Jerat Perdagangan Orang dalam Konteks Migrasi Internasional

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Muamar Haqi
5/8/2025, 07.05 WIB

Menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan salah satu upaya mengurangi angka pengangguran. Namun, dari upaya ini tersimpan ancaman serius kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Salah satu modus TPPO yang paling banyak terjadi adalah melalui penempatan pekerja migran.  

TPPO merupakan salah satu kejahatan yang bersifat transnasional yang kompleks dan terorganisasi. Berbagai macam bentuk indikasi kejahatan TPPO di antaranya penipuan tawaran bekerja ke luar negeri lewat sosial media. Biasanya ini berbentuk tawaran gaji tinggi, tetapi tidak mensyaratkan kualifikasi khusus. 

Bagi kalangan yang sulit memperoleh pekerjaan dengan gaji layak di Tanah Air, tawaran ini sangat menjanjikan. Namun, kenyataannya bisa sangat berbahaya. Berdasarkan data empiris saat ini banyak pekerja migran yang terindikasi menjadi korban kejahatan TPPO.

Data dan Fakta Kasus TPPO

Berdasarkan data akumulasi dari Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI) selama 2020-2024 terdapat 5,21 juta penempatan PMI. Pada periode Januari-Juni 2025, terdapat 135.191 penempatan dan angka pengaduan PMI mencapai 1.120 kasus. 

Jika melihat data pengaduan 2025, Malaysia merupakan negara dengan kasus pengaduan terbanyak yaitu (291 kasus), disusul Kamboja (171 kasus), dan Arab Saudi (167 kasus). Kamboja termasuk negara dengan jumlah pengaduan tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Tingginya jumlah pengaduan dari Kamboja sungguh ironis, mengingat Indonesia dan Kamboja tidak memiliki kerja sama resmi terkait penempatan PMI.

Di sisi lain laporan tahunan Departemen Luar Negeri Amerika tentang perdagangan orang (human trafficking) tahun 2024, menempatkan Indonesia pada tingkat 2. Pada laporan tersebut Indonesia dinilai belum sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk memberantas kejahatan TPPO, namun telah melakukan upaya yang signifikan untuk memperbaikinya. 

Situasi ini tentu dapat merusak citra negara jika tidak ditangani dengan serius. Kejahatan TPPO dapat mencoreng reputasi internasional suatu negara, khususnya dalam hal pelindungan HAM dan penegakan hukum.

Modus TPPO

Saat ini modus-modus kejahatan TPPO semakin berkembang dalam menjerat korbannya. Banyak calon PMI kurang memiliki informasi mengenai risiko dan prosedur migrasi yang aman. Mereka sering tergiur oleh janji-janji pekerjaan dengan gaji tinggi, fasilitas lengkap, dan tempat kerja yang nyaman, tetapi berujung pada eksploitasi dan perbudakan. 

Modus perekrutan PMI ini biasanya dilakukan secara daring melalui media sosial. Mereka yang terjerat biasanya dipekerjakan di perusahaan online scam atau judi online di negara-negara seperti Kamboja, Filipina, Myanmar, Laos, dan Thailand. 

Meskipun calon PMI umumnya memahami prosedur untuk bekerja ke luar negeri, mereka enggan mengikuti proses yang panjang dan rumit. 

Makanya, sangat disarankan agar calon PMI mempelajari dan memahami prosedur bekerja secara aman dan legal. Kenali potensi terjerat kejahatan TPPO, sepeti tidak memiliki kontrak kerja atau dokumen resmi sebelum berangkat ke luar negeri, menggunakan visa turis bukan visa bekerja, dilarang menghubungi keluarga, dipaksa bekerja dalam kondisi buruk dan tanpa upah layak. 

Dalam Undang-Undang 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan peraturan turunannya telah mengatur prosedur bekerja ke luar negeri. Berangkat secara nonprosedural atau ilegal sangat rentan menjadi korban TPPO. 

Bekerja secara ilegal memiliki banyak kerugian. Misalnya, mereka rentan terhadap risiko penipuan, rawan eksploitasi, dan kekerasan fisik, pelecehan seksual, hingga gaji tidak dibayar. Hal ini merupakan serangkaian permasalahan yang mungkin dihadapi serta tidak mendapatkan pelindungan hukum yang memadai di negara tujuan. 

Situasi ini menyoroti pentingnya pencegahan, pelindungan, penindakan, serta peningkatan literasi migrasi aman dan sesuai jalur prosedur. Sosialisasi mengenai migrasi yang aman harus dilakukan secara masif  terutama di media sosial untuk memastikan calon pekerja migran dan keluarganya tidak terjerumus dalam jerat kejahatan TPPO. 

Mereka harus memahami pentingnya memilih jalur penempatan sesuai prosedural dan aman. Ini supaya menjamin hak-haknya, serta tidak memilih bekerja di negara-negara yang belum memiliki perjanjian kerjasama penempatan.

Strategi Pencegahan dan Penanganan TPPO

Dalam upaya pencegahan kejahatan TPPO, pemerintah memiliki Undang-Undang No 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, banyak pihak menilai bahwa regulasi ini sudah ketinggalan zaman dan perlu dilakukan perubahan. 

Penanganan kasus kejahatan TPPO membutuhkan pengembangan norma hukum dan penegakan hukum. Misalnya, harmonisasi peraturan terkait TPPO, penyusunan petunjuk teknis untuk aparat penegak hukum saat menangani kasus TPPO, kebijakan yang responsif, pengawasan yang ketat, penegakan hukum yang tegas, serta edukasi dan kesadaran masyarakat yang lebih baik. 

Pada tingkat regional, Indonesia juga telah mengadopsi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPTPPO) yang disinergikan dengan Rencana Aksi ASEAN 2015 melawan perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. 

Selain itu, meratifikasi Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Manusia. Namun, implementasi di lapangan masih memerlukan penguatan. Situasi ini mencerminkan masih lemahnya kerja sama antarnegara dalam penanganan kasus kejahatan TPPO yang bersifat transnasional.

Pelindungan bagi PMI kini menghadapi ujian yang semakin kompleks, memerlukan koordinasi, sinergi dan kerja sama antarpemangku kepentingan, serta koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Perdagangan orang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus diberantas. 

Kejahatan ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga merampas hak asasi, martabat, dan masa depan para korban. Tantangan pelindungan calon pekerja migran, PMI dan keluarganya dari kejahatan TPPO semakin berat. Dengan memperkuat sistem pelindungan dan menyebarluaskan informasi mengenai migrasi yang aman, diharapkan jumlah PMI yang menjadi korban TPPO dapat diminimalisasi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Muamar Haqi
Peneliti di Pusat Riset Kependudukan BRIN

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.