Sejak pertama kali diluncurkan pada Februari 2022, ribuan pekerja telah memanfaatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. BPJS Ketenagakerjaan mencatat, sebanyak 2.260 orang telah mengklaim JKP dengan total mencapai Rp 6,9 miliar. 

“JKP itu amanat Undang-Undang Cipta Kerja. Tujuannya untuk memastikan pekerja yang di PHK bisa hidup layak sampai dapat pekerjaan lagi,” kata Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo, saat berbincang dengan Katadata, dua pekan lalu.

Dalam sesi wawancara di Gedung Plaza BP Jamsostek itu, Anggoro banyak bercerita mengenai tantangan dan pencapaian BPJS Ketenagakerjaan dalam beberapa waktu terakhir. Salah satu yang ia banggakan misalnya, tingkat kesuksesan (success rate) proses klaim yang melonjak dari 55% menjadi 95% hanya dalam waktu beberapa bulan.

Menurut Anggoro, hal tersebut bisa dilakukan berkat upaya digitalisasi lewat aplikasi Jamsostek Mobile. Strategi ini berdampak besar terhadap operasional. Proses klaim dipangkas dari lima hari menjadi 15 menit saja. Bahkan khusus untuk pencairan di bawah 10 juta, peserta tidak perlu lagi datang ke kantor cabang.

“Proses klaim sekarang bisa lewat aplikasi,” kata Anggoro. 

Anggoro juga bercerita mengenai rencana dan target BPJS Ketenagakerjaan di masa mendatang. BP Jamsostek misalnya, berencana melebarkan target kepesertaan kepada para pekerja di sektor informal. Para petani, nelayan hingga guru keagaamaan akan menjadi targer selanjutnya.

Bagaimana BP Jamsostek akan melakukannya? Apa saja tantangannya? Simak wawancaranya berikut ini:

Bagaimana Kinerja BPJS Ketenagakerjaan di 2021?

Jadi kalau bicara mengenai kinerja 2021, kita tahu di 2021 itu ekonomi masih belum stabil ya. Tapi tahun lalu kinerja kami itu masih bisa tetap tumbuh. Peserta baru tahun lalu itu 19,7 juta orang.  Itu sekitar 106% lah dari target. Yang kedua, kita juga memberikan kecepatan waktu klaim yang lebih baik. Jadi kalau sebelumnya waktu klaim itu 5-10 hari, kita bisa lakukan sekarang cukup 15 menit dengan proses digitalisasi. 

Kita juga memangkas beberapa proses sehingga success rate naik dari 55% menjadi 95%. Artinya dari 100 orang yang datang, itu 95% bisa dapat klaim. Itu tiga hal yang kita lihat bisa kita lakukan di tahun lalu. Tahun lalu jaminan sosial kita juga bisa tumbuh 26% dari posisi tahun lalu Rp 551 triliun.

Artinya secara garis besar, ada sinyal-sinyal positif di situ ya, Pak.

Tahun ini kita lihat memang ekonomi mulai membaik, tapi belum sebaik yang diharapkan. Kalau tahun lalu tumbuh sekitar 26%, tahun ini kita akan tumbuh 10%. Jadi dari Rp 551,78 triliun ke Rp 599 triliun, hampir Rp 600 triliun tahun ini. Itu tentu saja juga kita melihat prospek untuk kepesertaan. Tahun ini kita targetkan 37,93 juta total pengguna aktif dengan iuran Rp 83,08 triliun dalam setahun. 

Apa strategi untuk meningkatkan jumlah kepesertaan?

Kalau kita bicara kepesertaan, itu kita punya tiga strategi besar. Yang pertama ekstensifikasi, intensifikasi, dan retensi. Ekstensifikasi ini kata kuncinya bagaimana kita memperluas coverage pekerja baru. Kita lihat perbankan itu punya agen-agen bank, jadi kerjasama dengan agen-agen bank untuk pertumbuhan anorganik itu salah satu strategi kita. Bagaimana kita dapat peserta baru tapi dengan kerjasama, kolaborasi. 

Yang kedua, ekstensifikasi ini kita juga ada Instruksi Presiden (Inpres) nomor 2 tahun 2021 yaitu tentang Jamsostek. Itu kita dorong juga kementerian dan lembaga untuk bisa menambah kepesertaan di titik-titik yang memang kita bisa kejar. 

