Pandemi Covid-19 membuat banyak perubahan dalam berbagai tatanan kehidupan, termasuk dalam kegiatan di forum internasional. Lewat diskusi dan negosiasi virtual, beberapa perjanjian kerja sama internasional berhasil disepakati sepanjang 2020.
Pada pengujung 2020, Indonesia meneken dua perjanjian perdagangan yang penting. Pertama, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan Australia, Brunei, Kamboja, Tiongkok, Jepang, Laos, Malaysia, Myanmar, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Thailand, and Vietnam ditandatangani pada 15 November 2020.
Kedua, Indonesia–Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA) ditandatangani pada 18 Desember 2020. Selain itu, Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang ditandatangani pada 4 Maret 2019 mulai berlaku pada 5 Juli 2020.
Kepada Katadata.co.id, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo, memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam perundingan tersebut hingga realisasi berbagai perjanjian internasional. Dia juga mengungkapkan bagaimana rencana pemerintah menjalin kerja sama dengan negara lain untuk memperluas pasar ekspor tahun ini. Berikut kutipannya:
Dua perjanjian kerja sama internasional, RCEP dan IK-CEPA telah ditandatangani pada penghujung 2020 setelah bertahun-tahun proses negosiasi. Bagaimana dinamika perundingannya di tengah pandemi Covid-19?
Perundingan RCEP selama pandemi cukup menantang, bukan hanya dari segi keterbatasan untuk bertemu secara fisik melakukan perundingan, namun juga dari segi substansi. Banyak perhatian pemerintah terpusat pada penanganan pandemi serta sulitnya melakukan koordinasi internal di masing-masing negara.
Bagaimanapun, tantangan tersebut berhasil dilalui dengan pembahasan yang dilakukan secara intensif melalu berbagai media seperti video conference, email, dan whatsapp.
Yang terpenting adalah komitmen dari seluruh negara peserta untuk menyelesaikan perundingan. Ada kesamaan pandangan bahwa kehadiran RCEP justru semakin penting di tengah ketidakpastian situasi perekonomian, perdagangan dan investasi dunia akibat pandemi Covid-19.
Sedangkan untuk IK-CEPA, pemerintah Indonesia dan Korea mendeklarasikan penyelesaian perundingan ini pada 25 November 2019, di sela-sela ASEAN-Korea Commemorative Summit di Busan. Setelah deklarasi, kedua pihak melanjutkan proses legal scrubbing dan penerjemahan teks perjanjian sejak Januari 2020.
Pertama-tama kita bahas RCEP, bagaimana perjanjian ini menghadirkan peluang ekspor bagi Indonesia?
Bagi Indonesia, negara Peserta RCEP merupakan mitra strategis perdagangan dan berpotensi besar untuk memperluas jangkauan memasuki global value chain. Data ekspor Indonesia ke 14 negara RCEP selama lima tahun terakhir menunjukkan tren positif 7,35%.
Pada 2019, total ekspor non-migas Indonesia ke kawasan RCEP mewakili 56,51% dari total ekspor Indonesia ke dunia, yakni senilai US$ 84,4 miliar. Sedangkan RCEP merupakan sumber dari 65,79% total impor Indonesia dari dunia, yakni senilai US$ 102 miliar.
Berdasarkan kajian oleh suatu lembaga riset nasional, dalam kurun waktu lima tahun setelah ratifikasi, ekspor Indonesia diperkirakan dapat meningkat sebesar 8 – 11% dan investasi meningkat sebesar 18 – 22%. Selain itu, terdapat pula potensi peningkatan ekspor Indonesia ke dunia sebesar 7,2% dari spill-over effect yang bisa Indonesia manfaatkan dari FTA yang dimiliki negara peserta RCEP lainnya dengan negara non-RCEP.
Selain peluang, Indonesia berkomitmen menghapus 91% dari total pos tarif dalam RCEP. Berdasarkan kajian Kemendag tahun 2016, RCEP memang berpotensi menambah defisit neraca dagang sampai US$ 491,46 juta. Bagaimana mengantisipasinya?
Selain potensi ekspor, tentu peluang terbukanya impor dari negara peserta RCEP lain ke Indonesia. Untuk itu diperlukan langkah-langkah mitigasi untuk meminimalkan dampak negatif seraya memaksimalkan menfaatnya.
