Di tengah pergulatan melawan tingginya tingkat korupsi, Indonesia masih meraih skor rendah 37 dari 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Transparency International 2024. Data ini kian menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah.
Apalagi dunia usaha merupakan penggerak utama perekonomian yang menyumbang porsi terbesar terhadap output nasional melalui sektor manufaktur, perdagangan, pertanian, jasa, hingga pertambangan. Kadin bahkan mengklaim dunia usaha swasta menyumbang 60% PDB, jauh di atas belanja pemerintah (yang umumnya lebih rentan dikorupsi) yang hanya berkontribusi 7-9%.
Karena itu, dunia usaha khususnya sektor swasta memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan ekosistem bisnis yang lebih bersih dan berintegritas. Dengan meningkatnya tuntutan investor, mitra bisnis, dan konsumen terhadap standar integritas yang tinggi, Perusahaan sudah tidak punya pilihan selain harus total dalam mencegah korupsi dan memperbaiki tata kelolanya. Perusahaan yang menjunjung tinggi integritas akan memiliki reputasi yang baik dan kelangsungan bisnis yang lebih menjanjikan.
Meski banyak perusahaan sudah memiliki kode etik, kebijakan anti-gratifikasi, maupun kanal whistleblowing, pelanggaran integritas masih terjadi. Penyebabnya kerap kali terletak bukan pada ketiadaan aturan di internal perusahaan, melainkan karena nilai etis yang belum membudaya dalam praktik keseharian. Budaya anti-korupsi bukan dibentuk dari dokumen kebijakan. Ia lahir dari tindakan nyata yang konsisten: dari cara pemimpin mengambil keputusan, keberanian untuk menjaga transparansi, dan kualitas komunikasi internal yang secara konsisten menggaungkan pentingnya integritas.
Kepemimpinan sebagai Pembentuk Budaya Anti-Korupsi
Pemimpin adalah faktor kunci dalam menentukan apakah budaya antikorupsi dapat tumbuh atau sekadar menjadi slogan. Ketika pimpinan berani menolak kompromi etika demi konsisten dalam koridor nilai integritas, ia sedang membangun standar perilaku bagi seluruh organisasi. Sebaliknya, satu toleransi saja terhadap suatu pelanggaran memberikan pesan inkonsistensi yang akan melemahkan pilar bangunan budaya integritas.
Hal ini sejalan dengan temuan dalam publikasi akademik “Leadership Integrity: A Strategic Pillar for Ethical Decision Making” (Iddrisu, 2024) yang menekankan bahwa integritas pemimpin adalah pilar strategis yang melandasi pengambilan keputusan moral dan membentuk tingkat kepercayaan suatu organisasi.
Keteladanan terbukti efektif dalam menanamkan budaya etis dibandingkan jika hanya bertumpu pada kebijakan formal. Ketika nilai-nilai ini mengakar, organisasi tidak hanya membangun kepercayaan dan kredibilitas, tetapi juga menjadikan integritas sebagai elemen strategis yang memperkuat keberlanjutan bisnis jangka panjang.
Komunikasi Internal: dari Instruksi ke Dialog
Kepemimpinan yang baik hanya akan efektif jika didukung oleh komunikasi internal yang terstruktur, jujur, dan relevan. Banyak program compliance tidak berjalan optimal bukan karena substansinya yang lemah, tetapi karena komunikasi yang hanya berkutat pada instruksi, bukan pemahaman. Karyawan perlu memahami alasan di balik aturan: mengapa konflik kepentingan harus dilaporkan, mengapa pemberian hadiah perlu diatur, dan mengapa transparansi dalam pengadaan sangat penting.
Sejumlah penelitian menegaskan bahwa budaya anti-korupsi dibangun melalui ruang-ruang dialog yang dihidupkan, bukan sekadar aturan yang diumumkan satu arah. Verne (2023) menekankan pentingnya menciptakan forum komunikasi dua arah yang memungkinkan karyawan menginternalisasi nilai-nilai anti korupsi.
Organisasi yang serius membangun dan memelihara integritas harusnya konsisten menyediakan forum-forum internal untuk mendiskusikan dilema etika dan membangun pemahaman tentang integritas. Melalui komunikasi seperti ini, integritas menjadi bagian dari percakapan sehari-hari dan pembelajaran bersama, bukan sekadar topik tahunan yang hanya dibahas saat penulisan Laporan Keberlanjutan.
Komunikasi internal yang sehat juga akan menciptakan speak-up culture, di mana karyawan merasa aman menyampaikan kekhawatiran tanpa takut dihakimi atau disudutkan. Di organisasi yang gagal membangun budaya antikorupsi, karyawannya cenderung memilih diam. Mereka melihat pelanggaran, tetapi tidak berani melapor karena khawatir dianggap bermasalah, takut konsekuensi terhadap karier, atau pesimis bahwa laporan akan ditindaklanjuti.
Dalam situasi seperti ini, kanal pelaporan secanggih apa pun tidak akan efektif. Rasa aman psikologis karyawan, keadilan prosedural dan komunikasi yang transparan adalah prasyarat mutlak agar sistem whistleblowing maupun mekanisme penegakan nilai integritas lainnya dapat berjalan. Tanpa elemen tersebut, pelanggaran akan tetap tersembunyi dan perlahan mengikis integritas organisasi.
Kebijakan sebagai Penopang
Kebijakan, sistem audit, dan kanal pelaporan tetap penting untuk memastikan akuntabilitas. Namun, semua itu seharusnya menjadi penopang, bukan fondasi utama. Fondasi budaya antikorupsi terletak pada perilaku pemimpin dan kualitas komunikasi internal. Organisasi yang hanya mengandalkan dokumen kebijakan tanpa konsistensi perilaku ibarat membangun pagar tinggi di atas tanah yang rapuh. Saat tekanan muncul, pagar itu akan gontai dan perlahan roboh.
Peringatan Hari Antikorupsi seharusnya bukan hanya seremonial, tetapi momen reflektif untuk melihat kembali apakah nilai integritas sudah benar-benar terwujud dan membudaya di lingkungan kita. Apakah Pemimpin benar-benar menjalankan kebijakan anti korupsi? Apakah komunikasi internal sudah memberikan pemahaman dan ruang dialog? Apakah karyawan merasa aman dan mendapat dukungan untuk menegakan nilai integritas?
Pada akhirnya, integritas adalah konsistensi dalam mengambil setiap keputusan, bukan kampanye tahunan yang hanya menggema setiap 9 Desember. Organisasi yang berintegritas lahir dari pemimpin yang konsisten memilih integritas walau jalannya kadang berliku dan tidak mudah, serta dari komunikasi internal yang menghidupkan nilai tersebut dalam setiap proses dan interaksi kerja. Tanpa dua fondasi ini, budaya antikorupsi hanya akan menjadi slogan, bukan kenyataan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.