Terkait sanksi administratif, apakah ada perubahan dalam UU Cipta Kerja ?
Persoalan sanksi administratif, ketentuan di dalam pasal 79 UU PPLH mengenai sanksi pembekuan dan pencabutan izin lingkungan, jika penanggung jawab usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah, dihapuskan dalam UU Cipta Kerja. Sebetulnya pasal 79 UU PPLH ini lebih memberi kepastian agar instansi yang menerbitkan perizinan berusaha tidak semena-mena mencabut izin atau membekukan usaha.
Apa potensi dampaknya ?
Kenyataannya sanksi dan uang paksaan pemerintah paling efektif. Pemerintah pernah menggunakan paksaan dalam dua kasus industri jamu di Jawa Tengah. Jadi kalau tidak menjalankan sanksi ada uang paksa setiap hari keterlambatan. Kalau uang paksa mengakhiri pelanggarannya, kalau denda administratif itu hukuman.
Selain hal negatif, apa ada hal positif terkait pembahasan lingkungan dalam UU cipta Kerja ?
Ada 3 hal positif dalam UU Cipta Kerja, dalam konteks lingkungan. Pertama larangan kegiatan pembukaan lahan dengan cara membakar. Jadi larangan kegiatan pembukaan lahan dengan cara membakar yang sebelumnya dalam pasal 69 UU PPLH diubah menjadi dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal dalam UU Cipta Kerja. Jadi lebih firm. Kedua, soal pengawasan lapis kedua dalam Pasal 73 UU Cipta Kerja. Syarat kegiatan harus berdasarkan norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Ini penting sebagai pedoman agar tindakan pengawasan dilakukan secara terukur. Ketiga, ketentuan sanksi dalam UU Cipta Kerja diberikan kepada Menteri LHK bukan kepada pemerintah daerah.
Secara umum, dari sisi lingkungan, UU Cipta Kerja bab Lingkungan lebih banyak positif atau negatifnya ?
Kesimpulannya, penghapusan pasal-pasal dalam UU 32 2009 menurunkan kualitas dan peran serta masyarakat. Ini concern utama dari kami. Padahal, peran serta masyarakat secara luas diperlukan sebagai upaya mengawasi public decision making. Kedua, penghapusan kewenangan izin lingkungan mengurangi power Kementerian LHK dalam mengimbangi peran kementerian sektoral yang cenderung menganut paham pertumbuhan ekonomi semata. Ketiga, pengawasan kepatuhan, integrasi pengawasan pejabat yang berwenang, serta keterikatan antara pejabat pengawasan kepatuhan lingkungan dan perizinan berusaha belum terlihat dalam UU Cipta Kerja. Keempat, perubahan sanksi administratif pada sanksi pidana akan berdampak kepada pelaku usaha, termasuk yang tidak patuh ketentuan lingkungan.
Tapi UU sudah disahkan, seperti apa aturan turunan yang diperlukan untuk menutup lubang-lubang ini ?
Yang paling penting, kegiatan pengawasan kepatuhan di bidang pengelolaan lingkungan hidup harus ditindaklanjuti oleh instansi yang menerbitkan perizinan berusaha. Dalam PP hal tersebut harus dipastikan karena kalau tidak, saya yakin akan ada keengganan untuk memberikan sanksi tegas seperti pembekuan dan pencabutan izin.
Dengan sejumlah perubahan dalam UU Cipta Kerja, apakah masalah lingkungan berpotensi semakin banyak ?
UU 32 Tahun 2009 menurut saya sangat baik dan progresif dibanding UU lain. Saya membaca berbagai peraturan perundang-undangan, bisa dihitung jari peraturan milik kita yang progresif. Tapi ini UU-nya sekarang menjadi kurang progresif. Ini yang saya khawatirkan. Jangan sampai kembali pada paradigma pertumbuhan ekonomi karena semua bisa berjalan beriringan. Apa ada negara maju yang tidak memperhatikan lingkungan? Enggak ada. Negara dengan ranking 1 sampai 10 ease of doing business itu semua menjaga lingkungannya dengan baik.
Bisa dibilang debirokratisasi dalam UU Cipta Kerja ini salah sasaran ?
Saya kira tidak semua orang memahami esensi dan value of public participation. Bahkan di kalangan pemerintahan, partisipasi publik hany sekadar dianggap menjinakkan masyarakat. Tetapi semakin negara matang dalam demokrasi, maka masyarakat harus diberdayakan bukan diperdayakan. UU 32 itu memperkenalkan peran serta yang luar biasa. Kami ingin kalau diubah justru lebih banyak yang positif, tapi ini malah lebih banyak yang prinsipil terutama peran serta masyarakat.
Selain masalah lingkungan, apa potensi masalah UU Cipta Kerja dalam sektor perikanan ?
Stephanie Juwana: Ada 6 hal utama yang disampaikan, kaitannya dengan eksploitasi asing untuk sumber daya kelautan dan perikanan. Contoh, akses untuk menangkap ikan untuk kapal asing yang sebelumnya ada di UU Perikanan itu masih dipertahankan. Padahal UU perikanan sendiri bisa dibilang kurang sempurna terkait kapal ikan asing. Kemudian dihapuskannya kewajiban untuk mempekerjakan 70% ABK Indonesia di atas kapal asing yang beroperasi di ZEE Indonesia. Padahal kita tahu banyak ABK jadi korban human trafficking, human abuses, sampai meninggal.
Kemudian sanksi di UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil untuk pemanfaatan pulau kecil tanpa izin untuk penanaman modal asing hanya administratif. Ini tidak sebanding dengan perbuatannya karena selain tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, dapat mengancam kedaulatan NKRI.
Ada juga ketentuan baru UU Cipta Kerja bahwa pemanfaatan wilayah oleh instansi pemerintah, yang dibutuhkan hanya konfirmasi kesesuaian dengan tata ruang. Artinya tidak ada ketentuan yang menetapkan kewajiban perizinan berusaha padahal ada fungsinya untuk memastikan rule of control untuk memastikan daya dukung ekosistem.
Ketiga mengenai pelibatan masyarakat. Keempat, dalam UU Cipta Kerja banyak substansi yang tujuannya untuk menyederhanakan, menghapus, dan melebur izin ke dalam perizinan berusaha. Tapi tidak diimbangi ketentuan integrasi nilai perlindungan daya dukung ekosistem. Kelima, sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat sangat kuat dalam UU Cipta Kerja. Ketentuan izin dikeluarkan pemerintah pusat atau pemda sesuai dengan NSPK yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Kalau semua di pemerintah pusat, nelayan yang selama ini mengurus di daerah akan mengalami kesulitan akses.
Keenam, ada beberapa sanksi yang dirumuskan secara tidak sempurna. Contohnya pidana korporasi yang niatnya untuk membuat pertanggungjawaban pidana lebih baik. Akhirnya tertulis kalau ada perbuatan yang dilakukan oleh korporasi, tidak hanya dijatuhkan ke pengurus saja, tapi korporasi itu sendiri. Permasalahannya, kata hubung yang digunakan adalah ‘dan’, harusnya dan ‘atau’. Penuntut umum berpotensi kesulitan membuktikan dua-duanya.
Seperti apa contohnya lubang dalam penyederhanaan aturan perikanan ?
Stephanie Juwana: Dalam perikanan ada Surat Izin Usaha Perikana (SIUP), Surat Izin Penangkapan ikan (SIPI) untuk penangkapan, dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) untuk pengangkutan ikan. SIPI dan SIKPI izin yang menempel pada kapal, sedangkan SIUP menempel ke pemilik usaha. Catatan kami, jika harus di-merger, fungsi SIUP, SIPI, dan SIKPI tetap harus ada karena punya fungsi kontrol. Kalau tidak, Pemerintah akan susah memastikan eksploitasi oleh kapal yang diberikan izin.
Apa dampak UU ini kepada nelayan kecil ?
Stephanie Juwana: UU Cipta Kerja menghapus definisi nelayan kecil yang dibatasi dengan ukuran kapalnya. Ini harus diperhatikan karena pendefinisian sangat penting untuk izin hingga pemberian insentif pemerintah. Yang ditakutkan adalah akan ada penunggang gelap, yang selama ini tidak dikategorikan nelayan kecil, tapi karena definisi tidak jelas diberikan akses untuk mendapat insentif.
Dengan aturan perikanan seperti ini, apa akan kembali ke zaman sebelum Ibu Susi ?
