Regulasi yang Membuat Industri Baja Tidak Bertambah Sehat

Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim
Penulis: Yuliawati
16/12/2018, 08.00 WIB

Sepanjang 2018, industri baja nasional menghadapi tekanan akibat serbuan produk impor asal Tiongkok. Dampaknya merugikan banyak produsen di dalam negeri, termasuk perusahaan baja milik negara, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

Serbuan impor baja asal Tiongkok merupakan buah dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya. Tujuan sebenarnya untuk menurunkan waktu tunggu barang di pelabuhan (dwelling time), namun malah membuka celah masuknya impor baja dengan modus mengganti Harmonized System (HS) dari baja jenis carbon steel menjadi jenis alloy steel.

(Baca: Krakatau Steel Keluhkan Pemalsuan Produk Impor Asal Tiongkok)

Silmy Karim, yang menjadi Direktur Utama Krakatau Steel sejak September 2018, mengupayakan agar Permendag tersebut direvisi. “Saya perjuangkan untuk revisi Permedag. Pekan lalu (minggu pertama Desember) konon sudah direvisi,” katanya dalam wawancara khusus dengan Yuliawati, Aria Wiratma dan Hindra Kusuma dari Katadata.co.id di kantornya, Selasa (11/12).

Setelah revisi Permendag Nomor 22/2018, mantan Direktur Utama PT Pindad ini optimistis industri baja nasional akan tumbuh positif. Tahun depan, Silmy memperkirakan Krakatau akan mencetak laba, setelah dalam lima tahun merugi.

Sepanjang 2018 terjadi serbuan baja impor dari Tiongkok. Apa penyebabnya kesalahan kebijakan atau dampak perang dagang AS-Tiongkok?

Perang dagang tidak begitu mempengaruhi. Namun yang mempengaruhi itu Permendag Nomor 22 tahun 2018, di mana baja termasuk produk atau komoditas yang bisa masuk ke Indonesia tanpa melalui proses border.

Proses post border inspection tak dilakukan oleh Bea Cukai, sehingga banyak terjadi penyalahgunaan HS number untuk menghindari bea masuk. Akibatnya produk baja lokal menjadi tidak kompetitif. Dalam hitungan bulan, ada peningkatan impor sekitar 59% pada kuartal pertama 2018 (dibandingkan periode yang sama tahun lalu).

Saat saya bergabung di Krakatau Steel, saya petakan permasalahnya. Saya perjuangkan untuk revisi Permedag No. 22/2018. Pekan lalu konon sudah direvisi.

Apa saja langkah memperjuangkan revisi Permendag Nomor 22/2018?

Saya melakukan pendekatan-pendekatan, bukan hanya di tingkat menteri, saya juga bertemu bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ketika saya bertemu Bapak Presiden Joko Widodo, saya sampaikan untuk meningkatkan kompetisi daya saing industri dalam negeri, baja adalah mother of industry. Bila industri baja tidak sehat, maka dampaknya tidak semata ke industri baja tapi juga industri dalam negeri.

Setelah revisi Permendag Nomor 22/2018, apakah industri baja dalam negeri mampu bersaing dengan impor asal Tiongkok?

Masalah persaingan tentu perlu melihat beberapa faktor. Kami lihat tentu regulasi yang membuat (industri baja) tidak bertambah sehat. Persaingan sehat itu ketika level playing field sama, kemudian memiliki visi untuk mengembangkan industri nasional.

Pengalihan HS number dari carbon steel ke alloy steel, membuat importir bebas bea masuk. Akibatnya kami sudah kalah 25-28%. Tidak mungkin bersainglah (dengan kondisi seperti itu). Sangat jarang industri mendapat untung lebih dari 20%. Bisa untung 5-10% itu sudah bagus.

Kami khawatir persaingan tidak sehat akan menyebabkan menurunnya daya saing nasional. Itu juga yang sudah dirasakan oleh Amerika Serikat sehingga Presiden (Donald Trump) memproteksi perekonomian dan industrinya.

AS itu negara yang menjunjung tinggi ekonomi pasar, namun melakukan intervensi. Indonesia jangan terbelenggu aturan-aturan takut melanggar WTO. Banyak strategi yang tidak melanggar WTO yang dapat melindungi industri dalam negeri.

Jadi perang dagang AS-Tiongkok itu sebenarnya tak perlu terlalu dikhawatirkan?

Memang perlu, tapi jangan berlebihan. (Soal Permendag) jangan sampai setelah revisi, tetap impor dimudahkan. Jangan mengambil untung hanya dalam jangka singkat, tapi berdampak pada kepentingan jangka waktu yang lama.

Industri itu kalau sudah mati, mengembalikannya tidak mudah. Kita menjaga jangan sampai terjadi deindustrialisasi. Pak Presiden Jokowi kan sudah bilang harus bangun industri setelah infrastruktur.

Krakatau berencana mengakuisisi pabrik baja lokal yang hampir bangkrut pada 2019. Selain itu, membangun pabrik Hot Strip Mill (HSM) 2. Bagaimana dampaknya terhadap produksi baja perusahaan?

Kami akan beroperasi dalam waktu dekat, fasilitas blast furnace itu untuk memproduksi crude steel, itu sebesar 1,5 juta ton. Dari crude steel ini dapat diproses lagi, salah satunya menghasilkan Hot Strip Mill (HSM).

Proses HSM menambah satu fasilitas produksi sebesar 1,5 juta ton. Artinya, output HSM semakin banyak, kurang lebih kapasitasnya bisa memenuhi sekitar 4,5 juta ton.

Bagaimana rencana pembangunan klaster baja di Cilegon yang memproduksi 10 juta ton dengan mengajak investor strategis?

Program 10 juta ton salah satu eksekutornya Krakatau Steel, karena lokasi klaster di Cilegon. Untuk investasi tambahan menjadi 10 juta ton, membutuhkan dana sekitar US$ 5-7 miliar. Itu  angka yang tidak sedikit, sekitar Rp 60 triliun.

Kami akan mengajak perusahaan baja, dari Korea, Jepang, lainnya. Prinsip kami membuka diri dengan partnership, yang terpenting Indonesia bisa mandiri.

Konsumsi baja per kapita masih rendah sekitar 50 kilogram per orang per tahun. Sementara di negara lain, seperti Singapura itu sekitar 300 kg/per tahun. Begitu juga di Malaysia, Vietnam, konsumsinya lebih tinggi.

Pekerja membantu bongkar muat gulungan besi baja di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (4/4/2018). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Bagaimana dampak kerja sama dengan enam BUMN Karya untuk proyek kontruksi terhadap pendapatan Krakatau di tahun depan?

Target saya kerja sama dengan enam BUMN ini bisa melepas satu juta ton besi beton per tahun khususnya di 2019. Dengan harga Rp 10.000 ( per kilogram ), pendapatan menjadi sekitar Rp 10 triliun. Kami ingin menjadi lebih kompetitif, (harganya) bisa diturunkan sehingga (pendapatan) menjadi Rp 9 triliun dengan kualitas yang baik.

Hingga akhir 2017 Krakatau masih merugi. Bagaimana perkiraan kinerja hingga akhir tahun ini?

Saya masuk sejak September, pada Oktober alhamdulillah (keuangan) positif, November juga. Harapan saya, Desember tetap positif meski banyak libur. Terakhir memang masih minus US$ 22 juta. Tapi saya belum melihat lagi dengan naik turunnya kurs terakhir ini. Semoga masih bisa membukukan (laba) positif.

Buat saya yang terpenting pada 2019. Setidaknya tren positif ini harus dijaga, agar industri baja nasional sehat. Jadi saya tidak semata memikirkan Krakatau. Saya juga memikirkan bagaimana industri baja berkembang, dengan pola kemitraan dan pembinaan.

Berapa perkiraan pertumbuhan Krakatau pada 2019?

