Tak Ada Obat yang Benar-benar Ampuh untuk Pasien Covid-19

Katadata
Guru Besar Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt.
11/10/2020, 09.00 WIB

Belakangan ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan izin penggunaan remdesivir dalam penanganan pasien Covid-19 dengan syarat kondisi darurat kesehatan atau emergency use authorization (EUA). Pemberian izin yang distribusinya diberikan kepada PT Kalbe Farma Tbk ini menarik perhatian publik.

Remdesivir yang sejak awal pandemi digunakan di Amerika Serikat ini terkenal sebagai obat mahal. Selain itu belum terbukti dapat mengobati pasien  Covid-19, seperti halnya obat-obat jenis lain yang juga digunakan pemerintah yakni oseltamivir, favipiravir, dan lopinavir.

Guru Besar Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Zullies Ikawati mengatakan hingga saat ini belum ada obat corona. Namun ia menyatakan beberapa obat antivirus menjanjikan dalam terapi pasien Covid-19.

"Dari proses uji itu, sepertinya remdesivir yang memang paling promising hasilnya," kata Zullies dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id, Rabu (7/10).

Zullies menjelaskan banyak hal mengenai berbagai terapi untuk pengobatan Covid-19, termasuk regeneron yang digunakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat positif terkena Covid-19. Dia juga menjelaskan kemampuan herbal hingga empon-empon untuk untuk meningkatkan imunitas pasien corona.

Berikut petikan wawancaranya dengan Ameidyo Daud, Yuliawati, dan Dini Apriliyana dari Katadata.co.id:

Banyak pihak yang memproduksi dan distribusi antivirus covid-19, salah satunya remdesivir. Apakah ini akan menjadi antivirus yang efektif meredam gejala covid yang kritis?

Memang sampai saat ini belum ada obat yang benar-benar efektif dalam pandemi Covid-19. Pertama kali yang digunakan adalah klorokuin dan hidroksiklorokuin. Negara lain ada yang mencoba obat lain seperti lopinavir/ritonavir serta remdesivir. 

Karena belum ada yang terbukti secara klinis, maka maka WHO mengorganisir solidarity trial. Ada empat kelompok pengobatan yang diujikan, yakni remdesivir, lopinavir/ritonavir, hidroksiklorokuin-klorokuin, kemudian plasma convalescent.

Bagaimana hasilnya ?

Dari proses uji itu, sepertinya remdesivir yang memang paling promising hasilnya. Sementara uji klinis lopinavir/ritonavir dan hidroksiklorokuin sempat dihentikan oleh WHO karena hasilnya tidak terlalu menjanjikan.

Mengapa remdesivir paling menjanjikan ?

Karena dia memang dikembangkan sebagai antivirus. Sedangkan hidroksiklorokuin itu aslinya  obat antimalaria dan imunosupresan (penekan sistem imun). Seperti lopinavir/ritonavir dulunya adalah obat untuk HIV, kemudian dicoba untuk Covid-19 dan hasilnya tidak terlalu menggembirakan.

Sedangkan remdesivir ceritanya sedikit berbeda. Remdesivir itu belum pernah dipasarkan, tapi sudah dikembangkan sejak 2010-an oleh Gilead Science dari Amerika Serikat. Mereka bekerja sama dengan CDC Amerika dan US Army untuk mengembangkan obat antivirus RNA. Virus memiliki materi genetik berupa DNA (asam deoksiribonukleat) atau RNA (asam ribonukleat)

Nah Covid-19 ini adalah salah satu contoh virus RNA. Obat ini sudah sempat dipakai saat wabah Ebola dan MERS pada 2013-2014 dan telah menjalani uji klinik. Hasilnya cukup baik karena mekanismenya bisa menghambat replikasi virus, tapi saat itu tidak sempat dipasarkan. Gilead memunculkan lagi obat ini saat pandemi Covid-19.

Bagaimana efektivitasnya pada Covid-19 ?

Hasil uji klinisnya di berbagai negara sudah ada, walaupun belum semuanya selesai. Seperti dilaporkan di The New England Journal of Medicine (NEJM), dari 1.064 subjek yang dibagi jadi dua kelompok, satu mendapat remdesivir satunya obat kosong (plasebo). Hasilnya, kelompok remdesivir sembuh sekitar 4 hari lebih cepat. Hasil uji lainnya juga hampir sama, mempercepat penyembuhan. Dari situ makanya diizinkan untuk beredar tapi menggunakan emergency use authorization atau izin edar dalam situasi darurat. Artinya selama belum ada obat yang benar-benar definitif, maka obat ini boleh dipakai.