Mas Achmad Santosa: Secara normatif, kemungkinan itu bisa terbuka, akan sulit mengidentifikasi mana yang ilegal dan yang legal. Kalau sekarang mudah, ada kapal masuk, tangkap.
Lalu apa yang perlu dilakukan ?
Menurut saya belajar dari pengalaman, UU itu perlu membuka peluang, tapi tidak berarti pemerintah harus menerapkan itu. Kalau zaman Bu Susi mengolah ikan boleh, membuka industri pembuatan kapal boleh. Tapi kalau menangkap ikan, biarkanlah nelayan Indonesia. Bijaksana kalau seperti itu.
Setelah semua potensi masalah disampaikan, berarti potensi untuk dibawa judicial review ke Mahkamah Konstitusi besar ?
Pada satu titik kami sebagai IOJI akan menentukan sikap, tapi paling penting sekarang kami melakukan analisis dan terus berkonsultasi dengan para pakar. Tapi sudah saya katakan, saya menyayangkan bahwa siapa pun pemerintahan ini, paling penting adalah memahami sejarah. Aspek lingkungan harus menjadi bagian dari pembangunan ekonomi, itu perjuangannya sejak tahun 1972. Sekarang kita tidak mau kembali lagi pada berbasis economic growth saja karena orang sudah melihat sustainable development.
Selain judicial review, apa lagi jalur hukum yang siap ditempuh ?
Perppu kelihatannya tidak mungkin tapi saya yakin akan ada judicial review karena itu jalur yang sah. Ada juga yang nanti berjuang di perumusan PP. saya kira semua kemungkinan terbuka dalam banyak hal. Yang penting jalur hukum.
Apakah cukup kuat dari aspek materil ?
Komunitas lingkungan melihatnya Pasal 33 ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945 terbuka untuk interpretasi. Tapi kalau 33 ayat 4 itu jelas. Selain itu dalam ecologic sustainable development, ada 5 principals yaitu keadilan antargenerasi, keadilan satu generasi, azas kehati-hatian, pencegahan dini, dan perlindungan keanekaragaman hayati. Kalau dihilangkan dan dikurangi ada ketentuannya dalam konstitusi.
Celah dari aspek formilnya ?
Dalam UU no 12 tahun 2011 juncto UU no 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan cukup lengkap bagaimana good legislation itu diatur. Kalau boleh kami katakan, proses RUU Cipta Kerja di tingkat pemerintahan itu tertutup dan terburu-buru bahkan di masa reses sekalipun. Kedua, menurut beberapa anggota DPR, naskah RUU yang disahkan tidak dibagikan ke seluruh anggota. Kemudian ada pelanggaran terhadap UU 12 2011 yakni RUU tidak disebarluaskan sejak tahap penyusunan.
Dari pandangan anda, kenapa masalah ini bisa terjadi saat penyusunan ?
Secara manajemen pemerintahan, mungkin Indonesia belum siap untuk memproses fat omnibus law dalam waktu yang sangat terburu-buru dan singkat. Oleh sebab itu, ke depan kita harus memiliki satu prosedur yang sangat jelas apabila kemudian hari menggunakan metode ini dalam terobosan pembaruan hukum.
Bagaimana prosedur baru ini bekerja ?
Pengaturan tentang omnibus law bisa dilakukan melalui revisi UU 12 tahun 2011 juncto UU 15 tahun 2019 atau membuat pedoman di DPR. Bahkan, kalau dengan amendemen UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan lebih bagus. Jadi tidak hanya perubahan di eksekutif, tetapi legislatif.
Mengenai pedoman aturan pembuatan omnibus law sudah pernah disampaikan ke pemerintah ?
Yang pernah disampaikan masukan sanksi, masukan kelautan perikanan. Kalau masukan lingkungan kan itu sudah jadi masukan ke Badan Legislasi DPR. Kami dari luar saja memberi masukan, hanya itu yang bisa dilakukan.
Namun sementara, dengan gemuknya omnibus law, apa yang perlu dilakukan pemerintah ?
Harus ada inklusivitas dan meaningful participation. Kita harus masuk pada degree empowering public, hanya sekadar berbaik-baik tapi aspirasi mereka tidak dipertimbangkan. Kementerian perekonomian sudah saatnya mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari economic development. Selain itu saya kira tahun ini sampai awal tahun depan, prosedur penggunaan metodologi omnibus law harus diselesaikan. Dua hal itu dari kami.