Kata kuncinya terletak pada peningkatan daya saing. Apabila produk-produk Indonesia berdaya saing tinggi, baik dari segi kualitas maupun harga, maka masuknya impor dari negara anggota RCEP lainnya bukan ancaman. Selain itu, impor juga perlu dipandang secara lebih proporsional, khususnya apabila menyangkut bahan baku yang akan diolah menjadi produk ekspor Indonesia.
Bagaimana upaya peningkatan daya saing produk Indonesia yang dilakukan sejauh ini?
Upaya-upaya itu dilakukan melalui sinergi dengan pemerintah daerah, dunia usaha, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya. Di antaranya adalah dengan mendorong penguatan sektor jasa yang dapat turut mendorong pengembangan sektor manufaktur.
Selain itu, pemerintah juga mendorong transformasi struktur ekspor dari berbasis komoditas ke produk jadi dan jasa yang bernilai tambah. Kami juga memanfaatkan dengan maksimal peran perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri dalam mempromosikan produk-produk Indonesia.
Yang tak kalah penting, pemerintah berupaya mengembangkan potensi UMKM melalui berbagai pelatihan ekspor dan pembiayaan. Intinya adalah bagaimana kita meningkatkan kualitas produk dalam negeri agar mampu bersaing baik di pasar sendiri maupun di pasar global.
Sekarang terkait IK-CEPA ditandatangani pada 18 Desember 2020. Pada perdagangan barang, Korea Selatan akan mengeliminasi hingga 95,54% pos tarifnya, sementara Indonesia mengeliminasi 92,06% pos tarifnya. Apakah perbedaan jumlah postarif ini cukup adil?
Seluruh perjanjian perdagangan bilateral pada hakikatnya diharapkan akan saling menguntungkan kedua pihak. Terkait eliminasi tarif dalam IK-CEPA, kedua pihak memandang komitmen yang disepakati cukup adil dan telah mempertimbangkan tingkat ekonomi serta kepentingan masing-masing negara.
Sebagai catatan, eliminasi yang diberikan Korea mencakup 97,33% dari total impor Korea dari Indonesia. Di sisi lain, eliminasi pos tarif Indonesia mencakup 94% dari total impor Indonesia dari Korea.
Mungkin bisa dicontohkan barang apa saja yang masih dikenai tarif impor dari kedua negara?
Dalam setiap perundingan, kedua pihak yang terlibat mempunyai hak untuk tidak memberikan preferensi tarif bagi produk yang dipandang sensitif. Salah satu produk yang hampir selalu masuk dalam sensitive list Indonesia dalam setiap perundingan perjanjian dagang adalah minuman beralkohol, itu akan tetap dikenai tarif impor.
Contoh lain produk yang masih dikenakan tarif impor oleh Indonesia dalam IK-CEPA adalah produk canai dari besi atau baja, ikan tilapias, dan kain tenun dari kapas. Sementara Korea Selatan masih mengenakan tarif impor untuk karkas; ikan mas, lele, makarel; asparagus, bawang putih, ginseng dan kayu lapis.
Bagaimana dengan sektor jasa? Korea Selatan sangat dikenal melalui K-Pop dan drama Korea, adakah perjanjian ini dapat berdampak positif dalam industri kreatif Indonesia, atau justru kontraproduktif?
Tidak dipungkiri bahwa Korean Wave/Hallyu yang terdiri dari K-Pop, Drakor, film maupun variety show tengah menjadi fenomena global. Hal ini bisa dilihat dari beberapa prestasi perwakilan Hallyu di tingkat internasional.
Simak Databoks berikut:
Data the Korean Foundation menunjukkan bahwa pada Desember 2019, terdapat 1.799 klub penggemar Hallyu dengan 99,32 juta penggemar (72 juta di Asia dan Oceania, 15 juta di Eropa dan 12 juta di Amerika).
Dalam IK-CEPA, untuk sektor jasa, Korea berkomitmen membuka 114 sektor termasuk di dalamnya jasa rekreasi, budaya dan olahraga. Selain itu, salah satu cakupan kerja sama ekonomi dalam IK-CEPA adalah budaya dan area kreatif lainnya.
Dengan adanya kerjasama budaya dan area kreatif dalam IK-CEPA, diharapkan Indonesia dapat mencontoh langkah yang dilakukan Korea untuk mengembangkan industri kreatifnya baik dari segi kreativitas, kedisiplinan, maupun cara pemasaran.
