- Rupiah terperosok ke level 15.700 pada 9 Oktober kemarin, level terendah sepanjang tahun ini..
- Investor menarik dana dari pasar keuangan Indonesia karena suku bunga The Fed, fluktuasi harga minyak, dan faktor geopolitik.
- Risiko yang paling terasa dengan pelemahan rupiah ialah biaya impor yang semakin mahal.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus tersungkur nyaris menembus level psikologis 16.000. Pada Senin (9/10) sore, rupiah berada di level 15.706 atau melemah hingga 96,1 poin atau 0,62% dari level sebelumnya, 15.610.
Berdasarkan data investing.com, rupiah hari ini sempat menyentuh 15.740, level terlemah sepanjang tahun ini. Angka ini juga nyaris melewati level terlemah dalam perhitungan tahunan, yakni 15.765 pada 29 Desember 2022 lalu.
Secara historis, rupiah ambruk hingga 2,7% dalam perhitungan tahunan atau year on year (YoY). Namun, dalam perhitungan tahun berjalan atau year to date (YtD), rupiah tercatat hanya melemah 0,8% sepanjang tahun ini.
Perjalanan Fluktuasi Rupiah Sepanjang 2023
Membuka awal tahun, tepatnya 2 Januari 2023, rupiah berada di level 15.570 atau menguat tipis dari level akhir tahun 2022.
Mengawali tahun Kelinci Air pada 2 Februari, Mata Uang Garuda kembali perkasa ke 14.875. Penguatan nilai rupiah kala itu sejalan dengan dirilisnya kabar tentang kenaikan suku bunga The Fed. Bank Sentral AS itu mengumumkan ada kenaikan suku bunga 25 basispoin (bps) menjadi 4,5%-4,75%.
Investor dan pelaku pasar modal sudah terlebih dahulu memprediksi kenaikan suku bunga tersebut. Saat itu, pelaku pasar juga berekspektasi The Fed akan menerapkan kebijakan pengetatan moneter yang lebih longgar.
Namun, kondisi tersebut hanya bertahan dua hari, sebelum akhirnya kembali ke level psikologis 15.000 pada awal pekan, 6 Februari.
Kemudian, kinerja rupiah terus lesu dalam kurun satu bulan. Puncaknya, pada 10 Maret 2023 rupiah melemah ke level 15.445, bahkan sempat menyentuh 15.480 pada pertengahan hari itu.
Fluktuasi rupiah kembali dihujani sentimen ekonomi global. Saat itu, rupiah melemah tepat setelah Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengeluarkan pernyataan terbaru soal nasib ekonomi Negeri Uncle Sam.
Powell menegaskan kenaikan suku bunga The Fed berpotensi lebih tinggi dan lebih cepat dari yang diharapkan pelaku pasar. Menurut dia, keputusan bergantung pada data yang akan diterbitkan sebelum pertemuan kebijakan The Fed dalam dua pekan berikutnya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, pelaku pasar mengubah proyeksi kenaikan suku bunga The Fed, dari 50 bps menjadi 70 bps. Dolar AS pun semakin kokoh terhadap mata uang lain, termasuk rupiah.
Mata uang lokal ini pun terombang-ambing dengan fluktuasi yang semakin kencang. Terbukti dari pengujung April dan hingga awal Mei, posisi rupiah kembali menguat masing-masing ke level 14.665 dan 14.663.
Kondisi ini lagi-lagi dipicu faktor eksternal. Indeks dolar AS mengalami pelemahan akibat rilis data ekonomi AS yang lesu. Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada kuartal I 2023 hanya tumbuh 1,1%, lebih rendah dari perkiraan ekonom sebesar 2%.
Kondisi ini membuat pelaku pasar khawatir terhadap kesehatan sistem perbankan AS, dan munculnya kemungkinan The Fed mengakhiri pengetatan moneter yang agresif.
Namun demikian, rupiah perlahan melemah dalam beberapa bulan setelahnya, hingga kembali ke level 15.000 secara konsisten pada awal Agustus, dan tak pernah kembali menguat ke level 14.000 hingga saat ini.
Terakhir, rupiah terperosok ke level 15.700 pada 9 Oktober kemarin, level terendah sepanjang tahun ini. Hal ini terjadi bersamaan dengan kondisi geopolitik yang menegang antara Israel dan Palestina di Jalur Gaza.
