Memberantas Mafia Tanah

ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/foc.
Dirreskrimum Polda Banten Kombes Pol Martri Sonny (kanan) dibantu Kasubdit II Krimum AKBP Dedy Hermansyah (kiri) menunjukkan barang bukti dokumen palsu kepemilikan tanah saat ekspos Pengungkapan Sindikat Pemalsuan Dokumen Tanah di Mapolda Banten, di Serang, Kamis (25/3/2021). Jajaran Satgas Pemberantasan Mafia Tanah Polda Banten berhasil menangkap 4 tersangka sindikat pemalsuan dokumen kepemilikan tanah masing-masing berinisial C, A, U dan F beserta ratusan dokumen palsu seperti girik, AJB dan peta tanah.
Penulis: Rio Christiawan
2/4/2021, 08.00 WIB

Ketidakpastian tidak saja terletak pada aspek pemberian hak atas tanah seperti pengurusan perizinan, juga pada aspek pengawasan tata guna tanah hingga penertiban tanah terlantar. Aturan terkait pemberian hak atas tanah merupakan regulasi yang tidak memberikan kepastian hukum atas kemudahan pengurusan hak atas tanah. Misalnya terkait waktu maksimal pengurusan, keseragaman syarat antar-kantor wilayah BPN atau instansi terkait lainnya, di samping rumitnya pengurusan persyaratan pemberian hak atas tanah. Ini celah munculnya mafia tanah.

Demikian juga regulasi pada aspek pengawasan tata guna tanah, seperti pengurusan klarifikasi tanah yang terindikasi terlantar. Saat ini tidak ada aturan yang memuat waktu pengurusan, syarat pengurusan, biaya resmi, hingga kriteria teknis penetapan tanah terlantar. Dapatlah disimpulkan bahwa mafia tanah tidak saja ‘beroperasi’ pada area pemberian hak atas tanah tetapi juga pada area pengawasan tata guna tanah dan penyelesaian sengketa pertanahan itu sendiri.

Pokok persoalan yang menyebabkan lahir dan berkembangnya mafia tanah adalah ketidakpastian hukum pada proses pelayanan pertanahan. Sebaliknya, sertifikat elektronik, biaya perolehan hak yang kini dipublikasikan, hingga usulan pembuatan pengadilan khusus pertanahan dalam RUU Pertanahan tidaklah menyangkut aspek proses pada pemberian hak atas tanah, pengawasan tata guna lahan, sehingga tidak efektif menyelesaikan masalah mafia tanah.

Supply – Demand

Demand atas jasa mafia tanah dimulai dari tidak pastinya proses pengurusan sehingga melahirkan berbagai potensi penyimpangan. Kondisi ini menyebabkan mafia pertanahan dengan leluasa beroperasi. Sebagai contoh, kepastian waktu dan syarat pengurusan atas pelayanan pertanahan baik pemberian hak atas tanah, pengawasan, maupun penertiban aspek tata guna tanah.

Klitgard (1994) menjelaskan bahwa salah satu penyebab persekongkolan yang bersifat koruptif yakni tiadanya aturan yang lengkap. Dampaknya, keputusan diambil berdasarkan diskresi oknum pejabat. Guna mengakhiri praktik lancung ini serta memutus mata rantai supply dan demand yang melibatkan para mafia tanah maka pemerintah setidaknya perlu melakukan dua hal.

Pertama, menyempurnakan regulasi. Kedua, memperkuat sistem pada BPN sebagai instansi yang membidangi pemberian hak atas tanah dan pengawasan tata guna tanah itu sendiri.

Terkait aspek penyempurnaan regulasi perlu dibuat dan ditekankan aturan yang mempermudah proses secara presisi. Misalnya, aturan menyebutkan jangka waktu, biaya, maupun persyaratan. Hal ini akan menutup celah diskresi yang seringkali berakhir pada penyimpangan dan praktik mafia. Jika pelayanan dapat diberikan secara mudah, murah, dan cepat, tentu praktik mafia tanah akan hilang.

Adapun terkait dengan pembenahan BPN, sistem pengawasan dan inspektorat pada BPN atau instansi terkait lainnya harus dioptimalkan guna mencegah pelayanan publik yang sewenang-wenang. Sebagaimana dijelaskan Klitgard, selain diskresi, faktor akuntabilitas turut menekan penyimpangan.

Halaman:
Rio Christiawan
Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.