Makan Bergizi Gratis dan Momentum Melawan Diabetes Melitus

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Putu Yuliandari
9/11/2024, 06.30 WIB

Empat belas November dirayakan sebagai hari diabetes sedunia. Momentum tersebut dapat menjadi pengingat kita terhadap penyakit kronis yang terus mengintai ini.  

Menurut data International Diabetes Foundation (2021), lebih dari 500 juta orang di dunia mengidap diabetes melitus (DM) atau kencing manis. Jumlahnya makin meningkat, bahkan diperkirakan menjadi 700 juta orang pada 2045. 

Pada 2021, Indonesia menduduki negara ke-5 dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia. Ditemukan 19 juta orang pengidap diabetes, jumlah ini merupakan 19% dari total penduduk Indonesia ketika itu. Apabila tidak dilakukan intervensi yang serius, jumlah pengidap diabetes akan mencapai 40 juta orang pada 2045. 

Laporan Kementerian Kesehatan dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 pun menemukan prevalensi diabetes melitus pada penduduk umur mulai 15 tahun sebesar 11,7%, meningkat dibandingkan survei serupa tahun 2018.

Peningkatan jumlah penderita diabetes melitus yang signifikan patut menjadi perhatian serius. Kadar gula darah yang tinggi secara terus-menerus dapat merusak berbagai organ tubuh. Kondisi tersebut dapat berpotensi memicu komplikasi serius, seperti serangan jantung dan stroke. 

Ali Ghufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan, mengungkapkan terjadi peningkatan klaim penyakit diabetes melitus tiap tahun. Terdapat peningkatan sebesar Rp2,5 triliun dari 2018 hingga 2022. Peningkatan tersebut mengakibatkan beban kesehatan dan ekonomi yang besar pada Indonesia di tengah situasi sulit.

Dalam usaha mencegah diabetes melitus, penting untuk mengenali berbagai faktor risiko dari penyakit ini. Berdasarkan beberapa data ilmiah dan SKI 2023, laki-laki berisiko lebih tinggi menderita diabetes dibandingkan wanita. Usia yang lebih tua, level trigliserida yang tinggi, gaya hidup minim olahraga (sedentary life), merokok, tekanan darah tinggi (hipertensi), kelebihan berat badan, dan riwayat keluarga dengan diabetes melitus juga berpengaruh terhadap munculnya penyakit ini. 

Penanganan diabetes melitus dapat dilakukan dengan terapi medikamentosa dan non-medikamentosa. Terapi medikamentosa meliputi penggunaan obat untuk menurunkan kadar gula darah melalui peningkatan sensitivitas insulin dengan memasukkan gula darah ke dalam sel tubuh. Obat berguna untuk mengontrol gula darah secara cepat dan tepat serta menahan laju komplikasi.

Selain penggunaan obat, hal yang tidak kalah penting untuk didorong saat ini adalah terapi non-medikamentosa yang dapat memodifikasi faktor risiko penyakit ini. Di antaranya adalah olahraga, peningkatan aktivitas, pengaturan pola makan, serta edukasi kesehatan. Kerja sama berbagai pihak dan kesadaran yang kuat akan akar permasalahan ini dibutuhkan untuk mendukung terapi non-medikamentosa ini. 

Dalam laporan SKI 2023, ditemukan sekitar 50% anak usia 3-14 tahun mengonsumsi lebih dari satu minuman dan makanan manis per hari. Selain itu, Puspita dan Adriyanto dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Surabaya menemukan bahwa asupan gula pada jajanan anak yang bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Negeri jauh lebih besar dibandingkan di SD Swasta. 

Ditemukan jumlah asupan gula yang lebih banyak sebesar 130% (SD Negeri) dan 80% (SD Swasta) dari batas konsumsi gula harian. Padahal, berdasarkan Permenkes Nomor 30 tahun 2013, setiap orang hanya ‘diperbolehkan’ mengonsumsi gula sekitar 4 sendok makan atau 50 gram per hari.

Salah satu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembatasan konsumsi gula adalah kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang akan diterapkan mulai 2025. Besarnya tarif cukai ini direncanakan akan naik secara bertahap dari 2,5% hingga 20%. 

