Makelar Izin Pencatatan Saham Perdana

Katadata/Bintan Insani
Cover Story Skandal Makelar IPO Mencoreng Kredibilitas BEI
26/9/2024, 10.56 WIB

Bursa Efek Indonesia (BEI) belum lama ini diguncang oleh skandal gratifikasi yang terkait dengan proses penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO). Lima orang oknum karyawan BEI akhirnya dipecat akibat pelanggaran ini.

Kabar mengenai kasus gratifikasi ini bermula dari surat kaleng yang ditujukan ke media center BEI, pada Senin, 26 Agustus 2024. Surat yang dibawa orang tak dikenal itu membawa informasi ihwal dugaan kasus gratifikasi proses IPO.

Sebelum kasus ini muncul, otoritas Bursa telah mengeluarkan imbauan tegas kepada seluruh insan Bursa untuk tidak menerima atau memberikan gratifikasi dalam bentuk apa pun. Namun, tidak lama kemudian ada surat kaleng baru yang berjudul “Terlibat Gratifikasi Proses Listing Emiten: BEI PHK Karyawan Divisi Penilaian Perusahaan”.

Surat kaleng tersebut memuat nilai gratifikasi yang ditaksir mencapai miliaran rupiah per emiten dan praktik tersebut sudah terjadi beberapa tahun terakhir. Kasus dugaan gratifikasi ini disinyalir melibatkan lebih dari satu emiten yang sahamnya tercatat di BEI saat ini.

Dalam proses pemeriksaan, Bursa telah menetapkan beberapa oknum karyawan yang diduga kuat membentuk perusahaan jasa penasihat secara terorganisir. Dari perusahaan ini, terakumulasi dana sekitar Rp 20 miliar.

Awalnya BEI Bungkam

Reporter Katadata.co.id telah meminta tanggapan lebih lanjut perihal gratifikasi ini kepada BEI. Namun, otoritas Bursa tidak merespons.

Setelah kasus ini ramai diberitakan media massa, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan secara substansi masalah internal ini bukan konsumsi untuk publik. Alih-alih menjawab pertanyaan reporter, BEI justru mengimbau kembali kepada masyarakat untuk tidak memberikan gratifikasi kepada insan BEI.

"Sebagai wujud komitmen dalam menjaga integritas, independensi, dan penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, BEI berkomitmen menerapkan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) ISO 37001:2016," ujar Nyoman, Senin (26/8).

BEI juga mengimbau seluruh pemangku kepentingan, rekanan, pelanggan, dan pihak lainnya untuk tidak memberikan gratifikasi dalam bentuk apa pun. Gratifikasi yang dimaksud termasuk uang, makanan, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, atau fasilitas penginapan.

Bursa melarang pemberian lainnya, seperti perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, atau fasilitas tidak wajar lainnya. Larangan ini berlaku secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar pelaksanaan tugas, bagi seluruh insan BEI maupun anggota keluarganya.

Beberapa hari kemudian, BEI buka suara terkait pemecatan lima karyawannya yang diduga meminta imbalan dan gratifikasi atas jasa penerimaan emiten agar sahamnya bisa tercatat di BEI. Sekretaris Perusahaan BEI, Kautsar Primadi Nurahmad, membenarkan telah terjadi pelanggaran etika yang melibatkan oknum karyawan bursa. Karena itu, BEI telah melakukan tindakan disiplin sesuai dengan prosedur serta kebijakan yang berlaku.

“BEI berkomitmen memenuhi prinsip good corporate governance,” tulis Kautsar dalam keterangan resminya, Senin (26/8) malam.

Bursa juga membantah bahwa pihaknya kecolongan dalam praktik gratifikasi tersebut. Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, mengaku bursa sudah melakukan tindakan tegas kepada karyawan yang menerima gratifikasi maupun pelanggaran lainnya. Menurutnya, pemecatan karyawan yang dilakukan Bursa merupakan salah satu upaya dalam memberantas aksi kecurangan.

"Yang menjadi kewenangan kami adalah memberikan sanksi kepada karyawan kami dan itu sudah kami lakukan, tidak ada kecolongan," kata Jeffrey kepada wartawan di Bursa Efek Indonesia, Senin (2/9).

