- Kejadian pasien isoman yang gejalanya memburuk dan meninggal terus terjadi.
- Jakarta paling terbuka dengan data jumlah pasien isoman yang meninggal.
- Epidemiolog memprediksi puncak angka kematian akibat Covid-19 akan terjadi pada pertengahan Agustus 2021.
Peristiwa pada 10 Juli 2021 masih teringat jelas dalam memori Harya Rifky. Mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berusia 25 tahun itu terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena saturasi oksigennya turun ke bawah 90%.
Tiga hari sebelum kejadian tersebut, sebagai pasien Covid-19, Harya melakukan isolasi mandiri atau isoman di Asrama Baciro. Di sana ia mendapat fasilitas lengkap, dari kesehatan hingga hiburan. Pada saat itu pun gejala yang ia alami hanya demam saja.
Namun, kondisinya menurun. Demamnya meninggi secara tiba-tiba sampai ia mengigau ketika tidur. Gejala bertambah parah ketika Harya mulai kesulitas bernapas. Saturasi oksigennya hanya 88%.
Di Rumah Sakit Akademik UGM, Harya beruntung bisa mendapatkan kamar walaupun harus menunggu sampai dua hari. Padahal, kondisi rumah sakit saat itu sangat penuh. “Waktu saya di sana, terdengar para dokter terus meminta maaf karena tidak bisa lagi menerima pasien,” ucapnya kepada Katadata.co.id, Rabu (28/7).
Harya lalu mendapatkan perawatan intensif selama tujuh hari di rumah sakit. Dokter memvonisnya pneumonia atau infeksi paru-paru, imbas dari virus corona yang menginfeksinya.
Kristiana Natasya, 21 tahun, juga mengalami peristiwa serupa. Pada 6 Juli lalu, ia divonis positif Covid-18 dan memutuskan isoman di rumahnya.
Rumah Nana bertingkat sehingga ia dapat melakukan isolasi di lantai atas. Semua komunikasi dan keperluannya dapat ia komunikasikan ke anggota keluarga lain melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp. Kakaknya yang seorang dokter juga terus memantau kondisinya.
Ketika itu, ia yakin kondisinya tidak akan drop. Apalagi dirinya sudah mendapatkan dua dosisi vaksin AstraZeneca. “Jadi, saat kemarin positif, saya memutuskan isoman saja di rumah,” ujar warga Yogyakarta tersebut.
Namun, seminggu setelah isoman saturasi oksigennya menurun, ditambah demam tinggi, sesak, mual, dan pusing. Kondisinya juga diperparah karena sedang haid dan memiliki riwayat anemia atau kurangnya sel darah merah.
Keluarganya pergi mencari oksigen tetapi tak berhasil. Rumah sakit juga penuh saat itu. Kakaknya memutuskan Nana tetap berada di rumah, dibantu obat-obatan dan melakukan proning untuk meningkatkan saturasinya. Ia akhirnya dapat melalui masa kritis.
Harya dan Nana cukup beruntung mendapatkan perawatan yang tepat dan cepat. Cerita Aulia Anggiesta, 17 tahun, justru berbeda.
Warga Kecamatan Cisoka, Tangerang, Banten, ini harus merawat ibunya, Rosilawi (39 tahun), untuk melakukan isoman di rumah. Khawatir menulari anggota keluarga yang lain, ibunya hanya berdiam diri di kamar selama kurang lebih dua minggu.
Sesekali Rosilawti keluar untuk berjemur atau ke toilet saja. Upaya pemulihan yang dilakukan dengan mengonsumsi obat-obatan dan vitamin. “Obatnya cuma pakai obat warung, Panadol. Lalu rutin minum vitamin dan air putih yang banyak. Dan stok banyak buah-buahan,” kata Anggi.
Rosilawati diduga tertular virus akibat sering bolak-balik ke pasar tradisional. Sehari-hari, ia bekerja menimbang dan mengantarkan sayur tauge yang diproduksi suaminya ke pasar.
Gejala yang dialami mulanya hanya demam ringan disertai sakit kepala. Kemudian, disusul flu dan batuk. Tak lama setelahnya, indera penciuman dan perasanya mulai terganggu.
Setelah kurang lebih dua minggu isoman di rumah, kondisinya mulai pulih. Namun, ia belum sempat tes lagi apakah sudah negatif atau belum. “Sudah mulai bekerja, belum ke pasar, sih, hanya setiap hari bangun pagi untuk menimbang tauge,” ucap Anggi.
Setelah kurang lebih seminggu kembali bekerja, awal pekan ini kondisi ibunya drop lagi. Demamnya langsung tinggi, wajahnya sampai merah. Ada keluhan sesak nafas juga.
Anggi mengatakan hingga hari ini, ibunya masih dalam kondisi tersebut. Namun, ia tak tahu pasti berapa saturasi oksigen ibunya. ”Di rumah tidak punya alatnya,” ujarnya.
Keluarganya pun belum sempat lapor ke pengurus rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW) setempat. Saat ini, ia bersama keluarga tengah mencari informasi terkait prosedur perawatan di rumah sakit.
“Kami dapat informasi di rumah sakit akan lama prosesnya, belum lagi kalau nanti ditolak. Kami berusaha cari informasi untuk dapat akses ke rumah sakit yang gratis juga,” kata Anggi.
Lonjakan Kematian Pasien Covid-19
Tingginya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia membuat negara ini disebut sebagai episentrum pandemi global saat ini. Varian Delta disebut sebagai biang keladinya. Varian ini dapat menginfeksi lebih cepat dibandingkan virus asalnya.
Seiring dengan kondisi tersebut, jumlah kasus kematian akibat virus corona juga terus melonjak. Angkanya terus mencetak rekor meskipun sejak 3 Juli lalu pemerintah sudah melakukan pengetatan gerak masyarakat alias PPKM.
