- PP 23/2022 mengatur ketentuan direksi dan komisaris BUMN harus bertanggung jawab saat perusahaan merugi. Aturan yang sejatinya sudah dirinci dalam Undang-Undang No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
- Kasus yang menjerat mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan dalam kasus investasi blok migas bisa menjadi contoh menarik soal tindak korupsi dan risiko bisnis.
- Aturan ini seharusnya tidak membuat pimpinan BUMN takut untuk berinovasi karena masih memberikan ruang untuk eksperimentasi dan eksplorasi.
Pemerintah baru saja merilis aturan menarik soal kewenangan direksi dan komisaris di Badan Usaha MIlik Negara (BUMN) melalui PP No.23 Tahun 2022 tentang Perubahan atas PPP No.45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN. Beleid ini menyebut direksi dan komisaris bisa diminta pertanggungjawaban jika BUMN mengalami kerugian.
Aturan ini tertuang di Ayat (1) Pasal 27, yang menyebutkan "Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha BUMN." Selanjutnya pada Ayat (2), "Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian BUMN apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
Seorang menteri bahkan menteri bisa menggugat anggota direksi ke pengadilan, jika dinilai telah melakukan kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian.
Kendati demikian, tidak semua direksi dan komisaris BUMN yang merugi bisa diminta pertanggungjawaban. Beleid ini juga mengatur direksi dan komisaris bisa lepas tanggung jawab jika; kerugian tersebut bukan karena kesalahan dan kelalaian; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian; tidak mempunyai benturan kepentingan; dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Ini sebetulnya bukan barang baru dalam konsepsi hukum bisnis di Indonesia. Undang-Undang No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) juga telah mengatur skema tanggung jawab tersebut.
Pasal 97 ayat (2) misalnya menyebut, direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan, jika terbukti bersalah atau lalai. Ganti kerugian bisa dilakukan secara tanggung renteng jika melibatkan dua direksi atau lebih. Bahkan jika perseroan sampai pailit, maka direksi harus mengganti kerugian kepailitan tersebut.
“[UU PT] sudah mengatur. Tapi di UU masih bersifat umum, jadi kalau ada penegasan di PP harapannya bisa lebih diimplementasikan,” kata Febri Diansyah, Advokat sekaligus Managing Partner Visi Law Office, kepada Katadata.
Menurut Febri, implementasi PP baru ini semestinya bisa mendorong direksi & komisaris BUMN menjalankan tugasnya secara sungguh-sungguh dan berhati-hati. Sebab jika tidak, maka mereka bisa dikenakan tanggung jawab sampai ke personal.
Cenderung Main Aman?
Tuntutan tanggung jawab direksi BUMN hingga ke ranah pribadi memang bisa memaksa pengurus perusahaan pelat merah agar lebih berhati-hati. Namun, menurut Ekonom Indef Tauhid Ahmad, ketentuan ini juga berpotensi membuat para direksi BUMN lebih memilih main aman sehingga kurang inovatif.
Tauhid mencontohkan dalam kasus investasi BUMN misalnya, skema investasi terbaik adalah masuk ke pasar saham terutama untuk jangka panjang. Namun, ini tentu berisiko tinggi. Dengan prinsip ‘main aman’ Direksi BUMN bisa saja akhirnya memilih investasi di reksa dana yang lebih minim risiko.
“Akibatnya bisa jadi untung, tetapi tidak sebesar kalau masuk ke saham misalnya,” kata Tauhid.
Guna mengantisipasi agar direksi BUMN takut mengambil keputusan, Febri Diansyah menyebut pemerintah perlu merinci indikator tentang kesalahan dan kelalaian seperti yang diatur dalam PP tersebut.
“Penyusunan indikator mestinya dihubungkan dengan upaya membangun good corporate governance (GCG) dan pencegahan korupsi,” ujar Febri kepada Katadata.
Febri merinci, dalam UU PT sebetulnya sudah mengatur soal prinsip-prinsip GCG yang harus diterapkan jajaran direksi dan komisaris. Pasal 92 ayat 1 misalnya mengatur bahwa direksi harus menjalankan pengurusan sesuai dengan kepentingan perseroan. Sementara di ayat 2, direksi diharuskan menjalankan pengurusan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
UU PT juga mengatur prinsip kehati-hatian dan memastikan tidak memiliki benturan kepentingan, yang diatur di pasal 97. Selain itu, ketika persoran dalam posisi merugi, direksi dan komisaris juga wajib melakukan tindakan untuk mencegah berlanjutnya kerugian perusahaan.
“PP ini mestinya juga dipahami oleh direksi dan komisaris BUMN agar lebih menyadari pentingnya pengendalian konflik kepentingan,” kata Febri.
Deddi Tedjakumara, CEO Prasetiya Mulya Executive Learning Institute, mengatakan tanggung jawab profesional dalam bentuk pemberhentian jabatan ketika BUMN menderita kerugian menjadi salah satu hal yang ditekankan dalam PP ini. Menurutnya, laba merupakan salah satu pilar usaha yang harus diperhatikan serius untuk menjamin pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan.
Deddi tidak menampik aturan ini akan menimbulkan kekhawatiran akan ciutnya keberanian inovasi pimpinan BUMN. Namun menurutnya, tuntutan beleid ini bukan pencapaian laba maksimum tetapi mencegah kerugian.
“Artinya ruang inovasi bahkan ruang kegagalan inovasi masih ada, selama hal itu tidak menimbulkan kerugian pada bottom line perusahaan. Mencegah kerugian bukan selalu berarti mencegah inovasi,” kata Deddi saat dihubungi Katadata.
Deddi menyebut eksplorasi hal-hal baru dan eksploitasi hal-hal yang sudah dimiliki perlu dijalankan secara seimbang. Eksplorasi hal-hal baru mungkin dapat menghasilkan kerugian, namun upaya eksploitasi dapat menutupinya sehingga secara keseluruhan perusahaan masih memiliki laba.
Korupsi atau Risiko Bisnis?
Kasus yang menjerat mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan menjadi salah satu contoh menarik dalam perkara kerugian BUMN. Pada 2009, Pertamina melakukan investasi di Blok Baster Manta Gummy (BMG) di Australia. Belakangan, investasi itu tidak berjalan sesuai rencana.
Karen lantas diseret ke meja hijau atas dakwaan tindak pidana korupsi. Jaksa menyebut Karen diduga telah mengabaikan prosedur investasi sehingga menyebabkan kerugian negara hingga Rp 568 miliar. Pasalnya, Karen diduga melakukan investasi tanpa melakukan kajian terlebih dahulu terhadap blok migas tersebut.
Pengadilan Tipikor Jakarta lantas memvonis Karen dengan hukuman 8 tahun penjara. Mantan Dirut Pertamina ini sempat mengajukan banding, tetapi ditolak. Ia pun lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas kasusnya tersebut.
Menariknya, MA justru memberikan vonis lepas terhadap Karen. "Yang bersangkutan memang betul melakukan perbuatan, tapi bukan perbuatan pidana,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah, Maret 2020 silam.
Mahkamah Agung lantas mencabut hukuman 8 tahun penjara terhadap Karen. Ia dibebaskan dari segala tuntutan pidana karena keputusannya dianggap sebagai risiko bisnis semata.
Kasus ini, menurut Febri Diansyah, memberikan gambaran soal kepastian hukum di Indonesia.
“Bagaimana memilah antara tindak pidana korupsi dengan risiko bisnis? Itu yang selalu bikin mumet penegak hukum,” katanya, kepada Katadata.
Di sisi lain, kasus korupsi BUMN memang masih menjadi salah satu persoalan besar di Indonesia. Febri merinci hingga Januari 2022 setidaknya ada 93 kasus korupsi di BUMN yang ditangani KPK. Ini belum menghitung kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung,
Febri menegaskan kepastian hukum mana yang benar-benar melanggar dan mana yang tidak juga sangat penting untuk diterapkan. Menurutnya, para pihak perlu melakukan kajian lebih dalam untuk mengulas PP baru ini, terutama dalam batas apa pimpinan BUMN harus bertanggung jawab secara pribadi ketika perusahaan merugi.
“[Harus ditentukan] Mekanisme perlindungan hukum apa untuk yang beritikad baik,” kata Febri.
Kepastian hukum juga menjadi sorotan CEO Prasmul Eli Deddi Tedjakumara. Ia menyebut ada dua kata yang menonjol dalam PP ini terkait dengan kerugian BUMN yakni ‘kelalaian’ dan ‘kesalahan’.
“Kelalaian adalah sesuatu yang lebih mudah dievaluasi. Namun bagaimana kita mendefinisikan kesalahan?,” katanya.
Menurut Deddi, ketika membicarakan soal ‘kesalahan’ maka pertanyaan akan berkutat soal keputusannya atau eksekusi dari keputusan tersebut. Selain itu, kesalahan juga bisa terjadi dalam hal prosedur atau isi keputusannya tersebut.
Ia berpendapat kesalahan karena prosedur pengambilan keputusan atau eksekusi dari keputusan akan lebih objektif ketika dievaluasi sebagai kesalahan yang memiliki konsekuensi profesional maupun hukum.
Persoalan ini penting mendapat perhatian sebab menurut Deddi, BUMN akan memasuki arena persaingan bisnis dengan beragam dinamika. Dalam situasi ini, pemimpin usaha dituntut untuk dapat bergeser dari strategic planning menjadi strategic learning. Eksperimentasi pun akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Dalam learning dan eksperimentasi, kesalahan pengambilan keputusan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan.
“Bagaimana definisi dan cakupan kesalahan dapat mengakomodasi situasi ini? Tanpa penjelasan yang memadai dan bijak tentang apa yang dimaksud dengan kesalahan, maka hal ini berpotensi menjadi penghambat bagi pemimpin BUMN,” pungkas Deddi.