Yang kedua intensifikasi. Jadi bagaimana caranya kita menggali lebih jauh peserta kita, pekerja dan pemberi kerja. Yang pertama memang kita adalah di existing , para pemberi kerja, di perusahaan-perusahaan itu. Kita melihat supply chain-nya mereka, rantai pasok mereka apakah sudah terlindungi para pekerjanya atau belum. Juga kita melihat yang kedua adalah bagaimana memperkuat pengawasan dan pemeriksaan kita. Perusahaan-perusahaan yang masih belum patuh, itu kita ingatkan. Misalnya jumlah peserta pekerjanya yang belum terdaftar, atau iurannya yang enggak sesuai, atau programnya yang enggak sesuai. Jadi itu yang kita intensifikasi

Nah yang retensi ini memang kata kuncinya bagaimana kita meningkatkan manfaat tambahan. Fitur-fiturnya kita perbaiki supaya peserta merasa ada manfaat menjadi peserta BP Jamsostek, tidak hanya saat mengambil klaim. Itu situasi saat ini.

Anda juga sempat singgung soal klaim, success rate dari 55% naik dalam beberapa bulan jadi 95%. Artinya jumlah klaim juga naik ya, Pak, tahun lalu?

Iya, tahun lalu itu jumlah klaim meningkat 17%. Kalau kita lihat memang dampak Covid-19 itu terjadi banyak klaim, tapi itu masih bisa kita cover pertumbuhan dana jaminan sosial yang naik 26%. Lalu dari sisi hasil investasi naik 10%. Jadi itu hal-hal yang kita lihat dari sisi ketahanan dana hal-hal yang sangat baik.

Tahun ini klaim diperkirakan akan naik, Pak?

Ya, kalau kita lihat data sampai pertengahan Juni yang lalu, itu jumlah klaim kita 1,5 juta klaim. Itu naik 48,74% dibanding periode yang sama tahun lalu. Lalu kalau kita bicara rupiahnyas sekitar Rp 21,61 triliun, naik sekitar 33,04%. Jadi memang dari pattern lima bulan pertama tahun ini kelihatannya masih ada peningkatan. 

Ini bisa jadi juga kalau kita lihat kan dampak ekonomi global; inflasi mulai tinggi, lalu harga komoditas juga naik karena ada perang Rusia-Ukraina, startup juga banyak yang bertumbangan. Itu secara tidak langsung akan berdampak pada pekerja. Pekerjanya di-PHK maka terjadi klaim. Nah itu yang saya rasa kalau kita lihat kondisi tahun ini.

BPJS (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/wsj.)
 

Tahun lalu dana investasi juga naik, bagaimana tahun ini?

Ya, tahun ini kita menargetkan dari Rp 551 triliun jadi Rp 599 triliun, sampai Rp 600 triliun. Saat ini komposisinya 67,5% dana investasi kita itu ada di surat utang, dan 92%nya dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN). Lalu 16% itu ada di deposito, 10% ada di saham, 6% ada di reksadana, yang terakhir itu 0,5% di investasi langsung. 

Nah ini yang menurut kita, kita akan lihat situasinya. Komposisi ini kan tergantung situasi ya, jadi kita akan lihat dan salah satunya yang kita punya ruang untuk ditingkatkan adalah investasi langsung. Saat ini baru 0,5%, kita bisa ditingkatkan jadi 5%. Strateginya gimana? Tahun lalu kita kerjasama dengan Indonesia Investment Authority (INA) di Sovereign Wealth Fund (SWF) untuk kita bisa co-invest di project-project yang memang baik. Juga dengan Pertamina kita lihat ada beberapa kilang yang mungkin kita bisa biayai. Tapi itu masih dalam proses karena kita harus sangat hati-hati untuk menyeleksi pilihan-pilihan investasinya.

Investasi langsung itu banyak di properti dan infrastruktur ya, Pak? 

Investasi langsung salah satunya sebenarnya gedung ini [Plaza Jamsostek]. Tapi pilihan investasi bisa beragam, asal memang itu ada kaitan dengan pekerja. Pembukaan lapangan kerja baru yang ujung-ujungnya selain nanti manfaatnya pada pekerja. Jadi poinnya adalah satu, kita harus melihat visibilitas apakah punya dampak ke pekerja.

