Nobel dan Reformasi Ekosistem Riset Indonesia

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: M. Ikhsan Shiddieqy
4/12/2025, 06.05 WIB

Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia telah menganugerahkan Hadiah Nobel 2025 dalam bidang fisika, kimia, dan kedokteran pada pertengahan Oktober 2025. Inilah momen saat dunia memberi penghargaan kepada riset yang tak hanya canggih, tapi juga menyentuh persoalan.

Bak sudah menjadi ciri khas, Hadiah Nobel selalu jatuh pada kerja sains yang membumi. Bagi Indonesia, pengumuman penerima Hadiah Nobel 2025 seharusnya tidak hanya menjadi seremoni penghargaan tahunan, tetapi juga perlu dijadikan cermin besar.

Memang tidak mudah untuk memprediksi kapan orang Indonesia akan menerima Hadiah Nobel. Meski demikian, prediksi yang sulit tersebut bisa menjadi alasan untuk membenahi banyak hal agar prediksi kian mudah dibuat. 

Ekosistem Sains

Ketika dunia memberi penghargaan pada temuan riset jangka panjang yang lahir dari ekosistem riset yang stabil, Indonesia masih berkutat pada tantangan pendanaan, birokrasi, hingga evaluasi yang lebih kuantitatif daripada substantif.

Secara kuantitas, Indonesia sebenarnya tak kekurangan geliat akademik. Menurut Nature Index, Indonesia ada di posisi ke-53 dunia dan ke-11 Asia Pasifik untuk output riset. Scimago Journal Rank juga mencatat Indonesia masuk 40 besar negara dengan produktivitas ilmiah tertinggi.

Namun, produktivitas itu belum selaras dengan data lainnya. Studi bertajuk Ranking Researchers: Evidence from Indonesia (2023) menyebutkan bahwa 62% peningkatan publikasi dihasilkan dari prosiding konferensi, bukan dari jurnal internasional bereputasi. 

Di tambah lagi, dalam Global Innovation Index 2022, Indonesia masih bertengger di posisi 75 dari 132 negara. Data tersebut sedikit memberi indikasi bahwa riset yang dilakukan di Indonesia tak selalu berdampak pada inovasi.

Perlu diakui, sebagian riset ada yang berupa riset dasar, tidak selalu berujung pada inovasi, produk, atau hal konkrit lainnya. Namun, pesan pentingnya adalah riset diharap tidak dilakukan untuk menyelesaikan target administratif, namun untuk mendukung eksplorasi ilmiah.

Sains yang diakui dunia lahir dari ekosistem yang stabil, kolaboratif, dan berani gagal. Nobel 2025 memberi bukti bahwa riset-riset besar sering lahir dari kerja ilmiah lintas dekade. Tanpa kesabaran jangka panjang, tidak mungkin sains Indonesia melahirkan lompatan.

Bukan berarti peluang itu tidak ada. Ilmuwan Indonesia perlahan sudah mulai mendapat tempat di panggung dunia, hingga masuk dalam daftar 2% ilmuwan top global. Ini perlu dipelihara agar tidak padam di tengah jalan.

Strategi Pembenahan

Siapapun akan setuju bahwa Nobel bukanlah satu-satunya ukuran kemajuan sains. Meski begitu, Nobel dapat menjadi indikator petunjuk untuk melihat di mana posisi ekosistem riset saat ini dan hal apa saja yang perlu diperbaiki.

Selain itu, Nobel menjadi refleksi mengenai riset jangka panjang yang tumbuh dalam kultur ilmiah yang sehat. Sebab, sains sejatinya bukan sekadar produk publikasi dan output kuantitatif lainnya, melainkan hasil dari keberanian berpikir jauh ke depan.

Memberikan otonomi akademik lebih besar kepada pelaku riset dapat dipertimbangkan agar arah riset selaras dengan kekuatan keilmuan. Pelaku riset dapat lebih leluasa merancang pertanyaan riset yang relevan dan berdampak nyata jika mendapat ruang gerak yang memadai. 

Riset tanpa urusan administrasi? Ini juga tidak mungkin. Hal administratif tetap akan selalu ada dan harus dikerjakan pelaku riset, namun pemisahan proporsional antara substansi dan administrasi diharapkan mampu menjaga agar porsinya tetap wajar dan riset tetap menjadi prioritas.

Di samping dukungan pendanaan, keberpihakan kebijakan terhadap ilmu pengetahuan juga tak kalah penting. Negara harus menunjukkan komitmen pada riset dengan memberi ruang tumbuh bagi pemikiran independen dan keberanian ilmiah. 

Membenahi ekosistem sains artinya memulihkan makna dari kegiatan ilmiah itu sendiri. Artinya, para pelaku riset juga perlu berbenah, tidak hanya dengan meningkatkan kapasitas keilmuan, tetapi juga dengan membangun budaya kolaboratif dan keterbukaan.

Bagi para pelaku riset, kejujuran intelektual dan semangat pelaksanaan etika ilmiah harus jadi napas keseharian. Keduanya bukan sekadar wacana normatif, tetapi fondasi kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan. 

Integritas pelaku riset dalam mengolah data, menyusun argumen, hingga mempublikasikan hasil riset adalah syarat mutlak agar sains tetap menjadi pemandu, bukan sekadar penumpang dalam arah penyusunan kebijakan atau keputusan strategis.

Keteladanan semacam ini tercermin dari trio penerima Nobel 2025 di masing-masing bidang sains yang menunjukkan ketekunan jangka panjang, kolaborasi keilmuan, dan integritas tanpa kompromi.

Melakukan riset seharusnya bukan sekadar memenuhi kewajiban kerja, melainkan menyumbang pada pengetahuan kolektif. Jika itu saja bisa kita rawat, Nobel mungkin tetap terasa jauh, namun jarak itu akan mengecil seiring tumbuhnya mutu integritas riset dan pelakunya.

Don’t switch off the light, even at night,” begitu kata Susumu Kitagawa, penerima Nobel Kimia 2025. Peneliti tidak boleh takut menjelajahi hal-hal tak terduga atau melewatkan peluang, bahkan di masa-masa paling gelap. Sebab sains sejatinya terus menyala, bahkan dalam gelap.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

M. Ikhsan Shiddieqy
Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.