Sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo ditandai dengan program penyaluran dana transfer fiskal untuk desa yang dikenal dengan Dana Desa. Dana desa adalah mandatory budgeting dari UU No 6 tahun 2014 yang telah mengalami 2 kali perubahan. Secara total sejak tahun 2015 sampai sekarang, pemerintah telah mengucurkan Rp609,7 triliun Dana Desa untuk 75.265 desa, yang peruntukannya untuk pembiayaan pemerintahan desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Dana Desa menurut PP 8/2016 merupakan dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa, yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota. Penggunaannya diatur untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Output implementasi Dana Desa adalah sebagai berikut:
1. Dana desa untuk membiayai proyek infrastruktur desa dan kawasan antar desa.
Sepanjang tahun 2015-2022, dana desa telah digunakan untuk membangun prasarana penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, berupa:
- Jalan desa sepanjang 308.490 kilometer
- Jembatan sepanjang 1.583.215 meter
- Pasar desa sebanyak 12.244 unit
- BUM Desa sebanyak 42.317 unit kegiatan
- Tambatan perahu sebanyak 7.384 unit
- Embung sebanyak 5.371 unit
- Irigasi sebanyak 80.120 unit
- Penahan tanah sebanyak 247.686 unit
2. Dana desa untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa.
Menurut Menteri Desa Halim Iskandar, dana desa sepanjang 2015-2021 digunakan untuk pembangunan sarana olahraga, prasarana air bersih, prasarana MCK, Polindes, drainase, PAUD, Posyandu, serta membangun sumur sebanyak 74.289 unit.
3. Dana Desa menjadi support system kemajuan desa. Jumlah desa dengan status maju terus meningkat hingga mencapai angka tertinggi pada 2023, yaitu 23.030 desa. Kemudian, jumlah desa yang berstatus “mandiri” di Indonesia pada 2019 hanya ada sebanyak 819 desa. Angkanya juga konsisten terus meningkat hingga mencapai 11.456 desa pada 2023.
4. Dana Desa menjadi anggaran penyelamat jaminan sosial masyarakat di era pandemi.
Melalui kebijakan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang bersumber dari Dana Desa, masyarakat desa yang tidak bisa bekerja optimal saat pandemi COVID-19 mendapatkan alokasi bantuan untuk pemenuhan kebutuhan mendasar.
Kebijakan Dana Desa untuk BLT dan Moral Hazard
Besaran dana desa yang akan dialokasikan untuk BLT disesuaikan dengan jumlah total dana desa yang diperoleh masing-masing desa. Untuk desa yang memperoleh dana desa di bawah Rp800 juta, maksimal alokasi untuk BLT sebesar 25% dari total dana desa yang diperoleh pada 2020.
Selanjutnya, untuk desa yang memperoleh dana desa Rp800 juta – Rp1,2 miliar, maksimal alokasi untuk BLT sebesar 30%. Sedangkan untuk desa yang memperoleh dana desa di atas Rp1,2 miliar, maksimal alokasi untuk BLT sebesar 35%.
BLT Dana Desa diberikan kepada penerima sebesar Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan berturut-turut sehingga total BLT Dana Desa yang akan diberikan selama tiga bulan berjumlah Rp1,8 juta untuk desa yang memperoleh dana desa Rp800 juta – Rp1,2 miliar, maksimal alokasi untuk BLT sebesar 30%.
Yang perlu dicatat, pendataan penerima BLT Dana Desa yang transparan dengan mekanisme berjenjang serta termonitoring, mendorong desa semakin profesional dalam pengelolaan Dana Desa. Dana Desa secara langsung berperan dalam menjaga inflasi di desa.
Meskipun demikian, patut menjadi catatan kritis bahwa Dana Desa selama hampir 10 tahun atau di era pemerintahan Presiden Joko Widodo memunculkan moral hazard dalam implementasinya. Banyak kasus pemborosan Dana Desa yang dilakukan oleh aparatur pemerintah desa yang tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur atau menyimpang dari regulasi.
Lebih buruk lagi, grafik kasus korupsi Dana Desa mengalami peningkatan secara signifikan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama 2023 terdapat 187 kasus korupsi di desa, termasuk kasus korupsi Dana Desa di dalamnya.
Dilihat dari jumlah desa sebagai penerima Dana Desa yang mencapai angka 75.252 desa, kasus korupsi yang bermuara dalam peradilan tipikor memang relatif kecil. Namun hal tersebut menunjukkan gejala puncak gunung es kasus korupsi yang terjadi di perdesaan.
Kecenderungan Mematikan Inovasi Pengembangan Ekonomi Asli Desa
Dana Desa dalam pelaksanaannya menimbulkan efek negatif secara sosiologis, karena menjadikan desa menjadi "tergantung" dan tidak mendiri dalam menggali sumber pendapatan asli desa. Inovasi dalam pengembangan ekonomi desa yang berimbas pada output peningkatan pendapatan asli desa sangat jarang dilaksanakan oleh pemerintah desa.