Dalam pemberitaan disebutkan, Israel menggempur daerah kantong Palestina di Gaza dan menewaskan sekitar 400 orang pada Minggu (8/10). Sebelumnya, kelompok Hamas dilaporkan menewaskan 700 warga Israel dan menculik puluhan lainnya.
Tak hanya itu, pelemahan rupiah juga dipicu data tenaga kerja AS yang menunjukkan angka lebih tinggi dari perkiraan ekonom. Data tersebut mengindikasikan kondisi ketenagakerjaan AS masih solid. Kondisi ini juga mendukung kebijakan suku bunga tinggi AS demi mengendalikan inflasi AS.
Sebab Akibat Rupiah Tersungkur
Chief Economist PT Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai kondisi nilai tukar rupiah sebenarnya sudah cukup terkendali sejak awal tahun hingga pertengahan tahun ini. Namun, kondisinya berubah dengan tren melemah ke level lebih dari 15.000 pada akhir Juli atau awal Agustus hingga saat ini.
"Pelemahan baru terjadi secara konsisten dari akhir Juli atau awal Agustus sampai sekarang, terutama karena aliran dana asing di pasar obligasi dan pasar saham mulai keluar," ujar David saat dihubungi Katadata.co.id, Senin (9/10).
Aksi ini biasa dikenal dengan istilah risk off, yakni menunjukkan situasi ketika investor menarik modal dari aset berisiko tinggi untuk menghindari kemungkinan rugi.
"Aliran modal asing keluar dari pasar obligasi hingga Rp 7,2 triliun awal Agustus. Dari pasar saham Rp 1,6 triliun sampai awal Agustus, turun Rp 500 miliar pada September, lalu sekarang minus," sebut David.
Berdasarkan catatan, sepanjang tahun berjalan sampai 5 Oktober, dana asing masuk ke pasar obligasi tercatat Rp 55 triliun. Angkanya masih positif meski menurun dari level sebelumnya Rp 70 triliun lebih.
Hal ini berbeda dengan pasar saham yang mencatatkan kinerja negatif. per 5 Oktober, aliran dana asing yang keluar dari pasar saham mencapai Rp 5,2 triliun.
Menurut David, investor asing menarik dana dari pasar keuangan Indonesia karena faktor global, seperti suku bunga The Fed, fluktuasi harga minyak, dan faktor geopolitik dalam beberapa waktu terakhir.
"Kelihatannya ada perubahan ekspektasi terhadap arah suku bunga The Fed. Tadinya investor mengira selesai September, tapi kelihatannya November suku bunga akan naik lagi dan akan berlangsung lebih lama, jadi dolar menguat ke hampir semua mata uang, termasuk rupiah," papar David.
Handy Yunianto, Kepala Divisi Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, menjelaskan aliran dana asing ke luar dari pasar obligasi dalam dua bulan terakhir. Salah satu pemicunya ialah ada kenaikan yield US Treasury yang membuat rentang yield antara Indonesia dan AS lebih rendah.
Faktor lain, menurut dia, adalah menguatnya indeks dolar AS atau DXY index, sehingga ini juga berdampak pada pelemahan rupiah. Investor asing yang memegang surat berharga negara (SBN) terkena kerugian nilai tukar mata uang atau forex loss.
"Meskipun demikian, secara year to date, investor asing masih mencatatkan net inflows (aliran masuk) di pasar obligasi pemerintah sekitar Rp 60 triliun," ujar Handy kepada Katadata.co.id, Senin (9/10).
Aldian Taloputra, Ekonom Standard Chartered Bank, mengatakan tekanan rupiah saat ini disebabkan oleh faktor eksternal, yakni dari kenaikan suku bunga di negara maju, terutama Amerika Serikat, pelemahan ekonomi global, dan kondisi geopolitik dunia.
Menurut dia, kenaikan suku bunga AS mempengaruhi kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS atau yield US Treasury, dan berimbas pada berkurangnya arus modal masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Meskipun saat ini rupiah melemah terhadap dolar AS, pelemahannya sejak awal tahun masih yang paling kecil sebesar 0.8% dibanding pelemahan mata uang regional yang sekitar 5%-6%," ujar Aldian kepada Katadata.co.id, Senin (9/10).
