Membedah ‘Rezim Hibrida’ dalam Praktik Politik Indonesia

Ahmad Nurcholis
Oleh Ahmad Nurcholis
3 April 2025, 06:45
Ahmad Nurcholis
Katadata/ Bintan Insani

Ringkasan

  • Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia melibatkan tokoh penting seperti Soepomo yang menyampaikan pidatonya tentang negara integralistik, yang berbasis pada prinsip persatuan, kekeluargaan, musyawarah, dan keadilan rakyat. Ini menunjukkan kontribusi signifikan Soepomo dalam pembentukan ideologi dan konstitusi negara.
  • Soepomo menolak konsep negara yang bersifat individualistik maupun marxistis, menekankan pada gagasan negara integralistik yang memperjuangkan kesatuan, mengatasi paham golongan dan paham perseorangan, menggambarkan pentingnya persatuan dan kekeluargaan dalam struktur negara.
  • Dalam proses perumusan dasar negara, Soepomo dan tokoh lainnya berperan dalam mengkristalkan Piagam Jakarta menjadi Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Republik Indonesia sejak disahkannya UUD 1945. Pengaruh pandangan Soepomo tentang kekeluargaan dan gotong royong sangat menentukan dalam penjabaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi dan dasar filosofis negara.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Tulisan Diamond (2002) tentang “rezim hibrida” atau “rezim campuran” cocok untuk menggambarkan kondisi politik Indonesia di dua masa kepemimpinan ke belakang. Tesisnya yang mengutip Carothers (2002) sederhana, tidak semua negara yang mengalami “gelombang ketiga” transisi demokrasi di tahun 90-an sukses memantapkan pijakannya sebagai negara “demokrasi penuh”. Sebagian di antaranya jalan di tempat dan malah menerapkan sistem demokrasi dan otoriter secara bersamaan. Ada juga yang semakin mundur ke belakang. 

Ada enam kategori rezim yang diperkenalkan Diamond berdasarkan catatan ilmuwan politik lainnya dalam tulisan itu. Di antara rezim-rezim yang ia sebut, antara lain: “demokrasi liberal, demokrasi elektoral, rezim ambigu, otoriter kompetitif, otoriter elektoral hegemonik, dan otoriter tertutup secara politik”.  

Dengan bersandar pada penilaian Freedom House di 2001, Diamond mengategorikan Indonesia sebagai “Rezim Ambigu” dengan nilai indeks demokrasi (3.4) dari skala 1 paling liberal sampai 7 paling tertutup. Pada 2001, menurutnya, Indonesia berada di antara spektrum rezim “Otoriter Kompetitif” dan “Demokrasi Elektoral”. 

“Otoriter Kompetitif” menunjukkan bahwa pemilu diadakan secara kompetitif tapi dengan sedikit kontrol dan intrik penguasa. Adapun “Demokrasi Elektoral” mencerminkan bahwa hak kebebasan warga masih  prosedural belaka, tidak substantif. 

“Rezim Ambigu” berada di antara keduanya sebab sisa-sisa otoritarian masih bercokol dan pemilihan umum belum menghasilkan kebebasan substansial. Hak berekspresi dan bebas dari ancaman serta kemiskinan belum sepenuhnya hilang. Pertanyaannya, apakah saat ini Indonesia masih berada dalam kategori “Rezim Ambigu” dan belum beranjak dari padanya?

Berdasarkan catatan Diamond di atas, dengan karakteristik yang dia paparkan, kita belum juga beranjak. Praktik otoritarianisme masih jamak ditemukan dan pemilu masih menjadi seremonial belaka. Panggung kekuasaan masih diwarnai transaksi kompromi elite tanpa adanya oposisi hakiki di parlemen. Suara rakyat berkali-kali tak digubris dan diabaikan, malah direpresi dan dibungkam. Jika praktik kekuasaan seperti ini terus dilanjutkan, bukan tidak mungkin keberlangsungan transisi demokrasi Indonesia bukan semakin maju, tapi mundur. Bisa jadi kita tak lagi berada di “Rezim Ambigu” alih-alih beralih ke rezim “Otoriter Kompetitif”.  

Sebab karakter khas rezim terakhir itu lekat dengan politik kita belakangan ini. Pemilu menjadi momen musiman tapi penguasa telah terlebih dulu mengkonsolidasikan kekuasaannya lewat perangkat negara. Rezim ini terus berupaya menekan oposisi melalui teror dan intimidasi sampai selemah-lemahnya. Termasuk potensi kekuatan rakyat yang muncul melawannya. 

Singkatnya, menurut Diamond,  pemilu hanya menjadi kedok untuk menghindari “tekanan domestik dan internasional”. Wajar, jika banyak kalangan menyebut “rezim campuran” sebagai “Pseudodemocracy” atau “demokrasi palsu”.        

Dari Rezim Polisi ke Rezim TNI

Di dua masa kepemimpinan ke belakang, kita telah menyaksikan bagaimana “Rezim Ambigu” ini beroperasi terang-terangan. Langkah Prabowo untuk melibatkan perwira aktif TNI di kabinetnya mengingatkan kita pada nostalgia pemerintahan Jokowi yang diisi aparat kepolisian. Di negara demokrasi liberal, TNI-Polisi adalah unit pertahanan dan keamanan, satuan netral, yang berbahaya jika diseret dalam kekuasaan. 

Namun keduanya justru memaksimalkan perangkat tersebut dalam lingkaran rezimnya. Memanfaatkan unit-unit tersebut demi mewujudkan ambisi politiknya. Padahal TNI-Polisi bukan entitas sah yang bisa ditempatkan di institusi-institusi sipil sebelum mereka pensiun atau mengundurkan diri. 

