Pemanfaatan Minyak Jelantah untuk Bahan Bakar Pesawat

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Reananda Hidayat Permono
9/9/2024, 12.05 WIB

Dekarbonisasi transportasi udara harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) di tanah air. IATA, asosiasi transportasi udara internasional, memprediksi pasar penerbangan Indonesia menjadi yang terbesar keempat di dunia pada 2039. Pasar penerbangan lokal akan terus membesar karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat, kondisi geografis, dan pembangunan di luar Pulau Jawa, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).

Tanpa intervensi berarti, emisi CO2 penerbangan domestik diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2060 dibandingkan dengan emisi sebelum pandemi Covid-19. Cara mengurangi emisi tersebut bisa dengan beralih ke moda transportasi dengan level emisi CO2/kilometer yang lebih rendah, seperti mobil dan kereta api. Tapi metode ini kurang cocok diterapkan di negara kepulauan seperti Indonesia.

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) memasang target emisi nol bersih (Net Zero Emission/NZE) di dunia penerbangan internasional pada 2050. Sementara itu, sektor aviasi bertanggung jawab terhadap 2,5% emisi CO2 global dan 4% pemanasan global. Di skala nasional, pada 2021 transportasi menjadi sektor penghasil emisi CO2 terbesar kedua di Indonesia – di bawah sektor energi – dengan produksi emisi lebih dari 130 MtCO2. Subsektor transportasi udara bertanggung jawab terhadap 5% dari emisi tersebut.

Meski persentase emisinya lebih kecil ketimbang transportasi darat, perjalanan transportasi udara menuju NZE terasa lebih panjang karena belum ada teknologi elektrifikasi yang sudah matang untuk diterapkan di pesawat. Kendala teknis yang menghambatnya berkaitan dengan kepadatan energi pada baterai. Per satuan massa, baterai hanya mampu menyimpan energi 40-50 kali lebih sedikit dibandingkan avtur.

Teknologi termutakhir untuk dekarbonisasi aviasi adalah menggunakan Sustainable Aviation Fuel (SAF) berbahan baku limbah tanaman. Bahan baku ini bisa langsung digunakan tanpa perlu memodifikasi mesin pesawat. SAF menjadi isu hangat di dunia penerbangan Indonesia menjelang rencana Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan untuk meresmikan Peta Jalan Pengembangan SAF pada gelaran Bali International Air Show pada September ini.

Salah satu bahan baku SAF yang sudah disetujui oleh ICAO adalah Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah. Pemangku kebijakan perlu mendorong pemanfaatan UCO sebagai bahan pembuatan SAF mengingat besarnya potensi yang dimiliki Indonesia. 

Pemanfaatan Minyak Jelantah 

Pada 2021, penduduk Indonesia mengonsumsi 16 juta kilo liter minyak goreng dan menghasilkan 3 juta kilo liter UCO. Di area Jakarta saja ada 390 ribu liter limbah UCO saban harinya. Limbah tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mengurangi penggunaan avtur Indonesia yang tahun lalu menembus 4 juta kiloliter. 

Pemanfaatan UCO sebagai SAF membutuhkan sistem pengumpulan, pengolahan, dan distribusi yang terstruktur. Pemangku kepentingan perlu merancang mekanisme pengumpulan hingga level rumah tangga. 

Hingga kini, regulasi yang mengatur hal tersebut masih belum memadai, bahkan survei Traction Energy Asia (2022) menunjukkan bahwa 78% rumah tangga dan unit usaha mikro di Jawa-Bali masih membuang UCO ke saluran air. 

Pemerintah perlu mengembangkan alat tracking untuk meningkatkan recovery rate UCO yang baru mencapai 8%. Contohnya, platform digital Sistem Informasi Minyak Jelantah (Simijel) yang berbasis data geotag location.

Setelahnya, fokus berlanjut ke tahap pengolahan. Per Juli 2023, ASTM International telah menyetujui 11 metode pengolahan SAF. Pengolahan UCO bisa dilakukan dengan dua metode, yaitu hydroprocessed esters and fatty acids (HEFA) dan catalytic hydrothermolysis jet fuel (CHJ). Pemerintah perlu memberi dukungan lebih kepada Pertamina dalam memasifkan pengolahan SAF dalam negeri melalui kilang ramah lingkungan (green refinery).

Proses pembuatan SAF yang Pertamina lakukan di Kilang Cilacap diproses menggunakan metode HEFA. Produksi tersebut telah memenuhi kriteria CORSIA (Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation) oleh ICAO. Pertamina perlu memaksimalkan Kilang Cilacap agar dapat mengolah berbagai jenis feedstock, termasuk UCO. 

Selain Cilacap, pengembangan green refinery di Plaju yang ditargetkan dapat selesai pada 2027. Kilang tersebut mampu memproduksi 20 kilo barrel per day (KBPD), tetapi juga perlu dipastikan dapat mengolah UCO untuk menyapu potensi di Pulau Sumatra.

Langkah selanjutnya adalah distribusi. SAF perlu dicampur terlebih dahulu dengan avtur konvensional di sebuah fuel terminal sebelum disalurkan ke pesawat. Tahapan pencampuran tersebut membutuhkan sertifikasi berstandar internasional. 

Indonesia memiliki dua fuel terminal yang telah mendapatkan sertifikasi, yakni terminal bahan bakar di Bandara Ngurah Rai Bali dan Soekarno-Hatta Jakarta. Melalui Pertamina, pemerintah perlu memastikan bahwa dua terminal bahan bakar tersebut bisa segera beroperasi dan memasok SAF. 

Target ICAO menuju NZE 2050, ditambah dengan kesadaran masyarakat global terkait isu perubahan iklim yang semakin tinggi, diprediksi akan meningkatkan kebutuhan SAF hingga 35 juta ton pada 2030. Sementara itu produksi SAF diperkirakan baru mencapai 18,3 juta ton per tahun. Selisih antara demand dan supply ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk menyeruak menjadi eksportir SAF skala global.

Reananda Hidayat Permono
Program Officer Institute for Essential Services Reform

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.