Menakar Dampak Putusan MKMK atas Pencalonan Gibran di Pilpres

123.rf/loft39studio
Ilustrasi: Kandidat capres dan cawapres pemilu 2024
Penulis: Ira Guslina Sufa
3/11/2023, 08.04 WIB
  • Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mengendus dugaan pelanggaran etik 9 hakim MK di putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023
  • Putusan MKMK tidak berpengaruh terhadap putusan yang telah dibuat MK karena bersifat final dan mengikat
  • Prabowo disarankan mencari pengganti Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres yang akan diusung di pilpres. 

Sidang dugaan pelanggaran kode etik hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden terus bergulir. Pada Jumat (3/11) Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK menjadwalkan panggilan kedua untuk Ketua MK Anwar Usman. 

Ketua MKMK Jimly Asshidique mengatakan pemeriksaan terhadap Ketua MK harus dilakukan lebih dari satu kali. Alasannya,  Anwar menjadi hakim MK yang paling banyak dilaporkan terkait kasus dugaan pelanggaran kode etik. Selain memanggil Anwar, majelis juga akan memeriksa panitera.

"Kalau tidak salah sembilan atau 10 laporan dari 21 laporan atas nama Anwar Usman,” ujar Jimly 

Jimly mengatakan saat ini majelis telah menyelesaikan sidang untuk 19 laporan dan menyisakan dua laporan lagi. MKMK berencana bisa membacakan hasil putusan pada Selasa (7/11) agar bisa berbarengan dengan proses pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang tengah berjalan di Komisi Pemilihan Umum. 

KPU menjadwalkan penetapan capres dan cawapres berlangsung pada 13 November 2023. Sebelumnya KPU menerima perbaikan berkas dan pergantian nama pasangan capres dan cawapres maksimal hingga 8 November 2023. 

Menurut Jimly terdapat dua alasan yang membuat MKMK bersepakat untuk memajukan jadwal putusan. Alasan pertama kata Jimly adalah untuk memastikan tidak ada unsur sengaja memperlambat putusan. Alasan kedua karena MKMK menyadari dugaan pelanggaran etik hakim ini tengah menjadi sorotan publik. 

“Kami sedang menghadapi emosi publik luas sekali ini harus segera butuh kepastian menuju pemilu 2024,” ujar Jimly.

Sebelumnya Jimly mengatakan terdapat sebelas poin persoalan yang ditemukan terkait MK, berdasarkan laporan dari masyarakat terhadap putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah. Laporan itu antara lain soal dugaan konflik kepentingan, perilaku hakim yang berbicara di luar sidang terkait perkara yang ditangani, bocornya data internal, pembiaran dari hakim atas kesalahan prosedur pelaporan dan soal materi dissenting opinion yang muatannya melebihi yang seharusnya.  

Dampak Putusan MKMK pada Pencalonan Gibran

Persoalan etik hakim MK ini mencuat setelah pada Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Almas. Ia mengajukan gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). 

Atas putusan tersebut, Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan itu menjadi kontroversi karena memuluskan langkah Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Bersatu mendampingi Prabowo Subianto.  

Lalu bagaimana dampak putusan MKMK nantinya terhadap pencalonan Gibran Rakabuming Raka di pemilihan presiden? Apakah putra Presiden Joko Widodo yang kini berusia 36 tahun tetap bisa bertarung di pilpres? 

Prabowo-Gibran usai daftar Pilpres di KPU (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.)

Sejumlah pakar hukum tata negara mengatakan bahwa putusan MKMK dapat menjadi penentu keberlanjutan pencalonan Gibran Menjadi calon wakil presiden alias cawapres Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. MKMK sebelumnya menyebut sembilan hakim MK berpotensi melanggar kode etik atas putusan untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan bahwa hasil putusan MKMK terkait pelanggaran kode etik yang akan dirilis pada Selasa (7/11) mendatang bisa menjadi landasan etik untuk memperbaiki putusan MK nomor 90 melalui pengajuan perkara baru. Meski begitu ia menyebut putusan majelis kehormatan tidak akan berpengaruh pada putusan yang telah dibuat MK. 

Lebih jauh ia mengatakan meski kemudian MKMK mengakui adanya dugaan cacat administrasi putusan MK tetap berlaku karena bersifat final dan mengikat. Hal itu sudah diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 10 Undang-Undang MK. Putusan MKMK menurut Feri tidak akan berpengaruh dan terhadap putusan yang telah dibuat Mahkamah Konstitusi.  

Ia menyebut putusan yang dikeluarkan Majelis Kehormatan berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik hakim hanya bisa digunakan sebagai alat bukti baru untuk alasan baru pengajuan perkara yang sama terkait dengan pasal 169 huruf q. Hal itu menurut dia sangat dimungkinkan karena selama ini sudah ada beberapa putusan MK yang diperbaiki lewat putusan setelahnya. 