Jeffrey juga memastikan IPO yang sudah berjalan sebelumnya tidak bermasalah. Sebab, sebuah proses IPO emiten dilakukan dengan pengawasan yang ketat. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turun tangan untuk melakukan penilaian kualitas calon emiten.

Tren IPO di Bursa Efek Indonesia 2020-2024 (Katadata/Zulfiq Ardi N)

OJK Membantah Keterlibatan Karyawannya

Surat kaleng yang diterima para wartawan juga menyebut para oknum BEI bekerja sama dengan oknum di OJK dalam menjalankan aksinya. Setiap perusahaan yang ingin mencatatkan sahamnya di Bursa memang harus melalui proses persetujuan dan pengawasan dari OJK.

Namun, OJK membantah keterlibatan institusinya pada kasus dugaan gratifikasi praktik IPO. “Sepengetahuan saya, tidak ada gratifikasi ke OJK,” ujar Inarno Djajadi, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, ketika dihubungi media pada Senin (26/8).

OJK juga melarang semua pegawainya terlibat dalam praktik penyuapan, termasuk menerima gratifikasi saat menjalankan tugas dan fungsinya. "BEI telah berkoordinasi dengan OJK. OJK mendukung langkah tegas BEI menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar untuk menjaga integritas serta kepercayaan kepada institusi," ujar Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa, dalam keterangan resmi, Rabu (28/8).

Aman mengatakan hal ini merupakan respons OJK terhadap pemberitaan di beberapa media massa terkait dugaan adanya praktik gratifikasi pada proses IPO. OJK sedang mendalami potensi keterkaitan pegawai OJK dalam hal tersebut. OJK meminta pegawainya selalu menjunjung tinggi kode etik dan taat pada ketentuan yang berlaku

“Dan sejauh ini kami belum menemukan indikasi pelanggaran oleh pegawai OJK terkait dengan penawaran umum," ujarnya.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan harus ada sanksi yang seimbang apabila ada hal-hal yang tidak berdasar ataupun melanggar terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku. “Ya, tentu harus diberikan sanksi yang seimbang,” kata Mahendra menanggapi kasus gratifikasi IPO tersebut, di Jakarta, Selasa (27/8).

Mahendra mengatakan OJK mendukung sanksi tersebut sebab bursa dipercaya sebagai Self Regulatory Organizations (SRO). Bursa perlu menjadi SRO yang dipercaya dalam mengelola transaksi dan investasi publik, serta harus benar-benar menjaga integritas yang baik.

Ia juga mengatakan para oknum yang terlibat dalam kasus ini tidak ada yang boleh dikecualikan atau dilindungi pihak lain maupun pejabat Bursa.

"Ini menunjukkan tidak ada tempat bagi yang merusak integritas Bursa, yang memicu risiko sangat besar. Kami akan melakukan langkah-langkah lebih lanjut untuk mendalami ini," kata Mahendra kepada media dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK, Jumat (5/9).

Mahendra juga meminta agar Bursa melaksanakan pendalaman untuk menindak lanjuti permasalahan ini termasuk kemungkinan pihak-pihak lain yang terlibat. "Apabila terdapat calon emiten yang terlibat, ini merupakan suatu pelanggaran yang tidak dapat diterima dan tidak dapat dikecualikan sebab mempengaruhi integritas pasar modal," ujarnya.

Kualitas IPO Dipertanyakan

Menurut penelusuran Katadata.co.id, selama periode 2021-2024 ada 226 perusahaan yang IPO di Bursa Efek Indonesia. Dari 226 perusahaan itu, sedikitnya 17 perusahaan berada dalam pengawasan khusus Bursa lantaran harga rata-rata sahamnya di pasar reguler dalam enam bulan terakhir di bawah Rp 51 (lihat tabel).

Salah satu emiten tersebut adalah PT Widodo Makmur Tbk (WMPP). Perusahaan yang bergerak di bidang konsumsi dan komoditas pertanian itu harga sahamnya sudah merosot 92,5% sejak IPO pada 6 Desember 2021.

BEI juga menyematkan notasi khusus lainnya pada saham WMPP lantaran perusahaan melakukan moratorium pembayaran utang. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan WMPP dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Agustus lalu. Berdasarkan laporan keuangan, WMPP memiliki total utang senilai Rp 3,84 triliun per 30 Juni 2024.

