Nikel dan Transisi Energi: Antara Harapan dan Realitas

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Ricko Nurmansyah
17/9/2024, 14.03 WIB

Nikel merupakan salah satu mineral penting dalam transisi energi. Sejak kebijakan pembatasan ekspor nikel mentah, produksi nikel bergeser menjadi produk turunannya seperti bahan baku stainless steel, hingga baterai kendaraan listrik.

Aktivitas industri yang mengembangkan produk hulu menjadi hilir tentu memberikan dampak ekonomi yang positif. Misalnya, meningkatkan harga jual, potensi membuka lapangan pekerjaan baru, hingga diversifikasi produk. 

Dampak ekonominya sudah terbukti dalam dua tahun terakhir. PDRB wilayah nikel seperti Sulawesi Tengah meningkat hingga mencapai 15% pada 2022. 

Dalam paradigma pembangunan, pertumbuhan ekonomi mengindikasikan aktivitas ekonomi yang berkembang. Artinya, pertumbuhan ekonomi tinggi akan memicu dampak positif terhadap suatu wilayah. 

Kontribusi Ekonomi Hilirisasi Nikel

Peningkatan investasi yang besar akan berdampak pada penerimaan negara. Data Ditjen Minerba menunjukkan penerimaan pajak yang diterima negara dari sektor ini mencapai Rp2,97 triliun pada 2020. 

Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bentuk royalti yang diterima negara pada 2020 mencapai Rp2,92 triliun. Nilai royalti tersebut meningkat sebesar 4 kali dari royalti yang diterima negara pada 2015 yang tercatat sebesar Rp531 miliar. 

Pada 2022, PNBP nikel melesat naik menjadi Rp4,18 triliun atau meningkat sekitar 43,15% dari 2020. Peningkatan ini disebabkan oleh naiknya Harga Mineral Acuan (HMA) nikel pada Mei 2022. 

Peningkatan investasi juga berdampak pada pertumbuhan PDRB Sulawesi Tengah yang meningkat signifikan sejak 2021 sebesar 11,7% dan sebesar 15,17% pada tahun berikutnya. Hal ini sejalan dengan tren PMA ke sektor nikel.

Tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran di Sulawesi Tengah mengalami penurunan walau tidak signifikan.

Aliran Pembiayaan dan Rekam Jejak Hilirisasi Nikel

Diversifikasi produk nikel menjadi turunan nikel tentu memerlukan investasi. Riset PRAKARSA (2024) menemukan bahwa mayoritas investasi nikel di Indonesia berasal dari Tiongkok. Akumulasi investasi Tiongkok pada 2012-2022 mencapai US$14,2 miliar. Sedangkan negara lain seperti Australia, Kanada, Korea Selatan dan Amerika Serikat, nilai  investasi mencapai US$1,5 miliar dalam periode yang sama.

Bentuk aliran pembiayaan pun beragam. Ada yang merupakan pinjaman korporasi dan berbasis proyek hingga dalam bentuk obligasi. Pada investasi asing yang berasal dari Tiongkok teridentifikasi masuk melalui pinjaman korporasi yang diperoleh perusahaan induk, seperti Tsingshan dan Huayou. Kedua perusahaan ini kemudian menanamkan modalnya pada perusahaan-perusahaan di IMIP dan IWIP untuk melakukan proses peleburan (smelting).

Proses peleburan ini memerlukan pembangunan smelter dan smelter memerlukan pembangkit listrik (PLTU Captive). Pada 2023, total PLTU Captive untuk smelter nikel mencapai 7,2 GW. Ini belum termasuk 8 GW yang masih tahap pembangunan dan 2 GW tahap pra-pembangunan.

PLTU Captive ini memberikan banyak dampak lingkungan, seperti pencemaran air dan air laut, pencemaran udara, penurunan produktivitas lahan pertanian, dan dampak kesehatan. 

Dalam track transisi, hal ini seharusnya tidak terjadi. Transisi hijau yang dijanjikan adalah upaya untuk memitigasi perubahan iklim, mencapai target net zero emission, dan membuka lapangan pekerjaan baru.

Pada kasus hilirisasi nikel, hanya memenuhi pembukaan lapangan pekerjaan baru. Artinya belum ada pergeseran paradigma pembangunan. Hal ini bisa membahayakan Indonesia baik dalam hal mencapai target net zero maupun momentum untuk menjadi pemain utama mineral kritis.

Pasalnya, ledakan (booming) ekspor olahan nikel terjadi pada 2023 lalu yang menyebabkan harga nikel turun. Hasil olahan nikel pun masih pada tahap ferronickel atau bahan baku stainless steel. Praktik ini masih Business as Usual dibalut “green” dan membuat potensi ekonomi nikel Indonesia tidak optimal.

Pentingnya Kebijakan dan Peran Sentral Perbankan

Keberhasilan transisi dan hilirisasi tidak bisa dilepaskan dari faktor kebijakan dan aspek pembiayaan. Dalam konteks hilirisasi, Indonesia telah mengatur tentang ekspor mineral mentah, tetapi belum mengatur terkait aktivitas pertambangan dan hilirisasi yang sesuai dengan agenda transisi.

Kebijakan ini membawa investor dan mengubah pola industri, namun tidak mengikat para investor dan perusahaan untuk melakukan praktik bisnis berkelanjutan. 

Seharusnya, kebijakan terkait hilirisasi juga mengadopsi prinsip dan tujuan untuk mencapai target net zero. Adanya kebijakan ini dinilai dapat memberikan sinyal kuat bagi investor maupun perbankan yang memiliki standar pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance) untuk investasi di Indonesia.

Dengan begitu, Indonesia tidak harus bergantung pada satu investor besar seperti Tiongkok  dan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan juga terpenuhi.

Ricko Nurmansyah
Peneliti The Prakarsa

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.