Siapa saja yang sudah pakai ?

India termasuk cepat, mereka membeli lisensi dari Gilead Science dan beberapa industri di sana sudah memproduksi. Termasuk Covifor dari Hetero dan Desrem dari Mylan Pharmaceutical. Beberapa industri farmasi kemudian memproduksi dengan lisensi dari Gilead Science.

Di Indonesia, siapa saja yang mendistribusikan  ?

Ada beberapa, pertama kali PT Kalbe Farma mengimpor Covifor dari Hetero kemudian diikuti Desrem dari Indo Farma. Industri swasta maupun BUMN sudah mulai mengimpor dan harus didaftarkan di Indonesia. BPOM juga memberi izin edar untuk diedarkan dengan status emergency use authorization.

Apakah remdesivir aman untuk ibu hamil dan menyusui ?

Remdesivir itu hasil uji klinisnya menyatakan bisa digunakan pada usia di atas 12 tahun dengan berat badan di atas 40 kg. Untuk wanita hamil dan menyusui belum ada informasi keamanannya sehingga disarankan untuk dihindari.

Apakah aman juga untuk anak-anak ?

Belum tahu, karena belum ada uji klinis yang dilakukan pada anak usia tertentu dan memang tidak etis melakukan uji klinik pada anak-anak. Bahwa kemudian setelah dicoba aman, mungkin saja. Tapi dari segi aturan sebaiknya tidak dipakai untuk anak-anak dan wanita hamil/ menyusui.

Pasien Covid-19 di Amerika Serikat juga menggunakan remdesivir, tapi angka kematian tetap tinggi ?

Di Indonesia juga sama. Kalau dilihat, angka kematian terbanyak dialami mereka yang sudah punya komorbid seperti diabetes, hipertensi, penyakit pernapasan lain. Begitu juga dengan mereka yang usia lanjut, meski kelihatan sehat, tapi sistem imun tidak akan sama seperti usia muda.

Selain remdesivir ada favipiravir yang dianggap efektif pada pasien Covid-19, bagaimana mekanismenya ?

Favipiravir ini asalnya dari Jepang,  Fujifilm yang produksi dengan nama paten Avigan. Dulunya obat ini dipakai untuk influenza sebagai alternatif dari oseltamivir. Sudah diuji klinik, pernah dipakai untuk SARS. Pak Jokowi membeli obat ini berdasarkan informasi dari Tiongkok karena sudah dipakai dan cukup baik hasilnya.

Mekanismenya mirip remdesivir, menghambat replikasi virus dengan target enzim yang namanya RNA dependent dan RNA polymerase yang dibutuhkan untuk sintesis dan replikasi virus.

Mana yang lebih efektif, remdesivir atau favipiravir ?

Saya kira hampir apple to apple sama remdesivir. Hanya saja penggunaan remdesivir lebih luas karena sudah solidarity trial di beberapa negara. Kalau favipiravir masih uji klinis dan hasilnya belum definitif, tapi cukup promising sehingga mendapat emergency use authorization di Indonesia. Hanya bentuknya berbeda, kalau Favipiravir tablet sedangkan remdesivir injeksi.

Beberapa dokter meminta penjualan obat yang belum teruji dilakukan oleh pemerintah, bukan swasta. Kalau dari sudut pandang farmasi seharusnya seperti apa ?

Terus terang saya tidak tahu persisnya kenapa. Tapi kalau dikatakan unproven, semuanya unproven atau belum terbukti sebagai obat Covid-19, tapi pemerintah sudah menyediakan. Seperti hidroksiklorokuin dan oseltamivir kan dari pemerintah. Khusus remdesivir ini saya kurang tahu kenapa yang menginisiasi swasta, walaupun BUMN juga sudah memulai.