Kalau di tahun ini, apakah akan ada banyak perubahan soal komposisi investasi?

Prinsipnya begini, kita punya strategi investasi itu pertama liability-driven, driven by liability, kedua dynamic asset allocation. Perubahan itu tentu saja kita akan melihat bagaimana situasi makro ekonomi, global maupun domestik. Kita juga melihat pasar seperti apa, misalnya kita akan melihat nantinya saham-saham ini seperti apa. Tujuannya tentu agar kita mendapatkan gain dan untuk  averaging down dari sisi costnya, itu satu.

Kedua, kita bicara SUN. Kita lihat SUN adalah pilihan yang cukup baik pada situasi saat ini. Begitu juga deposito, itu pilihan-pilihan yang kita lihat sesuai dengan liability yang kita punya. Intinya kita hati-hati agar kalau peserta membutuhkan, itu bisa kita bayarkan. Sehingga tidak ada situasi yang mismatched.

BP Jamsostek merilis program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang sempat ramai dipebincangkan. Apa latar belakang peluncuran program tersebut?

JKP itu sebenarnya memang amanat UU Cipta Kerja. Tujuannya itu adalah memastikan pekerja mendapatkan hidup layak pada saat resiko PHK dan tentu saja juga menjadi bantalan sampai dapat pekerjaan lagi. Jadi tujuannya semata-mata itu, dan nanti pertanyaan berikutnya siapa sih yang layak, yang bisa terima?

Yang bisa pasti pekerja yang usianya belum 54 tahun ya. Kedua pasti WNI, yang ketiga dia juga kalau pegawai di perusahaan menengah, harus terdaftar di empat program: Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP). Tapi kalau dia perusahaan kecil dan mikro, itu tiga program JKK, JKM, JHT, plus satu lagi dia juga terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Nah, itu persyaratannya yang bisa dapat.

Artinya semua pekerja yang terima upah bisa terima seharusnya ya?

Iya, tentu saja ini juga butuh kedisiplinan dari pihak pemberi kerja. Mereka harus mendaftarkan pekerjanya di tiga atau empat program BPJS, berdasarkan size perusahaannya.

Itu mekanismenya ada rekomposisi dari pemerintah dan itu berlakunya seperti apa sih, Pak?

Jadi program JKP ini, bagi pemberi kerja dan pekerja, enggak ada tambah iuran lagi. Asal pekerja ikut empat program bagi perusahaan besar dan tiga program bagi perusahaan mikro, maka mereka otomatis mendapat manfaat JKP kalau terjadi PHK. Nah kalau kita lihat, dari mana uangnya? Pertama dari subsidi pemerintah, itu sebesar Rp 6 triliun sudah diberikan akhir tahun lalu, Desember sudah masuk. Lalu yang kedua rekomposisi, JKK itu 0,14%, JKM 0,10%, dan 0,22% dari pemerintah, jadi totalnya 0,36%. Nah itu tadi yang kita kelola saat ini agar bisa memberikan manfaat JKP bagi peserta. 

Jadi intinya enggak ada iuran tambahan bagi peserta dan pemberi kerja, tapi yang dibutuhkan adalah kedisiplinan untuk membayar iuran. Karena syaratnya adalah peserta itu dalam 24 bulan terakhir, 12 bulan dia membayar dan dalam 6 bulan terakhir dia harus berturut-turut. Nah jadi ini memang butuh kedisiplinan agar baik pemberi kerja maupun peserta bisa saling mengingatkan. 

Sejak diluncurkan sampai saat ini bagaimana respon JKP dari pemberi kerja dan pekerja?

Prinsipnya karena kita melaksanakan regulasi yang ada, kalau kita lihat responnya sampai Juni kemarin udah 2.260 peserta yang mendapatkan dan itu rupiahnya Rp 6,9 miliar. Di situ ada tahap pertama, bulan pertama, bulan kedua, bulan ketiga

Jadi kalau kita lihat breakdown-nya memang rata-rata per bulan, bulan pertama Rp 150 juta, bulan kedua naik ke Rp 600 juta, bulan ketiga naik lagi ke Rp 1,76 miliar, bulan keempat Rp 2 miliar, yang terakhir Rp 2,28 miliar. Jadi memang setiap bulan kenaikannya akumulasi, jadi kalau kita lihat semakin banyak yang terdaftar JKP, kita juga berharap ini jadi edukasi secara langsung pada pekerja karena lihat temannya terdaftar JKP.