Emiten lainnya, PT Net Visi Media Tbk (NETV), juga mendapatkan notasi khusus dari BEI karena ekuitasnya negatif. Pada semester I 2024, NETV mencatat ekuitas negatif Rp 648,26 miliar.

Saham IPO yang Berada dalam Pengawasan Khusus (Katadata/Zulfiq Ardi N)

Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan dirinya sejak lama mempertanyakan kualitas IPO di BEI. Hal itu terjadi sejak OJK dan BEI mengejar kuantitas emiten baru sebagai Key Performance Indicator (KPI) mereka.

“Saya pikir dari dulu kualitas emiten baru dipertanyakan. Mungkin juga gara-gara ini,” kata Budi ketika dihubungi Katadata.co.id, Selasa (27/8).

Di samping itu, Budi menyebut banyak perusahaan yang mengambil jalur pintas dalam proses IPO. Hal ini terjadi karena calon emiten harus segera menyerahkan dokumen tepat waktu. Mereka harus menggunakan laporan keuangan enam bulan terakhir yang telah diaudit.

Jika terlambat, audit laporan keuangan mereka menjadi tidak berlaku dan mereka harus melakukan audit baru. Tentunya, hal ini akan memakan biaya lebih mahal.

“Jamak dilakukan, kemungkinan keluar biaya audit tambahan membuat banyak emiten memilih jalan pintas,” kata Budi.

Ia mengatakan perusahaan yang dirugikan dalam kasus gratifikasi IPO ini bisa saja menuntut balik BEI atau oknum yang terlibat jika mereka dapat membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Akan tetapi, ia khawatir pengungkapan emiten-emiten yang terlibat dalam kasus gratifikasi ini akan berefek lebih besar ke pasar.

Harga saham emiten tersebut bisa turun drastis. “Harus hati-hati dan dipertimbangkan baik-baik oleh BEI,” kata Budi.

Budi memperkirakan pendaftaran IPO di pasar modal setelah kasus gratifikasi ini mungkin akan terpengaruh. Akan tetapi, efeknya hanya bersifat sementara. Setelah itu, pasar akan kembali fokus pada faktor-faktor dasar serta sentimen global dan domestik mengenai ekonomi, keuangan, dan politik.

Mantan Direktur Utama Bursa Efek Jakarta Hasan Zein Mahmud turut berkomentar mengenai kasus gratifikasi IPO yang berujung pada pemecatan lima pegawai di Divisi Penilaian Perusahaan BEI. “Bagus, tapi tidak cukup,” tulis Hasan dalam keterangannya, Selasa (27/8).

Hasan Zein menilai disiplin pegawai merupakan urusan internal BEI sedangkan transparansi adalah indikator kualitas bursa yang menjadi kepentingan semua investor. Ia menekankan transparansi juga menjadi tanda kejujuran, sehingga ia mempertanyakan mengapa nama emiten yang melakukan suap tidak diumumkan. Ia juga mempertanyakan seberapa besar nilai suap dan dampaknya bagi perusahaan.

Hasan juga menyoroti apakah uang suap tersebut dibebankan sebagai biaya emisi atau operasional yang bisa mengurangi laba perusahaan. Menurutnya, tata kelola perusahaan sangat ditentukan oleh integritas pengelola dan praktik suap ini secara jelas menunjukkan kualitas integritas BEI.

Pengamat pasar modal Desmond Wira menilai hukuman berat bagi para pelaku yang terlibat dalam kasus gratifikasi IPO ini akan menimbulkan efek jera. "Yang terlibat dihukum seberat-beratnya. Kalau itu benar-benar dilakukan, yang mau menyuap akan berpikir berkali-kali," kata Desmond kepada Katadata.co.id, Senin (9/9).

Merespons hal ini, Direktur Utama BEI Iman Rachman menyatakan seluruh perusahaan yang mencatatkan sahamnya melalui proses IPO telah memenuhi ketentuan persyaratan. Iman menyebut dalam proses evaluasi pencatatan, BEI tidak hanya menilai aspek formal dari persyaratan pencatatan.

BEI telah melakukan evaluasi terhadap aspek substansial, seperti keberlanjutan usaha, reputasi pengendali, reputasi jajaran direksi dan komisaris, serta prospek pertumbuhan calon perusahaan yang akan tercatat.

