Sebagai negara kepulauan-tropis terbesar di dunia, Indonesia berpeluang besar melewati ujian ekonomi tahun ini dan ke depannya dengan mengakselerasi kinerja ekonomi biru nasional.
Konferensi Persatuan Bangsa-bangsa tentang Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD) telah mendefinisikan ekonomi biru sebagai aktivitas pemanfaatkan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan untuk menumbuhkan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekosistem laut.
Sejumlah negara, di antaranya Australia, Korea Selatan, dan Cina telah memanfaatkan peluang besar dari ceruk ekonomi biru. Kontribusinya rata-rata telah mencapai 4,4 hingga sembilan persen terhadap total PDB mereka (The Aims Index of Marine Industry, 2020; Park, 2014; Xuemei, dkk., 2021). Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan teramat besar. Namun pemanfaatannya belum optimal. Sejak 2019 silam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menaruh target lompatan peningkatan kontribusi ekonomi biru ke dalam PDB menjadi 12,5 persen di 2045.
Dua Masalah Ekonomi Biru di Indonesia
Mari lihat hasil pengukuran Indeks Pembangunan Ekonomi Biru (BEDI) yang dikeluarkan pertama kali pada 2020 oleh Forum Negara-Negara Pulau dan Kepulauan (AIS Forum). Posisi Indonesia baru berada pada peringkat 36 dari 47 negara dengan skor 4,3. Lalu, apa penyebabnya? Ternyata ada dua dari delapan indikator BEDI Indonesia mendapat nilai rendah sehingga perlu perbaikan.
Pertama, indikator Indeks Pembangunan Inklusif (Inclusive Development Index). Pada indikator ini, Indonesia hanya memperoleh skor 0,25. Ini menjelaskan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Tanah Air belum sepenuhnya terdistribusi merata secara etnis, gender, maupun antargenerasi.
Indikator kedua terkait Indeks Tata Kelola (Governance Index) meliputi pengukuran sejumlah aspek penting terkait kebijakan dan kapasitas kelembagaan, lingkungan usaha, kualitas air, energi, pelayaran dan sumber daya alam. Indonesia mendapat nilai 0,3 atau ada potensi mengalami masalah lingkungan dengan derajat tinggi, termasuk akibat dari tingginya pembuangan sampah plastik di laut.
Sebelumnya, peringatan serupa juga tersaji di dalam laporan The Economist Intelligent Unit (2019) yang menempatkan Indonesia pada urutan 18 dari 20 negara dalam hal pengelolaan kualitas air—baik dari limbah rumah tangga maupun industri.
Persoalan lain yaitu tingginya angka kemiskinan di daerah pesisir dan keterbatasan infrastruktur. Sebagai contoh, infrastruktur penyaluran bahan bakar minyak untuk nelayan kecil dan tradisional. Indonesia memiliki lebih dari 11 ribu desa pesisir tersebar dari pulau paling timur hingga barat. Sementara infrastruktur layanan penyaluran BBM (SPBUN) hanya ada di 388 titik. Itu pun tidak semua berfungsi sebagaimana mestinya.
Akibatnya, nelayan harus membeli BBM secara eceran dengan harga tinggi. Bahkan di sejumlah daerah, nelayan membayar 30 – 50 persen lebih mahal dari harga ketetapan pemerintah. Keterbatasan infrastruktur telah menyebabkan tingginya beban biaya produksi nelayan dan sekaligus melemahkan daya saing produk perikanan nasional di pasar dunia.
Solusi di Ekonomi Biru
Ikhtiar kebangsaan untuk menaikkan kontribusi ekonomi biru terhadap PDB Indonesia membutuhkan perbaikan dalam hal inklusivitas dan tata kelola sumber daya kelautan. Perbaikan terhadap keduanya mensyaratkan partisipasi publik lebih luas lagi dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan.
Penelitian bersama Laboratorium Indonesia 2045 dengan SDGs Center UNDIP dan PKSPL IPB (2022) berhasil memetakan sektor prioritas ekonomi biru. Hal ini dengan mempertimbangkan tiga faktor pemungkin (enabling factors) yang berlaku di Tanah Air: ketersediaan investasi, teknologi dan inovasi, serta sumber daya.
Pada fase paling awal, hingga 2024, Indonesia disarankan untuk berfokus pada dua sektor saja: perikanan dan wisata bahari. Kunci keberhasilan keduanya ada pada penguatan ekosistem usaha hulu-hilir melalui kelembagaan ekonomi rakyat atau koperasi.
Koperasi dapat meningkatkan kapasitas ekonomi rakyat (baca: perorangan) menjadi lebih berskala dan punya daya tahan lebih, termasuk dalam memperluas layanan BBM di desa-desa nelayan maupun melibatkan lebih banyak lagi masyarakat lokal dalam pengembangan wisata alam.
Sedangkan untuk fase menengah, yakni periode 2024 hingga 2029, selain menjaga keberlanjutan pemanfaatan dua sektor ekonomi dari fase sebelumnya (perikanan dan wisata bahari), Indonesia juga sudah harus mulai berinvestasi mempersiapkan sektor masa depan yang sedang berkembang (emerging future sector). Sektor ini mulai dari energi terbarukan, perkapalan, kepelabuhanan, logistik dan rantai dingin hingga desalinasi air dan kimia berbasis laut.
Puncaknya, pada rentang 2029 hingga 2045 atau menuju 100 tahun Indonesia merdeka—seluruh potensi ekonomi biru nasional sudah dapat digerakkan secara mapan, inklusif, dan berkelanjutan.
Pada fase lanjutan ini, akselerasi potensi ekonomi biru diharapkan sudah berada pada titik ideal: antara pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan ekologi. Syaratnya, prioritas sektor ekonomi biru di tiap-tiap fase harus diikuti dengan penyesuaian fokus anggaran dan postur kelembagaan. Maka, keberhasilan mengakselerasi ekonomi biru telah menjadi solusi menghadapi tantangan ekonomi di 2023 dan mengantarkan Indonesia Emas 2045.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.