Pelayanan Publik Terintegrasi, Bukan sekadar Kompetisi Aplikasi

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Ernani Dewi Kusumawati
23/11/2024, 07.35 WIB

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan lonjakan signifikan dalam pengembangan aplikasi layanan publik oleh berbagai instansi pemerintah. Menurut data dari Kemenpan RB, terdapat lebih dari 27.400 aplikasi pemerintahan yang telah dikembangkan di berbagai instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah. 

Ada kemungkinan jumlah tersebut akan terus bertambah hingga mencapai lebih dari 50.000 aplikasi. Sayangnya, mayoritas aplikasi ini beroperasi secara terpisah antarinstansi, menciptakan tumpang tindih fungsi yang tidak hanya memperumit akses layanan bagi masyarakat, tetapi juga memboroskan anggaran negara hingga mencapai Rp6,2 triliun (2024). 

Alih-alih mendukung efisiensi pelayanan publik, fenomena ledakan jumlah aplikasi justru memperlihatkan kelemahan mendasar dalam perencanaan digitalisasi pemerintahan. Banyak aplikasi lahir tanpa strategi yang jelas, dibuat untuk menjawab kebutuhan ego sektoral instansi tertentu tanpa mempertimbangkan ekosistem yang lebih besar. 

Akibatnya, masyarakat dihadapkan pada kerumitan untuk mengakses layanan publik, karena harus mengunduh aplikasi berbeda untuk layanan yang saling terkait. Sementara itu, dari sisi anggaran, pengembangan aplikasi secara sporadis menjadi beban besar negara yang tidak memberikan hasil maksimal bagi masyarakat. 

Keresahan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik juga tercermin berdasarkan laporan yang diterima melalui Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) LAPOR! tahun 2023, tercatat 2,2 juta laporan dari masyarakat, dengan mayoritas berasal dari generasi milenial dan Gen Z. 

Ego sektoral dalam layanan publik pemerintah telah menjadi tantangan yang menghambat upaya mewujudkan pelayanan yang efisien dan terintegrasi. Setiap instansi berlomba menciptakan aplikasi digital sendiri tanpa mempertimbangkan interoperabilitas dengan sistem lain sehingga menghasilkan tumpang tindih fungsi dan kebingungan bagi masyarakat. 

Tidak jarang, dalam satu instansi saja terdapat banyak aplikasi yang tidak saling terhubung, sehingga akses layanan menjadi rumit. Pergantian pimpinan di berbagai instansi juga seringkali diikuti dengan pembuatan aplikasi baru, meninggalkan sistem lama yang akhirnya tidak terpakai. Akibatnya, anggaran negara terkuras untuk pengembangan aplikasi yang tidak memberikan dampak signifikan pada efisiensi dan kualitas pelayanan publik.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan perubahan pola pikir birokrasi yang lebih mengutamakan kolaborasi dibandingkan kompetisi antar instansi. Pemerintah harus mengedepankan pembangunan sistem yang terintegrasi dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat. 

Standar yang jelas dan pendekatan berbasis interoperabilitas harus menjadi prioritas utama. Dengan begitu, setiap aplikasi yang dibuat mampu berfungsi dalam ekosistem digital nasional. Dengan menghapus ego sektoral, pemerintah dapat menciptakan layanan publik yang lebih sederhana, efisien, dan benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, sekaligus menghemat anggaran negara yang selama ini terbuang percuma.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional. Perpres ini menekankan pentingnya integrasi dan interoperabilitas antaraplikasi pemerintah, serta menghentikan pengembangan aplikasi baru yang tidak terintegrasi. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi pemborosan anggaran dan meningkatkan efisiensi pelayanan publik. 

Sebagai respons, pada 2024 pemerintah meluncurkan portal Government Technology (GovTech) INA Digital. Tujuannya membangun ekosistem layanan digital pemerintahan yang terintegrasi dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Platform ini dirancang untuk mengintegrasikan berbagai aplikasi layanan publik yang sebelumnya terpisah-pisah sehingga masyarakat dapat mengakses layanan pemerintah secara lebih efisien dan terpadu. 