Ada anggapan pengobatan Covid-19 ini relatif mahal dan tidak terjangkau masyarakat. Apa yang perlu dilakukan agar ketersediaan dan harga obat terjangkau

Pengembangan obat perlu biaya besar dan membutuhkan waktu lama. Tapi bila sudah lama beredar dan patennya sudah habis, biasanya bisa dibuat generiknya dan akan lebih murah. Saya dengar favipiravir sudah ada generiknya dan bisa lebih murah. Berbeda dengan remdesivir yang masih baru. Sehingga saat beli impor, itu kan under license dari Gilead. Jadi harganya masih mahal.

Jadi bagaimana cara pasien mendapat pengobatan murah ?

Kalau mau murah kan ada oseltamivir

Tapi bagaimana efektivitasnya ?

Begini, kondisi pasien Covid-19 sendiri kan memang sangat bervariasi. Bahkan banyak yang tidak perlu pakai obat dan sembuh. Cukup dengan meningkatkan sistem imun, minum vitamin. Kemudian dengan menghilangkan gejala, jadi kalau batuk, demam, dan pakai penurun panas juga sembuh.

Jadi tak perlu antivirus ?

Menurut saya antiviral ini tak wajib karena banyak orang positif tanpa gejala dan tidak perlu antiviral. Memang pada kondisi tertentu antivirus dibutuhkan. Dalam panduan organisasi profesi dokter, pilihannya adalah kombinasi antara antibiotik levofloxacin atau azitromisin dengan favipirafir. Atau dengan lopinavir/ritonavir, hidroksiklorokuin atau klorokuin serta ditambah vitamin C.

Kalau masyarakat mempermasalahkan obat yang mahal, jangan pakai obat yang itu. Apalagi remdesivir hanya dipakai pada pasien gejala berat. Sudah ada petunjuknya bahwa dipakai pada kasus berat dan harus digunakan oleh dokter karena bentuknya injeksi. Kalau seperti itu, tentunya ditanggung pemerintah karena sebagian besar dirawat di rumah sakit rujukan.

Sebelum obat antivirus yang telah disebut, ada obat malaria klorokuin yang diberikan kepada pasien Covid-19. Apakah manjur ? 

Selama menggunakan secara tepat, artinya tidak membahayakan. Daripada tidak minum obat, ya dikasih saja. Cuma kalau dilihat dari hasil uji klinik, tidak begitu menjanjikan sampai WHO menghentikan pengujian. Tetapi itu tidak membahayakan dan menyebabkan kematian.

Di Indonesia sendiri kasusnya seperti apa. Apakah ada kasus efek samping yang berbahaya ?

Hasil observasi BPOM, penggunaan hidroksiklorokuin atau klorokuin sejauh ini tidak membahayakan, tapi sejauh digunakan secara benar. Hidroksiklorokuin dan klorokuin itu kan efek sampingnya ke jantung, karena ada percepatan dan gangguan irama denyut jantung. Makanya tidak akan diberikan pada pasien yang memiliki gangguan jantung. Jika pasien menggunakan itu, akan dipantau secara ketat dan kalau ada perburukan akan dihentikan. Sampai saat ini tidak membahayakan dan belum ada pilihan lain yang lebih bagus.

Halaman selanjutnya: Di AS sempat popular istilah Protokol Zelenco ...

Di AS sempat popular istilah Protokol Zelenco yang terdiri dari hidroksiklorokuin, azitromisin, dan zinc. Tetapi ternyata belum dapat izin. Kombinasi obat itu apakah cukup efektif ?

Sebetulnya itu juga dipakai di Indonesia, kombinasinya azitromisin sebagai antibiotik, ditambah hidroksiklorokuin. Bedanya zinc tidak kita masukkan dalam protokol. Menurut saya bisa menjadi pilihan.

Lalu muncul juga obat herbal untuk membantu penanganan pasien Covid-19 gejala ringan. Apakah hal tersebut bisa membantu pasien ?

Banyak sekali obat herbal yang diklaim bisa obati Covid-19, entah untuk ringan atau sedang. Kebanyakan belum ada uji klinik yang resmi, mungkin hanya pengalaman empirik.

Sempat ramai TCM dari Tiongkok yang kabarnya dipakai di Wisma Atlet. Itu oke saja karena di sana (Tiongkok) TCM memang biasa dikombinasikan obat sintetik. Tapi sistem pengobatan Tiongkok dan di sini berbeda karena posisi herbal di Indonesia sebagai pendukung. Bahkan belum ada obat herbal yang terbukti secara klinis bisa untuk Covid-19. Kebanyakan buktinya testimoni, cerita dari orang ke orang dan tidak bisa digeneralisir. Kesembuhan itu belum tentu dari herbalnya. Bisa saja karena memang kondisinya ringan dan sudah waktunya sembuh.

Selain obat, ada juga kepercayaan masyarakat seperti konsumsi empon-empon untuk menghadapi virus. Apa memang bisa membantu juga ?

Terapi bisa dilakukan dengan obat atau non-obat. Pada dasarnya Covid-19 itu adalah self limiting disease yang bisa sembuh sendiri jika sistem imun kuat. Maka langkahnya adalah meningkatkan sistem imun, termasuk empon-empon.

Contoh lain minyak kayu putih atau eucalyptus itu bukan antiviral, tapi mungkin bisa melegakan pernapasan. Tapi bukan antiviral. Intinya, dorong semua hal yang bisa mendukung sistem imun secara optimal. Jangan stres, makan yang sehat, menggunakan probiotik atau multivitamin itu sama saja.

Bagaimana dengan riset obat Covid-19 di dalam negeri, apa yang menjadi kendala untuk menemukan obat ?

Sebagian besar obat di Indonesia bahan bakunya impor. Bahkan paracetamol saja kita mengimpor karena industri hulu bahan kimia tidak kuat. Jadi yang dilakukan saat ini adalah repurposing dengan obat yang sudah ada untuk Covid-19. Apalagi butuh waktu tahunan untuk memulai dari awal. Bisa jadi saat ketemu, Covid-19 sudah hilang.

Seberapa sulit mengembangkan obat Covid-19 ?

Meramu obat baru itu prosesnya harus lewat uji toksisitas dan formulasi. Itu memakan waktu. Belum lagi uji klinisnya. Makanya kami lebih suka menggunakan obat yang sudah beredar kemudian dikombinasikan jadi satu pengobatan Covid-19. Seperti yang dilakukan Universitas Airlangga belum lama ini, mereka membuat kombinasi antara lopinavir/ritonavir dengan hidroksiklorokuin. Kombinasi itu diklaim sebagai obat dari Indonesia tapi sebenarnya bukan karena obatnya impor.

Hitungan anda, berapa lama waktu pengembangan obat Covid-19 ?

Remdesivir sampai sekarang sudah 10 tahun dan belum ada approval, baru emergency use authorization. Proses obat itu bila dapat satu senyawa baru, diuji pada hewan untuk mengetahui toksisitasnya pada hewan. Kalau aman, baru boleh dicoba ke manusia lewat 3 fase. Sangat mungkin obat tak lolos dari fase 1 karena tidak aman. Kebanyakan obat yang beredar ada pada fase 3 karena menggunakan obat yang sudah ada, tinggal dikombinasikan pada pasien Covid-19.

Tapi meski menjanjikan, tetap ada efek samping yang berbahaya ?

Tidak ada obat yang sama sekali aman. Tapi yang penting adalah rasio dan risiko terhadap manfaatnya. Contohnya remdesivir, walau sudah di fase 3 tapi belum bisa dikatakan aman. Dari fase 3 akan ketahuan efek sampingnya, Misalnya efek ke hepatotoxic, apakah akan merusak liver. Karena pada remdesivir ada kecenderungan untuk meningkatkan enzim ALT/AST dan berpotensi untuk merusak hati kalau dipakai dalam jangka waktu lama. Jadi kalau pasien sudah mengalami gangguan fungsi hati seperti hepatitis, sirosis ya tidak boleh pakai itu. Tapi tidak perlu khawatir, dokter yang akan memilih kalau obat memiliki efek samping. Kalau orang masih sehat Insya Allah tidak apa-apa.

Jadi apa kombinasi pengobatan yang biasanya dipakai di Indonesia ?

Kalau di lapangan, dokter akan mencoba semua yang tersedia. Tapi itu tergantung dari tingkat keparahan dan sistem imun pasien. Kadang trial and error.

Jadi memang pada praktiknya tak ada kombinasi baku pengobatan Covid-19  ?

Kami mengistilahkannya terapi standar. Kementerian Kesehatan juga merilis pedoman terapi Covid-19 yang disusun 5 organisasi profesi dokter.

Seperti apa pedomannya ?

Ada 3 komponen. Pertama antibiotik levofloxacin atau azitromisin, plus antivirusnya bisa hydroksiklorokuin atau klorokuin ditambah vitamin C. Kedua, antibiotiknya sama, tapi antivirusnya favipirafir atau oseltamivir, vitaminnya tetap sama. Ketiga, antibiotik sama, antivirusnya bisa remdesivir ditambah vitamin.

Tapi di lapangan, kombinasi yang digunakan bisa berbeda ?

Karena tergantung ketersediaan dan preferensi dokter. Tapi kombinasi itu hanya untuk gejala sedang sampai berat. Kalau ringan kadang hanya dapat pengencer dahak, antihistamin, sama vitamin.

Saat isolasi, OTG perlu konsumsi obat atau sekadar pemulihan imun?

Ada beberapa pendapat. Ada dokter yang tak berani memulangkan pasien takutnya masih menular. Tapi ada aturan yang baru kan meski positif dengan perbaikan gejala, tetap bisa pulang dengan catatan isolasi mandiri 14 hari. Yang penting sistem imun diperkuat.

Kalau OTG dengan gejala flu, cukup konsumsi obat flu saja ?

Bisa saja dengan obat flu. Tapi bisa ditambah multivitamin yang mengandung vitamin C, D, E sama Zinc dan selenium. Kemudian makan sehat, makan banyak, istirahat cukup, jangan stress dan panik.

Intinya pasien gejala ringan dan OTG tak perlu panik akan pengobatan ?

Yang penting meningkatkan sistem imunnya. Cuma memang tidak gampang karena pasien biasanya sudah panik duluan. Itu sangat manusiawi. Bahkan sekarang untuk terapi Covid-19 bisa isolasi mandiri. Masalahnya apa masyarakat bisa melaksanakan isolasi mandiri karena tidak semua punya fasilitas cukup. Makanya beberapa pemda sudah menyewa wisma sehingga pasien terhindar dari kemungkinan infeksi lagi atau menularkan.

Apakah ada kendala distribusi obat antivirus bagi pasien Covid-19 di daerah ?

Mungkin ada beberapa kosong, itu dinamika ketika pasien banyak maka penggunaan jadi banyak. Di sini peranan apoteker sebagai bagian logistik harus awas dan memesan lebih cepat dari pemerintah.

Kematian pasien karena badai sitokin benar terjadi ?

Iya, terutama kalau gejala berat. Pasien yang sistem imunnya tidak begitu kuat sehingga virus lebih banyak dan cepat masuk ke saluran napas bagian bawah, lama-lama bisa memicu badai sitokin. Itu proses inflamasi atau peradangan berat di paru-paru. Yang harusnya peradangan merupakan mekanisme pertahanan diri, tapi bisa merusak tubuh.

Beberapa alternatif pengobatan semakin banyak, salah satunya Presiden AS Donald Trump yang diberikan regeneron. Sebenarnya obat apa ini ?

Itu bukan obat tapi monocular antibody. Jadi ketika seseorang terinfeksi virus, maka tubuhnya akan melawan virus dengan cara menghasilkan antibodi. Sistem tersebut akan mengeliminasi virus dalam tubuh dengan mekanisme tertentu.

Mirip seperti plasma convalescent?

Mirip, karena kalau menunggu antibodi dia sendiri naik butuh waktu. Apalagi kalau usia lanjut, kondisi imun kurang. Itu membuat antibodi lebih lama terbentuk, makanya dibantu dari luar.

Bisa dikatakan plasma convalescent terapi paling efektif ?

Sampai saat ini masih diujikan dan hasilnya sejauh ini baik. Tetapi ada persyaratan cukup banyak karena donor harus bebas beberapa hal.

Soal vaksin, apakah farmakolog ikut berpartisipasi ?

Sebenarnya UGM sudah menyiapkan vaksin yang dirancang sendiri, Cuma prosesnya lama dan bukan bidang saya. Kalau saya lebih ke uji klinik di hilirnya. Teman-teman di biologi molekuler yang mendesain. Ini karena vaksin bentuknya bermacam, detailnya saya tidak menguasai. Memang (pengembangannya) butuh fasilitas karena virus sangat menular.