"Kalau terbukti melanggar etik mestinya putusan MKMK jadi landasan untuk MK memperbaiki putusan yang lama. Sebagaimana tradisi MK sebelumnya, MK sudah berkali-kali memperbaiki putusannya sendiri," kata Feri kepada Katadata.co.id.

Feri mengatakan MKMK tidak memiliki wewenang untuk mencabut putusan MK sekalipun para hakim terbukti melanggar kode etik. Putusan majelis hanya berkaitan dengan etika moral para hakim sehingga sanksi yang diberikan hanya berdampak pada hakim yang dinyatakan melanggar seperti sanksi teguran hingga sanksi berat. 

"Yang dapat mengatakan putusan 90 tidak sah karena cacat presedur itu MK sendiri," ujar Feri.

MKMK jadwalkan periksa kembali Ketua MK (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.)

Potensi Pelanggaran Etik Hakim

Menurut Feri, unsur pelanggaran etik pada putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 terlihat jelas saat Ketua MK Anwar Usman menggolkan uji materi terkait batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai pejabat negara atau kepala daerah. Berdasarkan aturan menurut Feri Anwar seharusnya tidak turut bersidang dalam perkara itu lantaran berkaitan dengan Gibran yang merupakan keponakan langsung istrinya. Nama Gibran secara terang benderang masuk dalam materi permohonan Almas yang dikabulkan MK. 

"Pak Anwar itu pamannya Gibran. Dan yang dapat keuntungan dan satu-satunya pihak yang menggunakan keputusan itu hanyalah Gibran, ttu sudah selesai Ada konflik kepentingan di keputusannya, terang benderang," ujar Feri.

Dia berharap hasil putusan MKMK nantinya dapat memberi pencerahan dan rasa keadilan terhadap penegakan konstitusi. Putusan itu kata dia selanjutnya menjadi rekomendasi uji ulang Pasal 169 huruf Q UU Pemilu, dengan norma baru yang sudah diputus oleh MK dalam perkara nomor 90 yang akan berdampak pada pencalonan Gibran. 

"Jika kemudian putusan MK 90 dianggap tidak sah atau ada keputusan baru yang mengubah putusan MK itu, tentu saja Gibran tidak sah menjadi calon wakil presiden karena cacat prosedural," kata Feri.

Sementara itu, Jimly menjelaskan terdapat tiga opsi sanksi terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Menurut Jimly tiga opsi itu telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2023.

“Kalau di PMK itu kan jelas, sanksi itu tiga macam. teguran, peringatan, dan pemberhentian,” kata Jimly seperti dikutip Kamis (2/11). 

Jimly mengatakan opsi sanksi yang diberikan tergantung dengan pelanggaran yang dilakukan. Dia menjelaskan opsi pemberhentian  terdiri atas pemberhentian dengan tidak hormat, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian bukan sebagai anggota hakim konstitusi, tetapi sebagai ketua. Untuk sanksi peringatan menurut Jimly juga memiliki tingkatan yang berbeda. Ada yang masuk peringatan biasa, peringatan keras dan peringatan sangat keras.

“Itu tidak ditentukan di dalam PMK, tapi variasinya mungkin,” ujar Jimly lagi.

Opsi sanksi ketiga yang bisa diberikan kepada hakim MK menurut Jimly adalah teguran tertulis dan teguran lisan. Dia mencontohkan, teguran disampaikan secara lisan bersamaan dengan penyampaian putusan sehingga tidak lagi memerlukan surat khusus secara tertulis.

“Tapi bisa juga teguran dengan surat khusus. Surat khusus memberi teguran, tapi dilampirkan putusan,” ujar dia. 

Di sisi lain Jimly mengatakan apabila hakim konstitusi tidak terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana yang dilaporkan, maka akan direhabilitasi. Rehabilitasi akan diberikan kepada sembilan hakim yang saat ini mendapat laporan dari publik. 

Cawapres Baru Pengganti Gibran 

Pakar Hukum Tata Negara STIH Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan bahwa Prabowo harus mencari cawapres baru jika MK menggelar pengujian ulang dan mengubah bunyi Putusan MK Nomor 90. 

Jika skenario itu terjadi, ujar Bivitri, Prabowo hanya punya waktu hingga tanggal 8 November untuk menetapkan penggantian pasangan calon wakil presiden. Ketetapan tersebut merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

"Tapi kalau sudah lewat tanggal 8, berarti nanti pas penetapan tanggal 13 maka pasangan Prabowo-Gibran tidak bisa ditetapkan, karena Gibran tidak lagi memenuhi syarat dalam UU Pemilu," ujar Bivitri.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu