Presiden Joko Widodo mengakhiri masa jabatannya selama dua periode dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2025 sebesar 5,2%. Target ini terbilang jauh dari target penerusnya, Prabowo Subianto.
Kepada sejumlah media, Prabowo menyampaikan ambisinya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam waktu 2 hingga 3 tahun. Sementara itu dalam dokumen visi dan misinya semasa kampanye, tertulis bahwa pemerintahan Prabowo akan berupaya mengangkat pertumbuhan ekonomi di level 6 atau 7 persen.
Keinginan Prabowo sangatlah ambisius dan membahayakan karena dua alasan krusial. Pertama, sejak krisis 1998, pertumbuhan ekonomi di Indonesia stagnan di angka 5%. Selama sepuluh tahun kepemimpinan Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi bahkan tidak mengalami pertumbuhan dan tetap berada di angka 5,1% berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2014 dan Outlook 2024. Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada 2022 sebesar 5,3% dan terendah pada 2020 sebesar minus 2,1% saat pandemi.
Kedua, pertumbuhan ekonomi saat ini hanya dimaknai dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun ke tahun yang tidak lagi relevan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Ini karena pemerintah hanya berfokus pada kuantitas luaran (output) ekonomi, tetapi tidak memperhitungkan penipisan sumber daya alam dan kurang mempertimbangkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat di lapisan terbawah.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat dunia kehilangan wilayah hutan seluas 178 juta hektare atau seluas Libya sejak 1990 di seluruh dunia akibat eksploitasi besar-besaran. McKinsey and Company turut memperkirakan bahwa kegiatan pertambangan di dunia sedikitnya menghasilkan 1,9 hingga 5,1 gigaton emisi karbon setiap tahun, yang berujung pada pemanasan global, perubahan iklim, dan bencana alam terkait lain.
Beralih pada Ekonomi Restoratif
Kerusakan alam ini menjadi bukti jika pertumbuhan ekonomi tetap dilakukan dengan praktik-praktik destruktif dan ekstraktif, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun mendatang bumi menjadi semakin tidak layak huni.
Bahaya orientasi pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan PDB semata diakui oleh para ekonom abad ke-21. Sebagai contoh, ekonom Oxford, Kate Raworth, memopulerkan konsep Ekonomi Donat untuk menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa lagi digenjot terus-menerus karena sistem ekonomi dibatasi oleh ketersediaan dan kualitas ekologi.
Dalam sejumlah literatur, pandangan Raworth dimaknai sebagai manifestasi dari pendekatan ekonomi restoratif. Center of Economic and Law Studies (Celios) mendasarkan konsep ekonomi restoratif pada tiga aspek inti: orientasi terhadap pemulihan alam, pengarusutamaan aksi kolektif, dan transformasi hubungan manusia dengan alam untuk mengurangi ketimpangan dan mengentaskan kemiskinan.
Kemunculan ekonomi restoratif pada dasarnya menjadi antitesis dari pertumbuhan ekonomi yang hanya mementingkan peningkatan PDB, tanpa mempertimbangkan dampak seluruhnya terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial. Ini termasuk mempertanyakan ambisi Prabowo untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 8%.
Potensi Cuan dari Ekonomi Restoratif
Ekonomi restoratif bukanlah inisiatif keberlanjutan belaka. Banyak studi menunjukkan program pemulihan dan perlindungan lingkungan dapat memberikan timbal balik secara finansial dan sosial dalam jangka panjang.
Cambridge Econometrics memperkirakan untuk setiap Rp20.000 yang dihabiskan untuk penghijauan, rata-rata Rp57.000 akan kembali dalam bentuk manfaat ekonomis dan sosial. Restorasi hutan ini dapat juga membawa manfaat lain, seperti meningkatkan kualitas air, mencegah banjir, hingga meningkatkan keanekaragaman hayati.
Upaya restorasi juga menawarkan pengembalian investasi yang menjanjikan. Studi melaporkan untuk setiap 100 hektare lahan yang kembali ditanami pohon dapat menghasilkan sekitar 1,2 juta poundsterling atau setara Rp24,5 miliar. Upaya ini diprediksi juga dapat menciptakan sekitar 25 juta pekerjaan sementara yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sayangnya, Indonesia belum mengenal nomenklatur ekonomi restoratif dalam kerangka kebijakan maupun fiskal. Inisiatif ini umumnya hanya diakomodasi dalam fungsi perlindungan lingkungan yang sering kali berjumlah sedikit dan tidak dialokasikan khusus untuk restorasi alam secara integratif dan komprehensif.
Sebagai catatan, belanja pemerintah pusat untuk fungsi perlindungan lingkungan hidup selalu menjadi yang terkecil ketiga dari sebelas fungsi lain selama sepuluh tahun terakhir. Berdasarkan rancangan anggaran 2025, fungsi lingkungan hidup hanya dialokasikan sebesar Rp11,33 triliun atau tidak sampai 0,5 persen dari total anggaran. Ini menunjukkan pemerintah secara sistematis belum memiliki komitmen berarti terhadap misi keberlanjutan alam dan lingkungan.
Jika Prabowo benar-benar ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, berapa pun targetnya, maka ia harus melakukannya dengan cara-cara bermartabat dan bermoral bagi sesama, baik lingkungan maupun masyarakat.
Dalam hal ini, ekonomi restoratif mampu menjadi jawabannya. Sudah banyak bukti dan data menunjukkan inisiatif ini dapat membawa manfaat ekonomis, yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan prinsip lebih ramah lingkungan. Sekarang, semua tinggal bergantung pada keseriusan dan komitmen pemerintah mendatang untuk melaksanakannya dalam skala yang lebih besar dan terukur.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.