Laporan riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia menyebutkan, sentimen pasar global telah mengalami perubahan pesat dalam beberapa bulan terakhir. Pada Maret 2023, Rupiah mencapai titik tertingginya di level 14.670. Namun, sejak itu, nilainya telah terdepresiasi sebesar 6,6%.
Untungnya, kinerja rupiah terlihat relatif lebih baik jika dibandingkan sejumlah mata uang global lainnya.
Tren apresiasi dolar AS ini dapat dikaitkan dengan kuatnya kinerja perekonomian AS yang tidak terduga. Akibatnya, FOMC memberikan sinyal penurunan suku bunga yang lebih sedikit, sehingga mengurangi perkiraan mereka sebelumnya yang hanya akan melakukan empat kali pemotongan menjadi hanya dua kali.
Risiko Pelemahan Rupiah
David Sumual menjelaskan pelemahan rupiah berisiko membuat aliran dana asing keluar semakin banyak dari pasar obligasi. Selain itu, harga minyak berpotensi cenderung meningkat, karena biasanya perusahaan atau pemerintah meningkatkan permintaan barang impor karena khawatir harga barang impor meningkat.
"Selain itu, pemerintah masih banyak menyimpan dana. Jadi kalau dikeluarkan akan dorong impor juga sampai akhir tahun, dan menimbulkan risiko," ujar David.
Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan, sebenarnya tren rupiah memang hampir selalu melemah terhadap dolar AS. Risiko yang paling terasa dengan pelemahan rupiah ialah biaya impor yang semakin mahal.
"Dampaknya ada kemungkinan harga barang-barang dalam negeri jadi ikut naik menyesuaikan nilai tukar," kata William.
Berbeda dengan dua perspektif sebelumnya, Aldian menilai dampak pelemahan rupiah terhadap postur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan inflasi masih cukup terkendali. Hal ini terutama melihat stabilisasi nilai tukar yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).
BI memang sudah melakukan upaya intervensi dengan menyediakan valas di pasar demi menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah gejolak pasar global.
Terbukti, cadangan devisa Indonesia pada akhir September tercatat hanya US$ 134,9 miliar, menurun drastis sebesar US$ 2,2 miliar dibanding angka pada Agustus sebesar US$ 137,1 miliar.
Masa Depan Nilai Tukar Rupiah
Rully Arya Wisnubroto, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia menyebutkan, hal terpenting ialah pelemahan rupiah tidak boleh ditafsirkan sebagai cerminan memburuknya kondisi perekonomian Indonesia, melainkan sebagai konsekuensi dari sentimen global yang ada.
"Kami mengantisipasi potensi penyesuaian kebijakan suku bunga antara AS dan Indonesia pada bulan depan," ujar Rully dalam hasil risetnya, Senin (9/10).
Dia memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga kebijakannya menjadi 5,75% pada November, sehingga menyisakan sedikit ruang bagi penurunan suku bunga kebijakan di Indonesia karena potensi tekanan terhadap rupiah.
Di sisi lain, dia yakin BI akan menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga kebijakannya demi mempertahankan kesenjangan yang menguntungkan dengan FFR.
"Melakukan hal ini akan menjadi kontraproduktif dan dapat berdampak negatif terhadap perekonomian dalam negeri. Kami mengantisipasi bahwa BI akan terus menerapkan kebijakan stabilisasi," ujar Rully.
Dalam kesempatan berbeda William Hartanto memproyeksi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini masih bisa berlanjut dengan target terdekat pada level 16.000 hingga akhir tahun ini.
Senada, Aldian menjelaskan data-data tenaga kerja yang kuat memberikan alasan The Fed untuk mungkin kembali menaikan suku bunga di akhir tahun ini.
Dengan demikian, menurut dia, hal ini membuat suku bunga obligasi pemerintah AS naik, dan berimbas pada berkurangnya arus modal masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika hal itu benar-benar terjadi, kondisi nilai tukar rupiah berpotensi terus melemah sampai akhir tahun.
Sementara itu, David Sumual memperkirakan rupiah bisa saja semakin melemah hingga akhir tahun jika kondisi geopolitik antara Israel dan Palestina terus meluas dan berkepanjangan. Sebaliknya, rupiah berpotensi menguat kokoh jika kondisi geopolitik dunia tak berlangsung dalam waktu lama.