Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB (COP CBD 16) yang berlangsung di Cali, Kolombia, akhir Oktober hingga awal November lalu, gagal membawa kado istimewa untuk masyarakat adat sejagat.
Negara-negara maju yang telah berjanji menyiapkan dana perlindungan biodiversitas gagal memenuhi komitmen tersebut. Janji itu didengungkan dalam COP CBD 15 di Montreal, Kanada, pada 2022.
Sejumlah perdebatan muncul, terkait pengelolaan dana. Apakah dikelola badan baru atau tetap melalui mekanisme yang sudah ada, seperti Global Environment Facility (GEF). Kemudian, apakah pendanaan ini akan datang dari pemerintah atau sektor swasta?
Pada COP CBD 15, tepatnya Target 19 dalam kerangka Kunming-Montreal Global Biodiversity, negara-negara maju atau negara-negara utara berkomitmen menyediakan dana sebesar US$20 miliar per tahun mulai 2025. Dana ini dipakai untuk melindungi keanekaragaman hayati di negara-negara berkembang.
Namun, menjelang 2025, pendanaan ini masih jauh dari cukup, bahkan dengan kekurangan yang sangat signifikan. Berdasarkan laporan terakhir, terdapat kekurangan hampir sebesar US$9 miliar yang harus segera dipenuhi jika target tersebut ingin tercapai.
Sejatinya, untuk melakukan penyelamatan keanekaragaman hayati membutuhkan dana mencapai US$700 miliar secara global. Dana tersebut selain dikumpulkan dari negara-negara anggota COP CBD, juga berasal dari pengurangan subsidi yang merusak, dan pengenaan pajak bagi sektor-sektor industri yang memanfaatkan keanekaragaman hayati bumi.
Untuk itu, langkah konkret dari negara-negara kaya sangat dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan pendanaan keanekaragaman hayati. Namun, selama COP CBD 16, banyak negara utara yang datang dengan tangan kosong dan bahkan mencoba menghindari komitmen mereka pada 2022.
Keengganan tersebut tidak terlepas dari adanya tekanan kuat dari lobi industri, seperti sektor farmasi dan agribisnis besar, yang seringkali menempatkan kepentingan mereka di atas upaya perlindungan alam.
Sebagai contoh, perusahaan farmasi besar menggunakan informasi genetik dari alam, seperti urutan genetik dari spesies seperti gila monster (Heloderma suspectum), untuk mengembangkan obat-obatan. Meskipun hasilnya sangat menguntungkan, negara-negara yang menyediakan sumber daya genetik ini, termasuk Indonesia, sering kali tidak mendapatkan manfaat apapun dari pemanfaatan tersebut.
Bagi negara-negara selatan, yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, penting untuk mendapatkan bagi hasil dari pemanfaatan sumber daya genetik yang ada di wilayah mereka.
Misalnya, pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat tentang pemanfaatan tumbuhan untuk obat-obatan sering kali digunakan oleh industri farmasi tanpa memberi keuntungan atau perlindungan kepada masyarakat tersebut. Hal ini menjadi alasan kuat bagi negara-negara asal sumber daya genetik untuk menuntut agar ada mekanisme pembagian hasil yang adil.
Dalam konteks ini, sebuah usulan menarik muncul di COP 16 yang dapat membantu mengisi kesenjangan pendanaan biodiversitas, yakni pembayaran bagi pemanfaatan informasi urutan genetik digital.
Di masa depan, penggunaan informasi genetik ini diharapkan dapat mendatangkan dana sebesar US$10 miliar per tahun dari korporasi besar pengguna manfaat informasi genetik. Sebagian dari dana tersebut akan disalurkan langsung kepada masyarakat adat dan komunitas lokal yang menjadi pelaksana utama dalam perlindungan alam.
Sayangnya, beberapa negara maju, termasuk negara-negara Eropa dan Amerika Utara, menentang mekanisme ini, dengan alasan bahwa sistem sumbangan atau iuran sukarela akan lebih efektif daripada sistem yang wajib.
Bagi negara-negara berkembang, terutama yang memiliki sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang melimpah, tantangan utama dalam mengakses pendanaan adalah ketidakmampuan sistem pendanaan yang ada untuk langsung menjangkau masyarakat adat dan komunitas lokal.
Masyarakat adat seringkali menjadi pelaksana yang paling efektif dalam upaya perlindungan alam dan ekosistem, tetapi mereka sering terhalang oleh birokrasi yang panjang dan sistem pendanaan yang rumit. Oleh karena itu, salah satu hal yang sangat dibutuhkan adalah adanya akses langsung terhadap pembiayaan yang memadai, tepat waktu, dan mudah diakses tanpa proses administrasi yang panjang.
Penting juga untuk diingat bahwa dana yang disediakan untuk perlindungan biodiversitas seharusnya tidak hanya mengalir melalui lembaga seperti GEF, yang selama ini dianggap tidak transparan, terlalu teknikal, dan sulit diakses oleh negara-negara berkembang.
Sebagian besar negara selatan, termasuk negara-negara megabiodiversitas seperti Indonesia, mendorong pembentukan badan baru yang khusus mengelola dana-dana biodiversitas ini, dengan tujuan agar dana tersebut dapat langsung diterima oleh masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah lama menjaga dan melestarikan alam.
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh beberapa pihak, seperti disebut di atas, adalah mengalokasikan dana US$20 miliar setiap tahun dari negara-negara maju untuk perlindungan biodiversitas yang dapat diakses langsung oleh masyarakat adat dan komunitas lokal.
Ini semula bisa dilakukan mulai 2025. Hal ini bertujuan agar dana tersebut tidak hanya berputar di tingkat pemerintah pusat atau lembaga internasional, tetapi juga sampai ke level grassroots, di mana perlindungan alam sesungguhnya dilakukan.
Namun, dalam diskusi di COP CBD 16, ada perdebatan mengenai apakah dana US$20 miliar itu harus digabung dengan pendanaan dari industri, terutama yang berasal dari pembayaran bagi hasil pemanfaatan informasi urutan genetik, ataukah terlepas.
Negara-negara selatan menegaskan bahwa dana ini harus dipisahkan agar tidak terjadi tumpang tindih, dan dana untuk pembagian hasil dari pemanfaatan genetik harus tetap terpisah dari komitmen pemerintah negara-negara maju. Sementara negara-negara Utara menyatakan digabungkan.
Perlindungan keanekaragaman hayati memerlukan tindakan nyata, bukan hanya sekedar komitmen politik atau janji yang belum terealisasi. Masyarakat adat dan komunitas lokal telah lama menjadi garda terdepan dalam melindungi alam, dan mereka membutuhkan dukungan finansial yang tepat agar dapat terus menjalankan tugas penting ini.
Selain itu, negara-negara maju harus memahami bahwa ketergantungan pada industri besar dan lobi perusahaan tidak bisa lagi diutamakan, terutama jika itu mengorbankan keberlanjutan hidup di Bumi.
Agar tujuan ini tercapai, diperlukan perubahan paradigma dalam pengelolaan dana dan pembagian hasil dari pemanfaatan keanekaragaman hayati. Pembiayaan yang adil, transparan, dan langsung kepada yang berhak adalah kunci untuk memastikan bahwa perlindungan alam bisa dilakukan secara efektif dan berkelanjutan. Tanpa tindakan nyata itu, kita akan terus kehilangan kekayaan hayati yang tak ternilai dan mendekati krisis ekologis yang tak terhindarkan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.