Keterlibatan TNI dan polisi aktif dalam jabatan sipil berbahaya sebab mereka masih menguasai perangkat ‘pukul’ dan ‘kekerasan’ yang inheren dalam posisinya sebagai unit satuan pertahanan dan keamanan negara. Hak istimewa ini bisa saja digunakan untuk memukul mundur kritik yang ditujukan kepada pejabat militer yang menduduki jabatan-jabatan sipil di kemudian hari. 

Wajar jika undang-undang melarang TNI dan polisi aktif berpolitik. Keduanya tidak memiliki hak pilih dalam pemilu supaya meminimalisir keberpihakan dan pemanfaatan institusi tersebut untuk kepentingan-kepentingan politik sempit. Inilah logika yang mendasari pemerintahan sipil demokratik: baik TNI dan Polri harus netral sebab mereka dipersenjatai secara sah oleh negara. Perangkat kekerasan yang dimilikinya amat berbahaya jika dimanfaatkan pihak tertentu untuk kepentingan politik semata.  

Ingkar Janji Reformasi

Di dua masa kepemimpinan ke belakang, saat ini dan sebelumnya, semakin mendekati model negara ‘polisi’ dan ‘militer’ yang mencoba memaksimalkan efektivitas rantai komando untuk keperluan pembangunan dan industrialisasi. Cara-cara  represif mulai dipertunjukan. Keduanya ingkar akan janji reformasi. Cita-cita menciptakan pemerintahan berlandaskan supremasi sipil dengan good governance faktanya jauh panggang dari api. Alih-alih, perlahan tapi pasti, Indonesia kian masuk ke dalam jurang otoritarianisme. Yang terbaru, revitalisasi ‘Dwi Fungsi’ telah sah diundangkan. Ketakutan akan kebangkitan kembali Orde Baru saat ini semakin nyata. 

Firasat tersebut sebenarnya jauh hari sudah dirasakan. Dimulai sejak pelibatan banyak figur polisi di pemerintahan Jokowi. Kemudian keterlibatan TNI dalam proyek besar negara yang gagal, "food estate". Diteruskan dengan program retret militer bagi menteri baru dan kepala daerah. Terakhir, penempatan TNI aktif di jabatan sipil akhir-akhir ini. Semuanya merupakan bukti yang mendukung adanya semacam remiliterisasi di pemerintahan. Militer, termasuk polisi, dianggap sebagai simbol nasionalisme dan patriotisme. Keduanya dipandang lebih kapabel menyelesaikan urusan-urusan sipil secara lebih efektif melalui jejaring komando dan perilaku “yes, man” mereka terhadap pimpinan. 

Supremasi Sipil versus Militer

Namun, ada dua aspek yang luput mengenai supremasi militer atas sipil tersebut.  Pertama, pelibatan TNI aktif ke dalam institusi sipil lambat laun bisa menjerumuskan pemerintahan menuju bentuk junta. Sebab bukan tidak mungkin godaan kekuasaan yang lebih tinggi menyebar ke banyak personil TNI. Peluang penguasaan seluruh sektor pemerintahan di masa depan pun sangat besar. Di samping itu, penempatan TNI aktif di jabatan sipil tersebut juga berpeluang menciptakan friksi internal. Mereka akan berlomba untuk lebih dekat kepada kekuasaan, membentuk para personil TNI menjadi insan oportunis dan pragmatis. 

Parahnya lagi, penyampaian kritik terhadap lembaga sipil yang diduduki militer bukan tidak mungkin akan direspons lewat operasi pembungkaman melalui fasilitas kemiliteran yang masih menempel pada figur terpilih. Ini menakutkan, karena selama ini kita mafhum bahwa institusi militer sulit ditembus pengawasan publik yang optimal. Impaknya, inefisiensi lembaga dan korupsi akan terus berjalan. Ini juga berbahaya sebab lembaga-lembaga sipil yang dikuasai TNI aktif bisa menjadi ladang konflik kepentingan yang memungkinkan lahirnya oligark-oligark baru dari unsur TNI. Korupsi yang marak akan sama besarnya terjadi di rezim yang dipimpin militer-militer aktif.

Kedua, mempertentangkan kapabilitas sipil dan militer dalam birokrasi akan merusak kohesi sosial yang selama ini menjadi pondasi kekuatan persatuan Indonesia yang majemuk. Tentu pengabaian terhadap hak-hak sipil dan pengutamaan hak istimewa militer akan memicu pembangkangan publik yang lebih keras. Ini akan mendorong instabilitas politik berkepanjangan yang bisa merugikan Indonesia secara ekonomi. Aksi massa yang lebih besar dan bisa jadi membludak hebat dari hari ke hari akan menjadi ancaman serius bagi kredibilitas pemerintah saat ini. Apalagi persoalan mendasar seperti PHK massal dan persoalan ekonomi lainnya masih hangat dalam ingatan publik. 

Untuk itu, penarikan kembali militer aktif ke barak masing-masing dan pembatalan UU TNI melalui Perppu merupakan langkah bijak agar pemerintah tidak semakin menyimpang dari cita-cita reformasi. Pemerintah saat ini harus sadar bahwa ‘orde baru’ bukanlah miniatur proyek politik yang berhasil membebaskan Indonesia dari kemelut korupsi yang sering digaungkan. Alih-alih, itu menjadi simbol kegelapan Indonesia di masa lalu.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Ahmad Nurcholis
Ahmad Nurcholis
Dosen Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...