“Kami memastikan perusahaan yang tercatat memang eligible, sampai dengan saat ini perusahaan IPO memenuhi persyaratan pencatatan,” kata Iman kepada wartawan di Gedung BEI, Jakarta, Jumat (6/9).

Ia mengatakan BEI terus berupaya menjaga relevansi peraturan pencatatan dengan memperhatikan kondisi terkini di pasar modal yang terus berkembang. Bursa melakukan berbagai inisiatif untuk meningkatkan kualitas perusahaan yang tercatat. Karena itu, BEI akan menyesuaikan peraturan pencatatan yang bertujuan untuk menaikkan persyaratan minimum bagi perusahaan yang ingin tercatat di BEI.

IPO Kian Sepi

Kasus gratifikasi IPO ini diperkirakan akan berdampak pada minat perusahaan-perusahaan yang ingin mencatatkan sahamnya di BEI. Data BEI menunjukkan sejak Juli hingga awal September, hanya ada tujuh perusahaan baru yang mencatatkan sahamnya di Bursa. Bulan lalu, hanya ada dua perusahaan yang melakukan IPO, yaitu PT Global Sukses Digital Tbk (DOSS) yang tercatat pada 7 Agustus 2024 dan PT Esta Indonesia Tbk (ESTA) yang tercatat pada 8 Agustus 2024.

Nyoman Yetna mengatakan sepinya IPO bukan karena kasus yang tengah terjadi. Ia menilai tren IPO global tengah mengalami penurunan sebesar 16%. Kawasan Asia Pasifik menjadi salah satu wilayah dengan penurunan IPO paling signifikan tahun ini.

Ia menambahkan penurunan IPO ini juga disebabkan oleh kondisi ekonomi yang menantang, pertumbuhan yang lambat, dan tingkat inflasi yang tinggi. Era suku bunga tinggi, ketegangan geopolitik, dan dampak perubahan iklim turut memengaruhi minat IPO di bursa.

Baru-baru ini empat perusahaan memutuskan untuk menarik diri dari rencana melantai di BEI. Namun, Nyoman menyebut alasan mundurnya perusahaan-perusahaan tersebut bukan karena adanya kasus gratifikasi IPO. Menurutnya, ada perusahaan yang memutuskan menunda IPO karena kondisi internal tetapi ada juga yang batal IPO karena belum mendapatkan persetujuan dari BEI.

Nyoman menegaskan bahwa semua proses evaluasi dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. “Tidak ada kaitannya dengan isu lain,” kata Nyoman kepada wartawan, Kamis (5/9).

DPR Panggil OJK, Minta Penjelasan Kasus Gratifikasi

Kasus gratifikasi IPO menyita perhatian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Anggota Komisi XI DPR, Puteri Anetta Komarudin, mengatakan Komisi XI DPR telah menjadwalkan Rapat Kerja bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia menyebut pertemuan yang akan membahas gratifikasi bernilai miliaran rupiah tersebut bakal dilaksanakan pada September ini.

“Isu mengenai kasus ini tentu akan kami suarakan,” kata Puteri ketika dihubungi Katadata.co.id, Selasa (3/9).

Puteri juga mengatakan rapat tersebut bertujuan agar DPR mendapatkan klarifikasi langsung dari OJK. Hal itu termasuk penjelasan mengenai upaya penindakan dan langkah-langkah perbaikan yang akan dilakukan oleh OJK.

Budi Frensidy menilai OJK ikut bertanggung jawab atas kasus gratifikasi IPO yang terjadi di BEI. Jika OJK tidak mengambil tindakan terhadap kasus tersebut, hal itu bisa dianggap sebagai persetujuan terhadap keputusan BEI.

"Mungkin saja OJK berpandangan pengawasan terhadap pegawai BEI adalah tanggung jawab BEI," ujarnya. Ia berharap BEI dan OJK bisa menggali lebih lanjut mengenai keterkaitan pihak-pihak lain dalam kasus ini dari lima oknum yang telah dijatuhi sanksi.

Kasus gratifikasi ini telah mencoreng kredibilitas Bursa Efek Indonesia di mata emiten dan investor. Jika kasus ini tidak ditangani dengan serius, target BEI untuk meraih 62 emiten baru dalam IPO tahun ini kemungkinan tidak akan tercapai.