Menakar Wacana Ternak Sapi Belgia Ala Menteri Erick Thohir

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.
Sapi impor dari Australia berada di dalam truk usai diturunkan dari kapal di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (15/4/2021).
Penulis: Pingit Aria
21/4/2021, 04.00 WIB
  • Indonesia masih kekurangan pasokan daging sapi dan harus impor dari Australia.
  • Membeli peternakan sapi di Belgia dianggap tidak feasible karena terlalu jauh.
  • Pemerintah disarankan untuk mengembangkan peternakan sapi lokal.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan keinginannya untuk membeli peternakan sapi di Belgia. Investasi itu akan dilakukan oleh perusahaan pelat merah dan untuk mengurangi impor daging yang selama ini dilakukan.

Ide itu dilontarkannya saat menjadi pembicara dalam sebuah webinar yang juga menghadirkan Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Andri Hadi. "Kalau ada peternakan sapi di Belgia yang mau dijual, Pak Dubes," kata Erick dikutip, Sabtu (17/4/2021).

Namun, Andri rupanya berpikir bahwa yang ingin dibeli oleh Erick adalah jenis sapi Belgia yang berdaging tebal. "Iya, ada Belgian Blue, Pak," jawab Andri.

Erick kemudian menjelaskan bahwa yang ingin dibelinya adalah peternakan. "Bukan (Belgian Blue), peternakannya Pak Dubes, kalau ada. Masak kita impor sapi terus," ujarnya. "Bagaimana kalau peternakannya kita beli, BUMN yang beli.”

Andri pun menyanggupi. "Sip. Kita cari, Pak," ujarnya.

Potongan dialog dalam webinar Milenial Hub: Milenial Fest x PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Belgia pada Sabtu (17/4) itu kemudian menuai pro kontra.

Benarkah investasi peternakan oleh BUMN di Belgia bisa membantu pemenuhan kebutuhan daging sapi Indonesia?

Harga Mahal Sapi Industrial

Selama ini, hampir 40% kebutuhan daging sapi Indonesia dipenuhi melalui impor dari Australia. Dari Negeri Kanguru, Indonesia tak hanya mendatangkan daging beku, tetapi juga sapi hidup.

Simak Databoks berikut: 

Sapi-sapi itu biasanya didatangkan pada usia 1,5 sampai 2,5 tahun. Kemudian sapi bakalan akan digemukkan di feedlot selama beberapa bulan sebelum dipotong. Dengan demikian, daging sapi dapat dipasarkan dalam bentuk segar di pasar-pasar tradisional yang belum memiliki fasilitas pendingin memadai.

Masalahnya, kebakaran hutan yang terjadi pada akhir 2019 hingga awal 2020 membuat Australia mengalami krisis sapi. Harganya pun melonjak. Dikutip dari ABC News, harga daging sapi yang siap dikapalkan dari Pelabuhan Darwin kini mencapai AU$ 4,3 atau sekitar Rp 47.500 per kilogram. Angka itu naik hingga 65% dibandingkan April tahun lalu.

Harga daging sapi di Indonesia pun turut merangkak naik. Apalagi, pada masa Ramadan hingga Lebaran umumnya terjadi kenaikan permintaan konsumsi daging masyarakat. Rata-rata harga daging sapi Nasional saat ini di kisaran Rp 123 ribu per kilogram, namun di Ibu Kota Jakarta harganya mencapai Rp 137 ribu per kilogram.

Pemerintah sebenarnya telah mencari alternatif pasokan, seperti India. Namun karena sebagian wilayah India belum bebas dari penyakit mulut dan kuku, pasokan daging sapi dan kerbau itu terbatas.

Kondisi ini yang rupanya mendorong Menteri Erick untuk mencetuskan ide membeli peternakan sapi di Belgia. Masalahnya, “Tidak cukup feasible,” kata Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf.

Jika Jepang dikenal dengan wagyu yang berdaging lembut, Belgia punya sapi Belgian Blue. Sapi Belgian Blue memiliki daging tebal dengan kandungan lemak yang sedikit. Dengan struktur tulang yang sama, ketebalan daging Belgian Blue bisa dua kali dari sapi biasa (double muscling).

Di Belgia, peternakan sapi dilakukan dengan skala industri dan teknologi tinggi. Sebagai gambaran, begitu tebalnya daging Belgian Blue hasil mutasi, semua induk harus melahirkan anaknya dengan operasi caesar.

Maka, Rochadi menyatakan, ide untuk membeli peternakan jauh di Belgia dan kemudian mengirim daging sapinya ke Indonesia tidak masuk akal. “Akan sangat mahal jadinya,” katanya.

Fokus Peternakan Lokal

Menurut Rochadi, Indonesia masih punya banyak lahan untuk mengembangkan peternakan sapi. Ketimbang membeli peternakan di luar negeri, BUMN bisa mengalokasikan anggaran untuk membenahi pembibitan dan pola usaha peternak lokal.

Simak Databoks berikut: 

Riset untuk mengembangkan bibit sapi unggul juga dapat dilakukan dengan menggandeng universitas-universitas terkemuka. “Peternak kita jangan dibebankan untuk breeding, industri BUMN yang harus melakukan itu. Nanti untuk penggemukan baru dilakukan oleh peternak rakyat,” kata Rochadi.

Karena melibatkan berbagai pihak, Rochadi menjelaskan, pemberdayaan peternakan sapi lokal harus diatur melalui Keputusan Presiden (Keppres). “Jangan perintah Menteri. Kalau perintah Menteri tidak akan jalan,” katanya.

Sementara itu, anggota komisi VI DPR, Amin Ak mengatakan, pembelian peternakan sapi di luar negeri hanya layak sebagai solusi jangka pendek. Untuk jangka Panjang, pemerintah wajib mengupayakan pemberdayaan peternak lokal.

“Pengelolaan peternakan yang efisien harus dikuasai oleh peternak Indonesia agar bisa swasembada daging,” ujar Amin yang komisinya membidangi BUMN itu, melalui keterangan pers, Selasa (20/4).

Dia menilai, beberapa tahun kedepan kebutuhan memenuhi daging sapi secara mandiri akan cukup sulit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), populasi sapi di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 17,5 juta ekor. Namun, merujuk data Kementerian Pertanian, hanya 25% dari jumlah itu yang siap potong.

Sementara itu, kebutuhan daging merah di Indonesia sekitar 700 ribu ton atau setara 5 juta ekor sapi per tahun. Dari jumlah itu, peternak sapi lokal baru bisa memenuhi sekitar 400 ribu ton. Karenanya, Indonesia mendatangkan hingga 1,7 juta ekor sapi bakalan dari Australia setiap tahunnya.

“Jadi untuk jangka panjang ada empat hal yang harus disiapkan untuk mencapai swasembada daging yaitu lahan peternakan yang cukup, bibit unggul, sistem peternakan yang efisien, juga sistem logistik atau distribusi yang efisien,” ujarnya.

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi