Sederet Kontroversi di Tangan Waseso

KATADATA/
Kantor PT Pelindo II di Tanjung Priok sempat digeledah Tim Bareskim Polri pada 28 Agustus lalu, termasuk ruang kerja Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino.
7/9/2015, 08.01 WIB

KATADATA ? Belum genap delapan bulan, Budi Waseso sudah harus kehilangan jabatannya sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Jenderal bintang tiga ini dipindah ke posisi barunya sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional.

Sejak didapuk menduduki jabatan prestisius itu pada 19 Januari 2015, nama Budi Waseso memang tak pernah sepi dari kontroversi. Banyak yang menilai, Budi bahkan membuat hubungan kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi semakin panas.

Empat hari setelah dilantik, dia menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan menjeratnya dalam kasus dugaan kesaksian palsu perkara Pilkada Kotawaringin Barat.

Penetapan Bambang sebagai tersangka, menurut mantan Wakil Kepala Kepolisian RI Oegroseno ketika itu, sarat akan muatan politik sebagai rentetan ditetatapkannya Budi Gunawan menjadi tersangka kepemilikan rekening gendut oleh KPK. Saat itu, Budi Gunawan merupakan satu-satunya calon Kapolri.

Para pelaku usaha melihat, kisruh antarlembaga ini memunculkan ketidakpastian hukum. Padahal, faktor ini merupakan salah satu kunci untuk menjaring investasi masuk Indonesia yang tengah menggenjot pertumbuhan ekonomi. Mereka bahkan khawatir pertikaian tersebut membuat investor yang sudah ada kabur ke luar negeri karena tidak optimistis dengan iklim yang berkembang.

Kekhawatiran ini bahkan sudah merasuki pasar modal. Managing Partner Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe, menyatakan investor saham memanfaatkan situasi tidak stabil untuk melakukan aksi ambil untung. Mereka khawatir akan keamanan dan prospek investasi di Indonesia terimbas perseteruan KPK-Polri. ?Ada asumsi bahwa investor menggunakan gonjang-ganjing politik untuk melakukan profit taking,? katanya, seperti dikutip Tempo.

Ketika itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia anjlok tajam, menyusul terjadinya koreksi teknikal yang melanda sebagian saham pada akhir perdagangan, Senin, 26 Januari 2015. Salah satu yang membuat indeks melemah 94 poin ke level 5.229,62 adalah isu negatif di tubuh penegak hukum.

Walau banyak yang menyesalkan, Budi Waseso pantang mundur. Ia malah kembali membuat serangkaian langkah kontroversial. Misalnya, Bareskrim melanjutkan pelaporan atas Ketua KPK Abraham Samad serta Komisioner  Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja.

Dalam waktu singkat, polisi lantas menetapkan Abraham Samad menjadi tersangka kasus pemalsuan kartu keluarga dan paspor milik Feriyani Lim pada 9 Februari 2015. Sepekan kemudian, Budi Waseso menyatakan akan menyelidiki kasus senjata api yang dipegang 21 penyidik KPK karena izinnya telah habis.

Tak berhenti di situ, Bareskrim menetapkan mantan Wakil Menteri Hukum Denny Indrayana sebagai tersangka kasus pengadaan payment gateway, yakni sistem pembayaran pembuatan paspor secara online pada 24 Maret 2015.

Padahal, menurut Deny yang sudah lama aktif mendorong pemberantasan korupsi, apa yang dilakukannya semata untuk memperbaiki pelayanan publik. Karena itu, dia menolak kebijakan yang ia buat selama menjabat wakil menteri sebagai tindak korupsi.

Kontroversi kembali meledak dan kian menjadi-jadi saat di awal Mei, Polisi nekat menangkap salah seorang penyidik KPK Novel Baswedan. Salah satu penyidik terbaik KPK ini akhirnya memang dibebaskan?meski sempat dibawa ke Bengkulu?setelah desakan publik kian kencang.

Berbagai langkah kontroversial itulah yang membuat tuntutan pelengseran Budi Waseso terus merebak. Salah satu yang paling bergema disuarakan oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi?i Maarif pada pertengahan Juli lalu.

Usul tersebut disampaikan oleh tokoh Muslim karismatik ini ke Presiden Joko Widodo setelah Bareskrim menetapkan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki sebagai tersangka pencemaran nama baik Sarpin Rizaldi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan gugatan praperadilan Budi Gunawan.

Namun, seakan tak kehabisan tenaga, pada bulan itu juga Bareskrim menetapkan mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara, Nur Pamudji, sebagai tersangka korupsi (meski baru sebatas lisan di media massa).

Peraih penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award ini dijerat pasal korupsi dalam kasus pengadaan bahan bakar minyak high speed diesel (HSD) yang dipasok oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).

Ketika kebijakan korporasi itu dibuat, Nur Pamudji menjabat Direktur Energi Primer dan Dahlan Iskan sebagai direktur utama. Saat menetapkan status tersebut polisi belum mengetahui berapa besar kerugian negaranya, sebab baru meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit.

Gara-gara kasus pengadaan BBM untuk PLN tersebut, Dahlan pun ikut dituduh terlibat tindak pidana korupsi. Tak hanya itu, mantan Menteri BUMN ini juga dibidik dalam kasus pengadaan bus listrik dan sawah fiktif di Kalimantan Barat.

Kasus terakhir yang memantik kontroversi, yakni dugaan korupsi oleh PT Pelindo II dalam pengadaan 10 crane. Tim Bareskrim pada Jumat, 28 Agustus, menggeledah kantor PT Pelindo II di Tanjung Priok, termasuk ruang kerja Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino.

Menurut Budi Waseso yang saat itu masih menjabat Kepala Bareskrim Polri, penggerebekan dilakukan untuk mencari bukti penyelewengan pengadan 10 crane. Hasilnya, penyidik membawa 26 bundel dokumen.

Selain itu, mereka menyegel satu unit harbor mobile crane. Atas penyelewengan pengadaan ini, Bareskrim menduga Negara dirugikan hingga Rp 54 miliar.

Reporter: Muchamad Nafi