Kasus kematian per 28 Juli 2021 bertambah 1.824 orang, setelah sehari sebelumnya mencetak rekor di angka 2.069 jiwa. Total jumlah keseluruhan mencapai 88.659 orang, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut.
Penderita Covid-19 yang melakukan isoman di rumah dan di luar rumah sakit turut menyumbang besar kondisi tersebut.
Data terkini dari situs Lapor Covid-19 menunjukkan, total kematian penderita Covid-19 yang lakukan isoman mencapai 2.706 jiwa. Angka ini dihimpun dari rekap Lapor Covid-19, organisasi masyarakat Sipil (CSO), komunitas, pemerintah daerah, jumlah provinsi terlacak, dan jumlah kota atau kabupaten terlacak.
Ibu Kota mencatat jumlah terbanyak. Namun, angka tersebut bukan berarti tingkat kematian di daerah lain terendah. Lapor Covid-19 menyebutkan, sejauh ini baru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang secara resmi dan terbuka mendata dan memberikan data kematian pasien isoman. “Di daerah lain masih seperti fenomena puncak gunung es,” tulis situs tersebut.
Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengatakan, tingginya kematian akibat Covid-19 ini disebabkan dari lemahnya strategi pengetesan (testing), telusur dan tindak lanjut (3T) oleh pemerintah.
“Kematian itu adalah produk kronis. Terjadi akibat berbagai keterlambatan, dari mulai dideteksi, ditemukan, dirujuk, hingga ditangani. Itulah penyebab kematiannya,” kata Dicky kepada Katadata.co.id.
Ia memprediksi, puncak tingginya angka kematian akibat Covid-19 akan terjadi pada pertengahan Agustus mendatang. Kasus kematian akan dididominasi oleh kasus-kasus kematian di masyarakat. Di antaranya, bahkan banyak yang tidak terdeteksi. “Ini adalah konsekuensi dari rendahnya 3T,” katanya.
Penyebab Tingginya Kematian pada Isoman Covid-19
Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menyebut, penyebab tingginya angka kematian pada pasien isoman akibat kapasitas di fasilitas kesehatan yang overload.
Di sisi lain, pasien Covid-19 yang isoman banyak yang tidak mendapatkan akses di tempat fasilitas kesehatan. Belum lagi, permasalahan minimnya ketersediaan obat, oksigen dan alat kesehatan lainnya. “Banyak dari mereka akhirnya memilih isoman karena pesimis kalau ke rumah sakit pun tidak akan dapat tempat,” ucap Adib.
Saat ini ada dua kelompok isoman di masyarakat. Pertama, mereka yang isoman karena sudah terkonfirmasi positif melalui hasil tes reaksi rantai polimerase atau PCR.
Kedua, mereka yang isoman hanya karena paham gejala. “Mereka memilih tidak melakukan tes usap atau swab PCR dan langsung isoman,” ujarnya.
Banyak dari kelompok isoman tersebut tidak terpantau oleh tenaga kesehatan. Mereka juga akhirnya tidak mendapat akses fasilitas kesehatan. “Sehingga banyak yang meninggal di rumah,” kata Adib.
Selain itu, menurut Dicky, sistem deteksi dan pelaporan kasus Covid-19 di Indonesia masih rendah. DKI Jakarta, dengan sistem deteksi dan pelaporan terbaik di negara ini saja, masih menemukan kasus isoman yang meninggal.
“Apalagi daerah lain yang sistem deteksi dan pelaporannya belum memadai,” ucapnya. “Maka tak heran kontribusi kematian isoman menyumbang banyak pada total kematian akibat Covid-19 di Indonesia.”
Pada Minggu lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut, warga isoman yang meninggal sebenarnya sudah bergejala berat dan kritis. Namun, pasien tersebut tidak sempat mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Di hari berikutnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan kondisi pasien isoman yang meninggal erat berkaitan dengan permasalahan sosial. “Masih ada stigma negatif masyarakat terhadap pasien Covid-19,” katanya saat melakukan konferensi pers.
Bagaimana Penanganan Pasien Isoman yang Tepat?
Adib mengatakan, ketika terkonfirmasi positif Covid-19, warga seharusnya segera melapor pada RT/RW atau puskesmas setempat. Nantinya, satuan tugas atau satgas setempat akan memantau kondisi pasien.
Namun permasalahannya, banyak yang tidak melapor. Mereka yang menangani sendiri di rumah, banyak yang tidak paham tanda bahaya virus ini. “Sehingga, ketika terjadi perburukan, tidak sempat tertolong,” katanya.
Kondisi perburukan yang dimaksud adalah ketika saturasi oksigen kurang dari 94. Lalu, frekuensi nafas lebih dari 20 kali per menit. Adib berpendapat, masyarakat harus lebih diedukasi terkait hal ini.
Hal senada juga dikatakan Dicky. Sebelum memutuskan isoman, perlu ada analisa risiko awal. “Atau apakah harusnya tersentralis di tempat yang diawasi penuh secara ketat. Atau bahkan perlu dirujuk ke rumah sakit,” katanya.
Untuk menghindari risiko buruk, pasien isoman harus diberi perawatan dukungan awal. Caranya, dengan memberikan obat-obatan yang cukup dan pemantauan secara rutin.
Meski isoman di rumah, kata Adib, pasien harus tetap terpantau dokter atau tenaga kesehatan di wilayahnya. “Dengan demikian, pasien paham kapan harus isoman dan kapan harus dibawa ke rumah sakit,” lanjutnya.
Penyumbang bahan: Dhia Al Fajr dan Alfida Febrianna (Magang)
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan