Saya Mewakili Negara Berdagang, Cost Recovery Itu Abusive

Ilustrator: Betaria Sarulina
Penulis: Arnold Sirait
Editor: Yura Syahrul
1/9/2017, 11.27 WIB

Kalau tanpa cost recovery berarti tidak ada pengawasan negara?

Memang tidak perlu diawasi spending-nya, suruh mereka (kontraktor) saja. Mengenai TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri), ada pengaturannya dalam gross split. Kalau menggunakan komponen dalam negeri sekian persen dari total biaya maka akan diberikan split tambahan. Ini untuk mendorong pertumbuhan industri penunjang di dalam negeri.

Apakah SKK Migas masih dibutuhkan setelah tidak ada cost recovery?

Masih dibutuhkan. Tidak apa-apa. Untuk negosiasi reservoir, negosiasi eksplorasi, PoD (Plan of Development) yang berjalan setiap tahun.

Mengapa kontraktor tidak langsung berurusan saja dengan Pertamina?

Tidak, Pertamina mengurus diri sendiri saja karena tantangannya besar sekali. Perusahaan asing pasti bilang, lebih baik seperti dulu urusannya dengan Pertamina saja. Itu adalah orang hipokrit. Kenapa? Siapa yang mengajari Indonesia untuk menjadi negara yang demokratis?

Banyak perusahaan asing bilang, sekarang harus mengurus di beberapa agency (kementerian / lembaga). Kadang-kadang pengadaan tanah di daerah tidak mudah, harus sosialisasi dan negosiasi. Zaman Pak Harto tidak seperti itu. Saya bilang, “kita kembali saja ke zaman Pak Harto”. Jangan you bilang pro demokrasi, tapi dampaknya begini you tidak mau.

Bagaimana keputusan pengelolaan Blok Mahakam?

Saya bilang ke Pertamina, kalau ini penugasan. Pertamina minimal harus punya 51%, plus 10% hak kelola untuk daerah. Jadi totalnya 61%. Secara teori, Total dan Inpex bisa dapat share down sampai 39%. Tapi, Pertamina mau atau tidak itu terserah Pertamina secara b to b (business to business).

Saya berpesan ke Pertamina, Anda pertimbangkan baik-baik, siapnya bagaimana? Kalau siap (share down) 30% ya silakan. Tapi kalau Total tidak ikut, ada masalah enggak? Anda timbang sendiri. Kalau Anda (Pertamina) bisa melanjutkan operasi dengan performance yang sama tanpa Total, saya lebih senang. Tapi kalau (produksi) turun, saya gantung kamu.

Mengapa Kementerian ESDM menolak pemberian insentif kepada Total di Blok Mahakam?

Saya tidak mau. Pertamina tidak minta sebagai pemilik 100%, kok kamu (Total) malah minta.

Bagaimana kebijakan terhadap peran Pertamina di sektor hulu dan hilir migas?

Ini we have to be fair. Negara harus membesarkan Pertamina atau Pertamina harus mendukung negara jadi besar? Pilih yang mana, ada kewajiban negara membesarkan Pertamina atau sebaliknya kewajiban Pertamina mendukung negara lebih besar di industri hulu migas?

Kalau dilihat, pemerintah sudah memberikan Blok Mahakam ke Pertamina. Saya juga sudah berikan 10 blok migas dengan skema gross split. Kalau Pertamina tidak sanggup, kembalikan ke saya. Pertamina kemudian kirim surat kesanggupan kepada saya, tapi syaratnya ini, ini, ini. Sekarang lagi dievaluasi sampai akhir bulan ini.

Tapi Pak AT (Arcandra Tahar) tidak ikut (mengevaluasi) karena dia Wakil Komisaris Utama Pertama. Saya takut konflik, tidak fair.

Dalam evaluasi, kalau permintaan Pertamina bisa diakomodasi dan realistis, kami oke. Tapi, kalau tidak maka akan kami minta kembali bloknya. Kami kasih ke kontraktor eksisting untuk menjalankan blok itu. Jadi, bukan dikasih semua blok (yang akan habis kontrak) ke Pertamina tanpa syarat apapun. Tidak begitu.

Konsepnya berbeda dengan BUMN yang ingin membesarkan Pertamina?

Yang punya kuasa saya di blok ini. Dia (BUMN) kan sebagai badan usaha.

Apakah Blok Rokan juga akan dikelola oleh Pertamina?

Kita lihat, apakah Pertamina sukses mengelola Blok Mahakam. Paling kurang, performance-nya bisa seperti Total. Kalau bisa maka saya akan kasih Blok Rokan. Kalau tidak, bisa bahaya sekali.

(ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Bagaimana proses negosiasi dengan Freeport?

Prinsip Presiden jelas soal Freeport. Boleh diberikan perpanjangan kontrak sesuai peraturan, tapi bangun smelter dalam lima tahun. Hal itu tidak bisa ditawar. Kalau tidak mau, ya sudah.

Selain itu, Freeport harus mendivestasikan 51 persen sahamnya. Untuk kedua hal ini, Freeport sudah mau. Yang belum mau itu cara divestasinya dan kapan prosesnya. Mau langsung 51 persen atau pelan-pelan? Masalah ini sedang dirundingkan. Jika caranya berbeda, maka secara ekonomis dampaknya pun signifikan.

Selanjutnya Freeport minta sistem pajaknya boleh enggak naildown (sistem pajak tetap dan tidak berubah jika ada aturan baru)? Kami sepakat selama lebih besar dari prevailing (tarif bisa berubah dari waktu ke waktu). Hal ini akan  dibicarakan dengan Kementerian Keuangan.

Freeport meminta naildown karena khawatir adanya pungutan baru di daerah, seperti pajak air?

Kalau pajak daerah itu berunding dengan daerah. Tidak bisa dengan pusat semata. Karena kan ada otonomi khusus, ada UU Otonomi Daerah. Dulu tidak ada. Lalu Freeport menyatakan, itu berarti tidak ada kepastian. Pertanyaannya, apa mau kita kembali ke zaman otoriter (seperti dulu)?

Saat ini, kenapa kami masih mau duduk dan berunding, karena Freeport itu sudah 50 tahun di sini sejak 1967. Sebelum ada investor asing yang besar datang ke Indonesia, Freeport sudah masuk duluan. Kita ingat itu. Kalau tidak ada urusan 50 tahun itu mungkin (kontrak Freeport) sudah “selesai”(tamat) dari dulu.

Mengenai divestasi saham, apakah pemerintah menginginkan langsung 51 persen?

Kami fleksibel, maunya Freeport bagaimana dan kami mau dengar. Dia sendiri juga bingung kok.

Apakah lama proses negosiasinya tidak dibatasi?

Mudah-mudahan sebentar lagi, batasnya selesai. Isunya begini, Freeport bingung karena takut harga sahamnya turun. Itu tipikal listed company yang global.

Apakah valuasi harga saham Freeport terkait divestasi juga menghitung cadangan tambangnya?

Tidak. Kalau itu jelas. Di aturan, bisa baca konstitusi UUD 1945 Pasal 33. Di situ disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Jadi, valuasi itu sebatas valuasi izin, opportunity, cashflow ke depan, tapi bukan itu (cadangan). Freeport memang kadang ngotot. Termasuk soal itu (valuasi berdasarkan cadangan). Ya ubah dulu saja konstitusinya.

Halaman: