Menjaga Kepercayaan Tradisional Marapu Lewat Pendidikan Agama

123rf.com/Tinnakorn Jorruang
Ilustrasi orang berdoa, agama kepercayaan.
Penulis: Reza Pahlevi
Editor: Sorta Tobing
26/5/2023, 13.01 WIB
Pelatihan untuk penyuluh kepercayaan Marapu di Sumba Timur, NTT. (Katadata/Reza Pahlevi)

Manajer Proyek Lii Marapu, Anton Jawamara mengatakan selama ini proyeknya tidak hanya membantu tersedianya pendidikan Marapu di sekolah. Proyek Lii Marapu juga membantu mencari dan mendidik penyuluh Marapu yang nantinya disebarkan di sekolah-sekolah.

Saat ini, sudah ada total 18 pengajar Marapu yang tersebar di 6 sekolah formal. Ini terdiri dari 4 SMA yaitu SMAN 1 Rindi Umalulu, SMAN 1 Haharu, SMAN 1 Kahaungu Eti, dan SMAN 1 Rindi. Sementara, ada dua SD yaitu SDN Wainggai dan SDN Nari.

Lii Marapu juga berencana membangun lima sekolah adat untuk pengajaran Marapu di Sumba Timur. 5 sekolah ini akan ditempatkan di 5 desa di 5 kecamatan berbeda. Sekolah adat ini akan menyasar anak-anak yang tidak terjangkau dengan sekolah-sekolah formal.

 

Masih Ada Masalah

Namun, masih ada masalah dalam pelaksanaan pendidikan Marapu. Yang utama adalah tidak adanya kepastian hukum soal status pengajar di tengah aturan setiap guru harus memiliki ijazah S1.

Benyamin mengatakan SMAN 1 Rindi Umalulu menyiasati ini dengan mendorong pengajar di sekolahnya untuk mendapat sertifikat. Sertifikasi ini biasanya dilakukan lewat bimbingan teknis (bimtek) yang diadakan Kemendikbudristek bersama mitra-mitra. “Sertifikat ini melegalkan sebagai penyuluh di sekolah,” katanya.

Sertifikat juga membuat penyuluh setidaknya berhak mendapat uang transportasi untuk mengajar. Masalahnya, uang transportasi ini kecil nominalnya. Penyuluh Marapu hanya mendapat uang transportasi sebesar Rp 300 ribu tiap bulannya.

Benyamin pun mendapat keluhan dari penyuluh soal kecilnya nominal ini. Di sekolahnya, dia pun membuat kebijakan adanya sumbangan komite khusus untuk menganggarkan upah tambahan bagi penyuluh Marapu.

Masalah lainnya, tidak semua sekolah dapat mengandalkan sumbangan komite seperti SMAN 1 Rindi Umalulu. Kepala Sekolah SDN Wainggai, Ngabi Kahewamarak mengatakan penyuluh Marapu di sekolahnya hanya bertahan dua bulan karena upah yang minim.

“Pada November 2022, tiga kali pertemuan dalam seminggu, Januari tidak masuk lagi. Sampai sekarang masih tidak masuk,” kata Ngabi.

Rumah adat Sumba (Katadata/Reza Pahlevi)

Hal yang sama dialami Kepala Sekolah SMAN 1 Haharu, Julita Ina Lende. Di sekolahnya, pengajaran Marapu sempat berjalan lancar selama satu semester tetapi berhenti di semester selanjutnya. Alasannya sama, penyuluh yang berhenti di tengah jalan.

Kedua kepala sekolah ini meminta Kemendikbudristek untuk setidaknya menaikkan nilai uang transportasi yang diberikan ke penyuluh. Selain itu, legalitas untuk penyuluh ini juga diperlukan agar tidak ada lagi yang berhenti di tengah jalan.

Ada dua hal yang dilakukan Kemendikbudristek untuk masalah ini. Pertama, mereka mencoba mendorong anak-anak Marapu untuk mengambil S1 Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Surabaya.

Sjamsul mengatakan sudah ada lima anak Marapu yang melanjutkan sarjana strata stau di Untag. Dia mengatakan kelimanya disekolahkan dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Selanjutnya, soal upah, Kemendikbudristek sedang menjajaki kemungkinan mengupah penyuluh kepercayaan dari sumber-sumber lain. Sumber ini termasuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau juga Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan.

Arman Ranja Muda, seorang penyuluh di SDN Nari, tidak menampik kecilnya upah yang diterima penyuluh Marapu. Namun, hal ini tidak memberatkan dia sebagai penyuluh.

Upah yang dia dapat selama mengajari Marapu pun masih mengendap di rekeningnya, tidak pernah dia ambil. “Saya murni mengajar untuk menjaga Marapu,” katanya.

Pelaksaan pendidikan Marapu memang belum sempurna. Namun, Arman mengatakan pendidikan ini harus terus berjalan demi menjaga eksistensi agama tersebut. Dia berkata seharusnya tidak ada lagi anak Marapu yang diberikan pelajaran agama lain.

Dia mengingat saat pertama kali mengajar, sekitar setengah dari muridnya tidak mengetahui marga khas Marapu yang mereka miliki. Dengan pendidikan Marapu, dia ingin anak-anak ini bangga dan tidak takut mengaku sebagai anak Marapu.

“Kalau bukan generasi saya yang menjaga Marapu, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” kata Arman.

Halaman:
Reporter: Reza Pahlevi