaitan antar-industri, UMKM sektor yang mana yang harus diperkuat, dan kesiapan yang berbeda antar-UMKM. Peran pemerintah adalah membuat kebijakan yang membangun keterkaitan antara sektor industri yang kuat dengan antar-UMKM. Juga kebijakan yang mengharuskan pihak swasta terlibat dalam transformasi ketrampilan UMKM.

Penguatan ketrampilan pasti bukan memberi pelatihan dengan pengetahuan sebelum pandemi. Perekonomian sudah berubah, banyak cara yang tidak relevan. Bagian dari ketrampilan baru adalah membangun keterkaitan antar-industri, dengan standar dan ketrampilan baru. Artinya, bukan UMKM-nya saja yang harus membangun keterampilan itu, melainkan juga industri yang lebih kuat – termasuk Badan Usaha Milik Negara, dalam suatu jaringan produksi.

Dari pengembangan industri frugal tadi yang harus diselesaikan negara adalah ketergantungan Indonesia pada bahan baku yang sebenarnya bagian dari sektor yang harus dikembangkan selama atau pasca-pandemi seperti gula dan kedelai di industri makanan atau bahan dasar obat yang sangat tergantung dari Cina. Apa yang menjadi sektor industri di suatu masa, seharusnya harus dikontrol atau dihapuskan tingkat ketergantungannya. Bagaimana mungkin menghasilkan industri susu untuk bayi yang murah untuk rakyat Indonesia yang banyak menjadi miskin kalau industri peternakannya tidak beres?

Moral ekonomi baru juga menyangkut “pengetahuan yang dapat digunakan secara inklusif”. Sebagai contoh, selain menciptakan bahan dasar obat, pemerintah seharusnya mendorong perusahaan bermodal besar untuk mengembangkan riset herbal sehingga mempunyai dasar ilmiah. Hasil riset digunakan oleh banyak UMKM untuk menghasilkan obat-obatan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi dapat dikatakan prinsip-prinsip kekayaan intelektual harus ditinjau kembali: mana yang esensial dan menjadi kewajiban pemerintah bersama industri besar untuk mengembangkannya tanpa terkait monopoli penggunaan. Juga harus dikendalikan logika winners take all perusahaan pengembang digital. Perusahaan aplikasi digital selalu berargumen bahwa mereka membantu puluhan atau ratusan ribu produsen atau penyedia jasa. Harus ditinjau lagi, apa yang dikorbankan dengan logika seperti itu.

Kewajiban perusaan seperti itu harus melampaui “memberi pelatihan” mitranya sendiri. Dengan kekayaannya, mereka berkewajiban membantu pemerintah membangun basis ekonomi kerakyatan yang lebih sustainable. Contohnya, membangun institusi asuransi khusus pekerja lepasan, membangun indutri agrikultur melampaui tujuan untuk menambah mitranya (lebih tepat, kliennya).

Masa perekonomian dengan tujuan menghasilkan berbagai perusahaan besar karena kemampuannya bersaing, lalu membayar pajak pada negara, seharusnya diakhiri. Logika baru adalah ekonomi inklusif, untuk kestabilan sosial dan ekonomi bangsa ke depan.

Halaman:
Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog Organisasi, Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.