Pemerintah desa dimanjakan Dana Desa sebagai wujud transfer fiskal pemerintah pusat, Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai transfer fiskal daerah sebagai konsekuensi dana perimbangan pusat-daerah, dan juga alokasi dana bagi hasil pajak daerah. Sehingga banyak desa yang memiliki aset yang bisa dikelola optimal untuk menguatkan sumber pendapatan asli desa diabaikan.
Padahal desa yang inovatif yang bersungguh-sungguh mendorong kemajuan ekonomi desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) akan mampu mengoptimalkan tata kelola aset desa dan aktivitas ekonomi di desa. Banyak best practice desa yang bekerja keras mengembangkan BUMDes akhirnya berhasil meraup Pendapatan Asli Desa yang volumenya jauh lebih besar dibanding Dana Desa (DD).
Bumdes Panggung Lestari Desa (Kalurahan) Panggung Harjo, Bantul, misalnya, pendapatan asli desa dari hasil usaha BUMDes mencapai angka Rp2,5 miliar, jauh melebihi alokasi DD setiap tahunnya. Desa Wunut Klaten dengan mengembangkan aset desa yang dikelola BUMDes, berhasil mengumpulkan PADes hampir Rp3 miliar di tahun 2023 dan bisa memberikan dana sosial bagi warganya. Demikian pula dengan Desa Janti, melalui pengembangan Janti Park yang dikelola BUMDes juga menghasilkan pendapatan asli desa di tahun 2023 sebesar Rp1,5 miliar, hampir setara dengan DD yang ditransfer oleh pemerintah pusat.
Sayangnya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tidak menjadikan Pendapatan Asli Desa (PADes) dalam indikator penetapatan status perkembangan desa. Sehingga pada 70% desa berstatus mandiri, pembiayaan pemerintahan desa tergantung pada DD, ADD, dan dana bagi hasil.
Sebanyak 80% desa berstatus mandiri juga bukan desa yang kreatif dalam program pemberdayaan ekonomi desa, pengembangan masyarakat, dan juga program out-of-the-box yang memacu perkembangan kawasan perdesaan.
Mengurai Makna Filosofis Dana Desa
Sebenarnya, jika ditelaah secara filosofis, Dana Desa tidak akan pernah membawa "kemandirian" bagi desa maupun pemerintah desa. Mengingat peruntukannya selalu diatur dalam skala prioritas yang ditentukan pemerintah pusat.
Skala prioritas penggunaan Dana Desa mencerminkan bahwa desa tidak memiliki "otonomi" penuh dalam pembelanjaan Dana Desa. Desa harus melakukan sinkronisasi program pembangunan, program pemberdayaan dengan program pemerintah pusat c.q. pemerintah daerah.
Isu prioritas maupun kebijakan prioritas penggunaan Dana Desa acapkali tidak sejalan dengan skema rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), yang akhirnya membuat desa membuat review atau penyesuaian RPJMDes secara periodik. Contoh isu prioritas maupun kebijakan prioritas penggunaan Dana Desa yang lebih mencerminkan kepentingan menyukseskan program pemerintah pusat adalah skema penggunaan DD tahun 2024.
DD tahun 2024, penggunaan dana desa diprioritaskan: (1) Pengentasan kemiskinan ekstrem, (2) Intervensi percepatan eliminasi TBC, (3) Ketahanan pangan nabati dan hewani, (4) Pencegahan narkoba, (5) Penurunan stunting, (6) Dana operasional pemerintah Desa, dan (7) Optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Saat ini, Dana Desa membuat pemerintah desa menjadi pragmatis dalam menyusun rencana kerja pemerintah desa (RKPDes) dalam forum musyawarah pembangunan desa. Dalam praktiknya, RKPDes yang menjadi dasar penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Desa (RAPBDes), sangat tergantung pada jatah alokasi DD dan ADD.
Dengan adanya fenomena ini, desa yang memiliki volume pendapatan asli desa (PADes) minim tidak akan berdaya mengembangkan inovasi program pembangunan desa. Kecuali, desa dipimpin oleh sosok kepala desa yang memiliki kemampuan kepemimpinan yang kuat dan memiliki visi pembangunan yang bagus, yang dapat ngotot menggunakan DD untuk program pemberdayaan ekonomi melalui BUMDes, sehingga menghasilkan pembangunan yang inovatif, dan meningkatkan grafik ekonomi desa.
Karena itu, diperlukan sosok kepala desa yang cerdas, inovatif, dan menjunjung tinggi kejujuran, untuk dapat memberikan terobosan kreatif dalam penggunaan Dana Desa. Prioritas program ketahanan pangan, misalnya, oleh kepala desa yang cerdas, digunakan untuk mengembangkan program peternakan terpadu, pertanian komunal, dan juga aktivitas produktif ekonomi yang dikelola secara profesional oleh BUMDes.
Desa yang mandiri dan ingin berkembang dengan progresif tidak akan menggantungkan diri pada Dana Desa, namun berani dan cakap menggali pendapatan asli desa dengan mengembangkan sektor ekonomi produktif. Itulah desa yang benar-benar memiliki otonomi atas dirinya, bukan yang bergantung terhadap transfer fiskal pemerintah pusat yang pengaturannya berdasar optik pembangunan nasional.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.