Transisi Energi dan Ujian Bagi Gubernur Baru

Ringkasan
- Bank Raya mendorong literasi dan inklusi keuangan digital melalui Program Pesta Raya yang bertujuan meningkatkan minat menabung serta transaksi digital dengan memberikan berbagai hadiah seperti Hyundai Kona EV, Motor Listrik Alva Cervo, iPhone 15 Pro, dan saldo tabungan bagi nasabah yang meningkatkan saldo dan bertransaksi.
- Program ini diadakan dari 2 November 2024 hingga 31 Januari 2025 dan diluncurkan bersamaan dengan acara Bank Raya Color Run Night Festival yang menarik ribuan peserta, menunjukkan dedikasi Bank Raya dalam memberikan pengalaman menarik dan menguntungkan bagi para nasabahnya.
- Raya Membership menawarkan manfaat dan reward yang berbeda sesuai dengan kategori nasabah, dari nasabah baru hingga dengan saldo lebih dari Rp25 juta, mendukung visi Bank Raya sebagai digital attacker BRI Group untuk mendorong inklusi keuangan di Indonesia dengan solusi bank digital yang aman dan mudah diakses.

Pada 20 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto melantik kepala daerah seluruh Indonesia. Dengan semakin mendesaknya krisis iklim dan dampaknya, pelantikan ini bukan semata pergantian atau kelanjutan posisi, melainkan ujian kepemimpinan transisi energi bagi kepala daerah.
Pemerintah Indonesia telah memiliki target emisi nol bersih (net-zero emission/NZE) 2060. Target ini tertuang dalam dokumen draf terakhir Kebijakan Energi Nasional terbaru yang tengah menunggu pengesahan menjadi peraturan pemerintah.
Rancangan dan implementasi kebijakan ini juga mensyaratkan dukungan di tingkat daerah. Sayangnya, hingga saat ini masih banyak pemerintah daerah (pemda) yang gamang melihat transisi energi sebagai beban atau peluang.
Gubernur Baru, Masalah Lama
“Kewenangan” menjadi kata ajaib yang sering digunakan pemda untuk pembatasan komitmen percepatan transisi energi dan aksi iklim. Menurut UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan energi kini berada di pemerintah provinsi – dialihkan dari pemerintah kabupaten/kota.
Meski demikian, peran pemerintah provinsi dan gubernur juga cenderung dilematis. Hal ini mengingat aspek krusial, seperti perencanaan energi jangka panjang nasional, pengaturan tarif listrik, dan perizinan proyek energi terbarukan skala besar tetap berada di tangan pemerintah pusat, melalui Kementerian ESDM dan PLN.
Selain itu, pemda juga memiliki perspektif yang berbeda terkait urgensi transisi energi, sehingga tidak menjadi bagian prioritas dalam rencana pembangunan dan energi daerah.
Sebagai contoh, Rencana Umum Energi Daerah (RUED) seharusnya menjadi panduan utama daerah dalam transisi energi. Namun, banyak pemda menunda penyelesaian RUED dengan alasan beragam.
Hal ini disebabkan, kesulitan penyusunan dan kurangnya pendampingan dari pemerintah pusat. Baru pada akhir 2024, sebanyak 34 dari 38 provinsi resmi menyelesaikan peraturan daerah (Perda) terkait RUED, menyisakan empat provinsi baru hasil pemekaran. DKI Jakarta baru mengesahkan Perda RUED pada 2024.
Untuk membuat Perda RUED menjadi lebih operasional, diperlukan aturan turunan lain. Misalnya, peraturan atau instruksi gubernur dan komitmen penganggaran. Untuk pengembangan energi terbarukan, beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jambi, dan Bali membuat kebijakan yang lebih kontekstual.
DKI Jakarta dengan peraturan gubernur terkait iklim. Kemudian Jawa Tengah dengan program pemulihan ekonomi berbasis energi terbarukan, sedangkan Jambi dengan inisiatif penggantian subsidi pemasangan listrik dengan panel surya. Lalu Bali dengan komitmen Bali energi bersih.
Institute for Essential for Services Reform (IESR) telah mendokumentasikan upaya pemda untuk transisi energi dalam laporan tahunan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) sejak 2021.
Meski demikian, tidak semua pemda memiliki inisiatif yang sama. Berdasarkan analisis IESR, keterbatasan kewenangan hukum dalam kebijakan energi daerah membuat mereka tidak memiliki fleksibilitas yang cukup untuk mengambil keputusan strategis. Dalam rencana pembangunan daerah, sektor energi juga acap menjadi urusan pilihan, sehingga tidak mendapatkan prioritas anggaran.
Di sisi lain, keterbatasan kewenangan ini juga menghambat mereka yang sebenarnya memiliki komitmen kuat dan bersedia mengalokasikan dukungan finansial untuk transisi energi. Hal ini karena pemanfaatan anggaran pemerintah daerah hanya bisa dijustifikasi untuk penyediaan akses energi bagi daerah terpencil dan program konservasi energi.