Lebih lanjut, pemerintah juga telah memulai melakukan peluncuran terbatas tahap pertama produk INA Digital. Inisiatif ini mencakup tiga produk utama: INApas; INAku; dan INAgov, yang masing-masing dirancang untuk menyederhanakan akses masyarakat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) terhadap layanan publik dan administrasi pemerintahan. 

INApas menghadirkan identitas digital terpadu yang memungkinkan pengguna mengakses berbagai layanan pemerintah dengan lebih praktis. INAku, di sisi lain, menjadi portal pelayanan publik yang mempermudah masyarakat mengakses layanan digital secara terpusat. 

Sementara itu, INAgov fokus pada efisiensi administrasi pemerintahan dengan menyediakan akses terpadu bagi ASN. Peluncuran ini tidak hanya menjadi langkah awal menuju layanan publik yang lebih baik, tetapi juga menjadi wadah untuk menerima masukan yang akan digunakan untuk pengembangan lebih lanjut, memastikan sistem ini benar-benar responsif terhadap kebutuhan pengguna.

Namun, perlu juga dicatat bahwa upaya integrasi ini juga masih akan menghadapi tantangan signifikan. Transformasi digital dalam pelayanan publik bukan sekadar mengganti proses manual dengan sistem komputerisasi dan menyederhanakan rumitnya birokrasi tetapi juga melibatkan perubahan budaya organisasi, pengembangan infrastruktur yang memadai, dan memastikan aksesibilitas teknologi bagi seluruh lapisan masyarakat. 

Integrasi layanan publik juga bukan hanya soal efisiensi birokrasi, tetapi juga upaya untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketika masyarakat merasakan kemudahan, kecepatan, dan transparansi dalam mengakses layanan, mereka akan lebih percaya pada institusi pemerintah. 

Ini bukan hanya terkait tantangan teknologi, tetapi juga peluang besar untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih baik, lebih inklusif, dan lebih trusted di era digital.

Mewujudkan birokrasi yang terintegrasi tentunya tidak semudah menggabungkan aplikasi atau membangun platform digital baru. Proses ini adalah transformasi menyeluruh yang melibatkan teknologi, perubahan budaya kerja, dan sinergi lintas instansi. 

Namun, tantangan terbesar terletak pada implementasinya: Bagaimana memastikan sistem yang dirancang dengan baik dapat berjalan efektif, responsif, dan berkelanjutan? Dalam hal ini,  diperlukan pengembangan standar teknologi yang seragam di seluruh instansi pemerintah untuk memastikan semua sistem dapat saling terhubung dan berbagi data secara efisien. Interoperabilitas ini akan meminimalkan duplikasi dan tumpang tindih fungsi antar instansi. 

Pemerintah perlu menetapkan tata kelola kebijakan yang kuat untuk mendukung integrasi birokrasi, termasuk terkait keamanan data dan aturan yang mewajibkan instansi untuk menggunakan sistem terintegrasi serta melarang pengembangan aplikasi baru tanpa analisis kebutuhan. Aparatur Sipil Negara juga perlu dibekali dengan keterampilan digital agar mereka mampu beradaptasi dengan sistem baru.

Ke depan, pemerintah perlu mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi berbasis data yang terintegrasi, memungkinkan setiap instansi untuk saling berkoordinasi dan berbagi informasi secara transparan dalam pelaporan kemajuan. Selain itu, keterlibatan masyarakat sebagai pengguna layanan publik juga harus menjadi bagian dari evaluasi untuk memastikan transformasi ini benar-benar menjawab kebutuhan mereka. 

Dengan pendekatan ini, upaya menuju birokrasi yang terintegrasi tidak hanya menjadi jargon, tetapi sebuah langkah nyata menuju pelayanan publik yang lebih efisien, inklusif, dan berdaya saing global.

Terakhir, transformasi digital dalam pelayanan publik harus diarahkan untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Ini bukan tentang siapa yang memiliki aplikasi terbaik, tetapi bagaimana seluruh instansi dapat bekerja sama untuk menciptakan sistem yang benar-benar melayani kebutuhan rakyat Indonesia. Integrasi, bukan kompetisi, adalah kunci untuk mewujudkan layanan publik yang efektif dan berdaya saing.

Ernani Dewi Kusumawati
PNS di BPOM RI dan Mahasiswa Master of Arts in Digital Transformation & Competitiveness, UGM

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.