Biasanya pertumbuhan industri baja dan ekonomi itu seiring pertumbuhan ekonomi, sekitar 5-10%. Menurut saya, saat ini oke dari sisi demand, masalahnya hanya tekanan impor. Impor itu menyebabkan kapasitas kami idle, sehingga tidak kompetitif.

(Baca juga: Pemindahan Pemeriksaan Impor Baja ke Pusat Logistik Picu Masalah Baru)

Nilai ekspor baja periode Januari-Agustus 2018 meningkat 32%. Apakah Krakatau akan berupaya meningkatkan ekspor atau tetap fokus di pasar domestik?

Kami harus menjadi tuan rumah dulu di indonesia. Setelah menjadi tuan rumah, efisien, baru kami ekspor. Tapi biasanya ekspor Krakatau berkisar 5-10%. Setidaknya, saya mendorong supaya ekspor bagus di kisaran 10%.

Saya juga berusaha membuat market share makin baik. Dengan penambahan 1,5 juta ton, kami makin membaik. Selain 2019 harus untung, market share bertambah, profitabilitas semakin baik, kami terus berinvestasi yang strategis.

Apa dampak Pemilu 2019 terhadap bisnis perusahaan?

Saya rasa Pemilu bisa sebagai salah satu faktor (mempengaruhi) ekonomi, bisa juga tidak. Saya melihatnya pemerintah kan semakin baik, apabila ada hal yang tidak pas diubah menjadi bagus.

Yang harus diperhatikan itu soal impor baja. Jangan dipukul rata dari kebutuhan dalam negeri 13,8 juta ton, dan produksi 8 juta ton. Bukan berarti sisanya harus impor. Tak bisa begitu karena produksi HRC (Hot Rolled-Coil) kita sudah cukup. Impor untuk produk-produk tertentu yang tak dibuat di dalam negeri seperti baja yang digunakan untuk kepentingan militer.

Apakah bisnis Krakatau akan terhambat oleh rencana perjanjian perdagangan internasional, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP)?

Sebenarnya perjanjian perdagangaan luar negeri terkait dengan baja, yang paling utama mengganggu itu FTA (Free Trade Agreement), tarif impor baja sudah nol persen. Pesaing seperti Tiongkok, Korea dan Jepang, sudah (meratifikasi) FTA semua.

Artinya (perjanjian perdagagan) yang lebih berat sudah tidak ada lagi. Kebijakan yang paling tepat untuk baja adalah safe guard untuk melindungi industri lokal, bukan memberikan proteksi. Itu masih dibolehkan.

Pelabuhan ekspor-impor. (Katadata)

Sebelum di Krakatau, Anda memimpin beberapa BUMN seperti PT PAL Indonesia, PT Bahana, PT Pindad, PT Barata. Apa strategi memimpin perusahaan-perusahaan yang berbeda sektor?

Setiap perusahaan memiliki masalah yang berbeda-beda, perusahaan yang satu dengan yang lain tidak sama, sehingga obatnya tidak bisa dipukul rata. Yang terpenting bagaimana membangun kebersamaan, semangat, cara berpikir yang positif, kondusif, rasa nyaman untuk bekerja.

Kami berikan trust atau kepercayaan yang tinggi. Sehingga setiap penugasan saya tidak bawa orang karena di mana pun kita bisa beradaptasi dan harus bisa melakukan perubahan, untuk ke arah kebaikan.

Kesuksesan atau apapun yang terjadi merupakan kerja tim, network yang baik. Kami saling mendukung, tolong menolong, saya rasa itu yang paling utama. Bukan menghindari konflik, karena buat apa menang dalam jangka pendek tapi kalah dalam jangka panjang.

Apakah ada perbedaan memimpin perusahaan swasta dan BUMN?

Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Kalau swasta itu cepat dalam mengambil keputusan, sementara BUMN sulit dalam mengambil keputusan. Masih ada unsur birokrasi, meski tidak menjadi hambatan. Perlu pintar melakukan pendekatan agar (memproses) keputusan cepat. Melihat tren BUMN, sekarang sudah mengadopsi best practice swasta.