Provinsi yang menjadi lokasi proyek pengembangan energi terbarukan nasional cenderung diuntungkan dalam pencapaian target RUED. Ini karena bauran energi terbarukan provinsi naik secara signifikan tanpa menggunakan anggaran pemda.
Menyikapi kurangnya kewenangan ini, Kementerian Dalam Negeri membidani lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No 11/2023 yang menambahkan kewenangan urusan konkuren sub-bidang energi baru terbarukan untuk pemda. Perpres ini diharapkan dapat menjadi landasan kuat bagi pemda untuk lebih proaktif berkontribusi untuk upaya transisi energi.
Transisi Energi Daerah: Siapa Untung, Siapa Buntung?
Jika kebijakan energi di tingkat nasional cenderung makro, transisi energi erat dengan konteks lokal. Terdapat perbedaan dampak yang mencolok bagi provinsi penghasil batubara, provinsi dengan sektor industri yang padat, hingga provinsi yang masih menghadapi tantangan akses energi.
Bagi daerah yang selama ini bergantung pada pendapatan dari batu bara dan migas, transisi energi memiliki dampak serius pada stabilitas ekonomi daerah. Sumatera Selatan, salah satu provinsi penghasil batu bara, pada 2023 menerima Dana Bagi Hasil (DBH) yang sebagian besar adalah DBH minerba sebesar Rp1,8 triliun. jumlah ini setara dengan 35% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tahun yang sama.
Kalimantan Timur menerima DBH minerba sebesar Rp2,8 triliun (28% dari PAD) pada 2020. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 2025, Sumatera Selatan akan menerima DBH minerba sebesar Rp1,03 triliun, sedangkan Kalimantan Timur Rp4,68 triliun.
Kondisi ini menunjukkan, tanpa strategi diversifikasi ekonomi yang konkret, dorongan untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dalam konteks transisi energi akan menghadapi resistensi politik dan ekonomi yang kuat di daerah. Pemda perlu menyadari dampak transisi energi pada pembangunan dan ekonomi daerah dengan mempersiapkan strategi transformasi ekonomi sejak dini. Dengan begitu, tidak terjadi guncangan ekonomi saat batu bara dan migas tidak lagi menjadi sumber pendapatan utama bagi daerah.
IESR bersama Universitas Sriwijaya melakukan analisis transformasi ekonomi untuk Kabupaten Lahat, salah satu kabupaten penghasil penghasil batu bara di Sumatera Selatan. Analisis ini mengidentifikasi sektor ekonomi alternatif unggulan untuk menggantikan batu bara, seperti kopi, cokelat, produk hortikultura, dan pariwisata.
Di daerah lain yang tidak bergantung pada batu bara, dampak positif transisi energi lebih terlihat. Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih berkutat dengan keterbatasan akses energi berkualitas, mulai melirik energi terbarukan yang bisa digunakan secara tersebar. Dukungan pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Khusus dan dari berbagai pihak, termasuk kerjasama bilateral, juga mengalir ke NTT.
Meski belum memiliki kebijakan khusus industri hijau, Jawa Tengah telah menjadi daerah tujuan investasi teknologi bersih (clean technology). Industri sel dan modul surya pabrikan Tiongkok dan Amerika Serikat telah dibangun dan mulai beroperasi di provinsi ini, yaitu Trina Mas Agra Indonesia, LESSO Solar, dan SEG Solar.
Gubernur Baru, Semangat Baru
Tugas gubernur identik dengan perpanjangan tangan presiden atau sebagai eksekutor regulasi pemerintah pusat. Namun, penting bagi gubernur untuk mendorong inisiatif strategis yang kontekstual dengan kebutuhan daerah.
Untuk transisi energi, gubernur baru perlu memasukkan isu ini dalam RPJMD 2025-2030 dengan target konkret, seperti peningkatan bauran energi terbarukan minimal sekian persen per lima tahun dan penyelarasan dengan RUED.
Gubernur dan pemda juga berperan dalam mendorong investasi energi terbarukan dan teknologi bersih. Ini dapat dilakukan dengan regulasi yang jelas, mempercepat perizinan, dan mengadopsi skema pembiayaan alternatif seperti kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), koperasi, hingga dukungan lembaga filantropi.
Bagi daerah penghasil batu bara atau migas, pemda sebaiknya segera mengalihkan DBH yang diterima ke program transisi energi. Termasuk, investasi energi terbarukan dan sektor ekonomi alternatif, serta pelatihan tenaga kerja hijau.
Di tangan pemimpin daerah yang berani mengambil langkah progresif, transisi energi dapet menjadi modal berharga untuk meningkatkan daya saing ekonomi daerah dan menarik investasi hijau. Jika provinsi mampu memanfaatkan energi terbarukan secara optimal, mereka akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi hijau yang menopang visi Indonesia Emas 2045.
Pilihan ada di tangan gubernur: hanya menjadi penonton atau menjadi pemain kunci dalam peta energi masa depan Indonesia?
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.