Ketika mendengar istilah “pabrik-pabrik gelap” (dark factories), yang terbayang adalah semacam praktik industri yang tidak mengindahkan peraturan sehingga kental dengan sistem informal, pekerjanya beraktivitas di bawah tekanan, ataupun situasi pabrik yang tidak bisa disebut layak dan aman.
Namun, istilah itu sebetulnya menunjuk pada pabrik-pabrik yang secara harfiah memang gelap gulita. Tidak perlu penerangan sama sekali karena yang bekerja di situ sepenuhnya adalah para robot, beroperasi tujuh hari per minggu, tanpa jeda, tanpa intervensi manusia. Ini disebut sebagai sebuah revolusi senyap. Pabrik-pabrik menggunakan robotika canggih, kecerdasan buatan, perangkat Internet of Things (IoT), serta analitik prediktif untuk berfungsi sebagai ekosistem yang mandiri. Industri otomotif, elektronik, farmasi, pesawat terbang, maupun pergudangan yang terkait, mendominasi pabrik-pabrik gelap.
Butuh Antisipasi Cepat
Menurut Coherent Market Insights, pasar global pabrik-pabrik gelap diproyeksikan bernilai sekitar US$47,28 miliar pada 2025 dan akan melaju mencapai US$76,42 miliar pada 2032. Lebih lanjut, Kawasan Asia Pasifik diperkirakan bakal mendominasi pasar ini, menyumbang sekitar 44,8% pada 2025, didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Kendati menjadi bagian dari Asia Pasifik, ASEAN dan Indonesia tidak eksplisit disebut di sini. Tampaknya Indonesia memang masih jauh dari tahap dipenuhi oleh pabrik-pabrik gelap tersebut. Industri nasional pun masih lumayan bercorak padat karya. Namun keterkaitan industri ASEAN dengan negara pengguna pabrik-pabrik gelap, membuat implikasi dari pabrik-pabrik gelap perlu diantisipasi serius.
Sektor manufaktur di ASEAN memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam rantai semikonduktor. Inilah yang membuat kehadiran dark factories di luar ASEAN dapat menyulitkan karena kawasan ini menjadi tidak lagi menarik. Tidak lagi perlu menggunakan tenaga kerja, berkualitas sekalipun, karena robot dapat menggantikannya, biaya produksi dapat ditekan, produktivitas industri meningkat, dan hasil produksi pun memiliki presisi dan tingkat kesalahan nyaris nol. Kontribusi Indonesia memang masih banyak di perakitan. Namun sektor semikonduktor inilah yang termasuk diandalkan karena memberikan pekerjaan bernilai tinggi dan tentu dengan produktivitas dan upah yang tinggi pula.
Maka masa depan ekonomi ASEAN, tentu termasuk Indonesia, adalah bagaimana menyikapi dan merangkul revolusi yang canggih ini. Tiga hal utama dikedepankan di sini. Pertama, aspirasi nasional harus di-reset, yakni para pembuat kebijakan harus cepat menilai ulang bagaimana lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi akan berubah akibat revolusi pabrik gelap. Rantai nilai baru akan menggantikan yang lama dengan ciri ramping, cepat, dan produktif.
Kedua, sektor prioritas perlu dipilih, mengingat kekhasan dari setiap rantai nilai, misalnya rantai nilai industri otomotif berbeda dengan rantai nilai elektronik. Ketiga, kebutuhan untuk membangun ekosistem basis. Di sini, perlu dipastikan ketersedian sumber daya manusia (insinyur, peneliti, inovator) dan perusahaan yang mampu merancang dan membangun pabrik gelap.
Mungkinkah Mencapai Keseimbangan?
Harus diakui bahwa saat ini penggunaan kecerdasan buatan di dunia bisnis sudah kian meluas dan membawa peningkatan efisien. Satu riset bahwa menemukan terjadinya peningkatan pengguna kecerdasan buatan di Indonesia, yakni sebanyak 59% masyarakat Indonesia telah mencobanya setidaknya sekali dalam beberapa tahun terakhir, dan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata negara di Asia Tenggara.
Namun, bagaimana persisnya peta jalan Indonesia dalam urusan kecerdasan buatan masih belum cukup jelas. Padahal penggunaan dan kegunaan kecerdasan buatan pastilah sangat ditentukan oleh kesiapan ekosistemnya, kebijakan pendukung, serta manusianya. Tanpa hal-hal ini, jangankan merangkul keberadaan pabrik- gelap, beradaptasi terhadap implikasi negatifnya pun menjadi tidak terbayangkan.
Sebelum terlalu terlambat, penting untuk mempertimbangkan bahwa revolusi senyap yang ditandai oleh pabrik-pabrik yang gelap itu juga mengandung kerawanan. Tepatnya adalah pemahaman bahwa efisiensi tidak bisa semata-mata diserahkan kepada logika kecerdasan buatan. Dalam hal ini, efisiensi haruslah tetap ditempatkan sebagai sarana untuk menyejahterakan warga, bukan sebagai tujuan final.
Kecerdasan buatan berpotensi mengancam banyak pekerjaan dengan keterampilan rendah atau pun yang setengah terampil. Kontradiksinya adalah kecerdasan buatan dapat meningkatkan produktivitas nasional, tetapi dengan mengorbankan banyak pekerjaan berulang (repetitive tasks) yang selama ini justru menjadi tulang punggung ekonomi dan jalan keluar dari kemiskinan. Ini jelas tantangan bagi Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang demikian besar.
Singkatnya, prinsip optimisasi mesin pintar dengan kecerdasan buatan tidaklah berguna ketika hasilnya tidak memberikan kemakmuran bagi masyarakat luas. Artinya, upaya menyikapi merebaknya pabrik-pabrik gelap di negeri-negeri tetangga kiranya harus diarahkan sebagai langkah mencari “jalan terang” bagaimana Indonesia harus menata diri menghadapi revolusi teknologi yang makin sarat dengan kecerdasan buatan.
Sekarang saatnya bagi Indonesia untuk mencari jalan terang tersebut, demi memastikan masa depan sosial ekonomi bangsa tidak ikut menjadi gelap.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.