Kebijakan cukai ini diharapkan dapat menurunkan konsumsi minuman berpemanis melalui kenaikan harga jual, sehingga masyarakat lebih terdorong memilih opsi minuman yang lebih sehat. Hal ini pun sudah dilakukan di negara tetangga kita, misalnya Malaysia sejak 2019 dan Thailand sejak 2017. Kebijakan di negara tersebut berhasil menurunkan konsumsi masyarakat pada minuman manis antara 9% hingga 26%.

Adapun hal lain yang patut diterapkan secara menyeluruh oleh Indonesia adalah mencantumkan indikator kandungan gula pada minuman kemasan (food labeling). Inisiatif ini dipelopori oleh Super Indo sejak 2023 dan diterapkan pada seluruh gerai supermarketnya. 

Edukasi terhadap masyarakat ini dilakukan melalui pemberian label warna dari kuning hingga jingga tua. Kegelapan warna menunjukkan peningkatan kandungan gula dalam minuman kemasan tersebut. Nutri-grid atau color guide ini telah dilakukan di negara Singapura sebagai upaya menurunkan angka diabetes melitus dan obesitas. Hal ini dapat menjadi contoh bagi pemerintah melalui BPOM sebagai upaya pengendalian kadar gula dalam minuman kemasan, sekaligus produk pangan berbahaya. 

Selain kadar gula, pengaturan kadar garam dalam produk makanan juga perlu menjadi perhatian pemerintah. SKI 2023 melaporkan 1 dari 3 anak usia 3-14 tahun di Indonesia mengkonsumsi lebih dari 1 makanan asin per hari. Padahal konsumsi garam yang ‘diperbolehkan’ hanya 5 gram atau 1 sendok teh. Konsumsi garam berlebih dapat meningkatkan risiko hipertensi, yang merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit diabetes melitus dan jantung. 

Di samping upaya regulasi, edukasi kesehatan tentang pentingnya pola makan sehat harus digalakkan. Masyarakat perlu memahami batas aman asupan gula dan garam sehari-hari untuk menjaga kesehatan. Pengenalan informasi ini sebaiknya dimulai dari tingkat pendidikan dasar, bahkan kelas 1 SD. 

Pemerintah dapat mengintegrasikan materi tentang gizi seimbang (termasuk batasan konsumsi gula dan garam) dalam kurikulum Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK). Hal ini diharapkan dapat membentuk kesadaran akan pentingnya pola makan sehat sejak dini, sehingga risiko penyakit terkait gaya hidup, seperti diabetes dan hipertensi, dapat diminimalkan.

Upaya pemerintah dalam mencegah stunting melalui program makan siang gratis yang bergizi bisa menjadi upaya pengenalan pola makan sehat. Pemberian edukasi sekaligus praktik nyata mengenai kebutuhan gizi yang baik, terutama jumlah protein sesuai dengan angka kecukupan gizi, serta jenis jajanan (snack) sehat. Anak yang sudah kenyang dengan makanan sehat akan memiliki keinginan yang lebih rendah untuk jajan tinggi gula maupun garam. Hal ini patut menjadi perhatian banyak pihak, terutama ahli gizi dan kesehatan.

Jangan sampai program makan siang bergizi gratis malah memberikan makanan atau minuman kemasan yang tinggi gula dan garam, misalnya susu kemasan murah tinggi gula, yang ujung-ujungnya bertentangan dengan upaya pemerintah dalam mengatur batas konsumsi gula, garam, dan lemak.

Edukasi berkelanjutan akan mendukung kebijakan regulasi dalam menciptakan generasi yang lebih sehat dan berdaya tahan tinggi terhadap penyakit kronis. Melawan diabetes melitus memerlukan kerja sama semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. 

Kebijakan cukai minuman kemasan manis dan upaya makan siang gratis merupakan salah satu upaya pemerintah. Namun, edukasi kesehatan sangat penting dilakukan sehingga masyarakat akan mampu melakukan berbagai usaha yang tepat untuk menolong dirinya sendiri mencegah dan melawan penyakit ini.

Opini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili instansi.

Putu Yuliandari
Peneliti, Pusat Riset Biomedis, Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.