PT GoTo Gojek Tokopedia (GoTo) akhirnya memulai serangkaian proses menuju initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Startup berstatus Decacorn itu akan melepas 52 miliar lembar saham baru atau 4,345% dari total modal yang ditempatkan dan disetor penuh.

Saham GoTo ditawarkan di kisaran harga Rp 316-Rp 346 per lembar dengan target dana segar mencapai Rp17,99 triliun. Sebagian besar dana hasil IPO akan digunakan oleh GoTo (30%), Tokopedia (30%), GoPay (25%), GoFinance (5%), Gojek Singapura (5%), dan Gojek Vietnam (5%). Jika terealisasi ini akan jadi nilai IPO terbesar kedua setelah Bukalapak yang sukses mengumpulkan Rp21,99 triliun saat melantai bursa pada Agustus 2021 silam. 

Langkah GoTo ini memang bukan hal yang mengejutkan. Publik sudah mewanti-wanti rencana IPO, terutama setelah Gojek dan Tokopedia melakukan merger di pertengahan tahun lalu. Masuknya GoTo ke lantai bursa digadang-gadang akan meningkatkan nilai transaksi di pasar modal secara keseluruhan.

Otoritas bursa sampai harus berbenah untuk menyambut GoTo. Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan sejumlah regulasi baru untuk menggelar karpet merah bagi Decacorn seperti GoTo. Ini misalnya aturan soal Saham Hak Suara Multipel (SHSM) yang memungkinkan GoTo memiliki dua kelas saham. Saham seri A diperuntukkan bagi investor biasa, sedangkan saham seri B hanya dimiliki oleh para figur kunci di perusahaan. 

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan aturan ini dibuat agar para founder di startup tetap punya hak suara tinggi meskipun cuma mengantongi saham minoritas. Aturan ini juga sudah lumrah diterapkan di berbagai belahan dunia. Selain di Amerika Serikat, ketentuan SHSM juga sudah diterapkan di Singapura, Hong Kong, Jepang, Australia, Shanghai, Kanada, dan sejumlah bursa di Eropa. 

GoTo menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang menikmati regulasi SHSM. Dalam prospektusnya, manajemen GoTo menyebutkan saham seri B memiliki rasio nilai 30:1 dengan saham seri A. Saham seri B ini dipegang oleh para pendiri dan sejumlah dewan direksi.  

HARAPAN PENGEMUDI PASCAMERGER GOJEK-TOKOPEDIA (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.)
 

Prospek Saham GoTo

Selain memanfaatkan mekanisme dua kelas saham, GoTo juga menerapkan sejumlah strategi yang agak berbeda dari biasanya. GoTo sepertinya belajar banyak dari proses IPO PT Bukalapak Tbk yang dilakukan pada 6 Agustus 2021. Kala itu, emiten berkode BUKA itu melepas 25,77 miliar lembar saham dengan harga Rp850 per lembar.

Setelah sempat merangkak naik ke level Rp 1.110 dalam tiga hari, saham BUKA langsung anjlok. Bahkan pada perdagangan Rabu (16/3), saham BUKA hanya berada di level Rp 258 per lembar saham.

Mengantisipasi agar tidak terjerembab terlalu dalam, manajemen GoTo pun menunjuk ‘bandar’ untuk menstabilkan harga. GoTo menggunakan istilah ‘Opsi Penjatahan Lebih’ atau greenshoe. Ini dilakukan dengan memberikan hak kepada penjamin emisi untuk membeli hingga 15% tambahan saham saat IPO.

Dalam kasus GoTo, penjamin emisi PT CGS-CIMB Niaga Indonesia memperoleh jatah 7,8 miliar lembar saham seri A yang dialokasikan dari saham treasuri perusahaan. 

“Dana yang diperoleh dari penjualan saham tambahan tersebut selanjutnya akan digunakan untuk melakukan stabilisasi harga melalui pembelian saham di pasar sekunder untuk mengupayakan agar harga saham tidak menjadi lebih rendah dari Harga Penawaran,” tulis GoTo dalam prospektusnya. 

Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan opsi greenshoe ini menjadi salah satu poin menarik dalam prospektus IPO GoTo. “Jika benar dijalankan akan efektif karena memberikan rasa aman terhadap investor. Jika harga turun pun mungkin tidak separah BUKA,” kata William kepada Katadata, Rabu (16/3). 

Lantas bagaimana dengan harga sahamnya? CEO Sucor Sekuritas Bernadus Wijaya menilai harga saham di rentang Rp 316-Rp346 per lembar yang ditawarkan GoTo sebenarnya cukup menarik. 

“Ini memang mencerminkan kekuatan GoTo,” katanya saat dihubungi Katadata, Selasa (15/3).

Angka gross transaction value (GTV) GoTo misalnya mencapai Rp414,2 triliun dalam 12 bulan terakhir per 30 September 2021. Jika menggunakan valuasi konvensional, nilai buku (book value per share/BV) GoTo sebelum IPO mencapai Rp119,15 per lembar saham. Nilai BV ini diperoleh dengan menjumlahkan total ekuitas positif dibagi jumlah saham tercatat. 

Data prospektus menunjukkan total ekuitas GoTo senilai Rp130,52 triliun per Juli 2021, dan jumlah saham tercatat sebesar 1,19 triliun lembar. Ini menunjukkan saham perdana yang ditawarkan setara dengan 2.89-3,16 kali nilai buku atau price to book value. 