Sementara itu, kerja sama ekonomi Indonesia-Australia (IA-CEPA) mulai berlaku pada 5 Juli 2020. Mungkin sudah ada evaluasinya selama beberapa bulan terakhir?
Perlu diketahui bahwa ketika IA-CEPA dirundingkan, kami mengupayakan agar perjanjian ini memiliki manfaat jangka panjang seperti pengembangan sumber daya manusia, transformasi ekonomi ke sektor tersier (jasa), dan peningkatan investasi. Namun, bukan berarti IA-CEPA tidak memiliki manfaat jangka pendek.
Tarif 0% untuk seluruh produk ekspor Indonesia ke Australia dan penambahan kuota visa working holiday visa seharusnya bisa langsung dirasakan manfaatnya. Tetapi sebagaimana kita ketahui pandemi Covid-19 telah menghambat pergerakan orang dan menekan laju perdagangan global, termasuk antara Indonesia dan Australia.
Di tengah tantangan tersebut dan semenjak IA-CEPA berlaku 5 Juli 2020, ekspor Indonesia ke Australia pada periode Januari-Oktober 2020 meningkat dua persen jika dibandingkan tahun lalu, dan defisit perdagangan Indonesia dengan Australia berkurang 30%. Selain itu, salah satu Universitas terkemuka dari Australia juga telah berinvestasi dan akan membuka kampusnya di Indonesia.
Memang contoh-contoh pencapaian tersebut tidak bisa diatributkan sepenuhnya pada IA-CEPA, namun perjanjian ini turut berperan memfasilitasi perdagangan barang dan jasa serta investasi selama beberapa bulan terakhir.
Bagaimana dengan perundingan kerja sama ekonomi Indonesia-Uni Eropa atau IEU-CEPA yang masih berjalan?
Proses perundingan IEU-CEPA sudah sembilan putaran. Putaran terakhir pada 2-6 Desember 2020 di Brussels, Belgia. Terdapat perkembangan yang baik di berbagai isu dan sudah disepakati 44% draft teks. Putaran ke-10 IEU-CEPA diharapkan dapat dilaksanakan pada kuartal pertama 2021 dan keseluruhan dapat selesai pada tahun ini juga.
Vietnam kan sudah memiliki perjanjian dagang dengan Uni Eropa. Bagi Indonesia, apa output yang diharapkan?
IEU-CEPA diharapkan dapat meningkatkan daya saing barang dan jasa Indonesia, meningkatkan investasi dan industri dalam negeri, menghindari ketertinggalan dari negara pesaing, dan pengakuan produk Indonesia yang berkelanjutan.
Pada 2021, ada beberapa hal yang mungkin akan berdampak pada peta ekonomi global. Selain pemulihan ekonomi pascapandemi, terpilihnya Joe Biden mungkin akan mengembalikan internasionalisme Amerika Serikat. Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Dampak langsung perubahan Administrasi Trump ke Administrasi Biden terhadap hubungan ekonomi/perdagangan bilateral Indonesia – AS belum dapat diukur saat ini. Namun arah/rencana kebijakan dapat diperkirakan berdasarkan berbagai pernyataan presiden terpilih Joe Biden dalam masa kampanye dan setelah pemilu.
Pertama, perlindungan terhadap industri dalam negeri akan tetap menjadi prioritas utama kebijakan ekonomi AS. Administrasi Biden mengusung motto “Made in All of America” yang secara prinsip tidak terlalu jauh berbeda dengan “America first”.
Implikasinya, hal ini dapat menyebabkan kontraksi terhadap ekspor ke AS. Namun demikian, kami meyakini hal tersebut tidak akan berdampak signifikan pada ekspor Indonesia karena perdagangan RI-AS bersifat saling melengkapi.
Kedua, Biden akan menggunakan pendekatan multilateral untuk mengatasi isu-isu perdagangan, terutama dengan Tiongkok. AS akan kembali proaktif dalam berbagai forum/dialog regional maupun multilateral.
Ketiga, Administrasi Biden akan memastikan bahwa norma-norma HAM, standar perlindungan tenaga kerja dan lingkungan yang berkelanjutan hingga Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) akan menjadi elemen penting dalam perdagangan internasional. Dalam kaitan ini, Indonesia perlu memastikan bahwa rantai produksi dalam negeri memenuhi kaidah terkait, agar produk Indonesia tetap kompetitif.