Kendati demikian, menurut Bernadus, untuk sektor teknologi penghitungan valuasi lebih fokus pada pertumbuhan perusahaan. “ Kita menggunakan parameter lainnya,” kata Bernardus. 

Kendati mencatatkan angka transaksi yang sangat besar, performa GoTo bukan tanpa cela. Hingga semester I 2021, GoTo masih merugi hingga Rp8,14 triliun. Adapun di 2020, kerugian komprehensif tahun berjalan perusahaan mencapai Rp 16,6 triliun. 

CEO GoTo Andre Soelistyo tidak memberikan jawaban pasti kapan perusahaan bisa meraup laba saat paparan publik. Bahkan jika mengacu pada prospektus, kerugian diperkirakan masih akan berlangsung hingga 2024 dengan nominal mencapai Rp 24 triliun. 

Kendati demikian, Andre menegaskan manajemen susah memetakan strategi perusahaan untuk meraih laba. GoTo akan fokus pada sinergi di ekosistem terutama setelah konsolidasi merger berhasil dilakukan. Andre juga mengutip pencapaian GTV perusahaan yang naik dengan rata-rata 46% pada periode 2018-2020.

“Keinginan untuk bisa profitable bukan sekadar angan-angan,” katanya. 

Lantas, bagaimana dampak performa keuangan GoTo terhadap prospek sahamnya? Analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai kerugian ini sebenarnya bukan indikasi yang bagus. Namun, ia menyebut IPO GoTo sudah lama ditunggu oleh pelaku pasar. Menurutnya, dalam waktu dekat pergerakan harga saham akan ditentukan oleh sentimen dan euforia. 

“Selebihnya baru kembali ke fundamental,” kata William. 

Sementara itu, Bernadus Wijaya melihat kerugian GoTo dengan sudut pandang yang lebih optimistis. Ia menilai kerugian memang lazim terjadi di perusahaan startup teknologi. Angka negatif ini dipicu oleh investasi infrastruktur, insentif untuk mendorong permintaan, dan perluasan skala bisnis untuk mengakuisisi konsumen baru. 

“Yang perlu diperhatikan investor ialah jangka panjang dan prospek pasar dari perusahaan tersebut,” kata Bernardus. 

Bernadus menilai GoTo saat ini menjadi pemimpin pasar di setiap lini bisnisnya. Investasi di Bank Jago yang baru-baru ini dilakukan perusahaan juga memberikan nilai tambah. Menurutnya, potensi kolaborasi di antara platform GoTo bisa mendorong pertumbuhan perusahaan. 

Bernadus mengutip riset Redseer yang menyebut pasar on-demand services diperkirakan akan tumbuh dari Rp77,8 triliun di 2020 menjadi sekitar Rp259,2 triliun pada 2025. Adapun e-commerce diprediksi mencapai Rp1.980 triliun di 2025, sedangkan nilai bisnis financial technology diperkirakan mencapai Rp1.009,0 triliun pada tahun tersebut.

Jangan Terbawa Euforia

Mengoleksi saham GoTo memang masih menarik jika menilik sentimen dan prospek perusahaan. Apalagi GoTo juga mengalokasikan penawaran khusus bagi pendukung ekosistem perusahaan seperti mitra driver, konsumen hingga merchant untuk ikut membeli saham ini. 

Namun, calon investor disarankan agar tetap berhati-hati dan tidak terlalu terbawa euforia. Dua analis berbeda pendapat soal jangka waktu yang tepat untuk mengoleksi saham GoTo. William melihat saham GoTo lebih cocok dibeli untuk jangka pendek. Ia beralasan, pergerakan harga saham GoTo akan ditopang oleh sentimen dan euforia di masa awal. 

“GoTo sudah menjadi market leader. Tinggal bagaimana emiten mampu mengubah keuangan menjadi positif,” katanya.

Ekosistem Gojek dan Tokopedia (Gojek, Tokopedia, Katadata/Desy Setyowati)
 

Sementara itu, Bernadus melihatnya dari perspektif investor. Pemodal institusi, fund manager, dana pensiun, atau asuransi misalnya akan melihat saham GoTo sebagai investasi jangka panjang. Meskipun ia tidak menampik ada juga investor ritel yang tertarik membeli saham GoTo untuk jangka pendek. 

Sebelum membeli saham GoTo, Bernadus menyarankan calon investor untuk melihat prospek bisnisnya terlebih dahulu. Selanjutnya, investor harus memperhatikan harga saham yang ditawarkan. 

Opsi greenshoe untuk stabilisasi harga bisa menjadi game changer agar saham GoTo tidak bernasib seperti Bukalapak.  Bernadus menyebut greenshoe bukan sekadar pemanis. Opsi ini menunjukkan komitmen dan tanggung jawab emiten dalam menjaga pergerakan harga sahamnya. 

“Ini cukup menenangkan kegalauan investor,” katanya.

Bernadus tidak menampik setiap investor punya metode sendiri dalam melakukan valuasi. Namun menurutnya, metode valuasi saham teknologi akan berbeda dengan saham lainnya. Jika pun menggunakan rasio konvensional PBV,  rentang harga saham yang ditawarkan GoTo tetap menarik.

"Ada banyak investor yang bisa menerima dan memahami bisnis model perusahaan startup, atau tech company, dan potensi bisnis mereka di masa depan,” kata Bernardus. 

Reporter: Rezza Aji Pratama