Jadi misalnya salah seorang pekerja di-PHK, peserta yang masuk dalam JKP itu apa sebenarnya manfaat yang dia dapatkan?

Jadi sebenarnya JKP itu manfaatnya ada tiga. Pertama uang tunai ini dia dapatkan selama 6 bulan. Jadi 45% dari upah untuk 3 bulan pertama, lalu 25% dari upah untuk tiga bulan kedua. itu manfaat tunai. Yang kedua itu manfaat akses pasar kerja, yang ketiga itu manfaat vokasi atau pelatihan. 

Nah, manfaat yang pertama itu di-provide atau disiapkan BP Jamsostek. Manfaat kedua tadi, vokasi dan akses pasar kerja itu oleh Kementerian Tenaga Kerja. Nah itu tiga manfaat yang bisa mereka dapat.

Harapannya, selama enam bulan itu sambil dia menerima manfaat, dia juga sudah mulai bisa mencari kerja. Dapat pelatihan, bisa cari kerja, ya harapannya sebelum enam bulan bahkan sudah dapat kerja. Jadi itu manfaat yang diperoleh mereka dari JKP.

BPJS Ketenagakerjaan baru meluncurkan Jamsostek Mobile belum lama ini. Sebetulnya kenapa akhirnya meluncurkan itu dan apa manfaatnya?

Kita pada saat melihat program JKK, JKM, JHT, JP, itu selalu saja orang selalu punya mindset, “Kalau mau klaim gampang atau nggak ya?” itu pertanyaan yang sering muncul. Kalau saya punya jaminan sosial nanti jangan-jangan klaimnya susah

Nah, kita lihat saat di awal memang klaim itu butuh waktu 5-10 hari.Kalau kita lihat cabang-cabang itu antreannya panjang, sampai keluar keluar gedung. Ditambah lagi tahun lalu ada protokol kesehatan, sehingga kapasitasnya cuma separuh. Di situlah kita melihat bahwa digitalisasi itu perlu. Digitalisasi layanan itu menjadi sebuah prioritas buat kita agar peserta merasa klaim itu mudah. 

Bahkan di era sekarang bisa anytime anywhere, jadi bisa ke mana pun enggak harus ke kantor kita. Sehingga itu yang mendasari pemikiran kita untuk melakukan digitalisasi. Dampaknya [waktu klaim] kita potong dari lima hari menjadi 15 menit. Kemudian simplifikasi dokumen, jadi kalaupun perlu dokumen, dokumennya lebih sedikit. Sehingga karena lebih sedikit dokumennya, success rate-nya jadi naik dari 55% ke 95%. 

Jadi itu dua hal krusial yang kita lakukan dan ke depan masih akan kita lakukan, karena pasti ada ada digitalisasi. Satu misalnya di Jamsostek Mobile itu fiturnya masih banyak pengkinian data dan juga klaim JHT. Ke depan, kita akan tambahkan fitur yang lain yang tujuannya meningkatkan engagement antara peserta dengan BP Jamsostek, sehingga mereka dapat manfaatnya, walaupun enggak ke cabang.

Mengurangi waktu klaim dari 10 hari menjadi 15 menit tentu di belakang layarnya ada pekerjaan besar yang dilakukan?

Yang pasti kita lihat di proses klaim itu selama ini painpoint-nya apa? Salah satunya adalah dokumen yang harus dilampirkan terlalu banyak, sehingga maksudnya mau digitalisasi karena kita mau sederhanakan dokumennya. Lalu sekarang yang namanya verifikasi juga termasuk bagian yang penting, makanya kita menggunakan biometrik. 

Jadi kita menggunakan HP, waktu kita mau klaim, kita masuk ke aplikasi Jamsostek Mobile di sana ada klaim. Nanti ada face recognition, dia lihat apakah wajah sesuai dengan KTP yang dia miliki atau enggak. Dua yang dia lakukan di situ, ada face recognition dan liveness detection, apakah wajahnya cocok dengan identitasnya dan apakah orang ini hidup bukan foto.Jadi memperkecil fraud

Nah hal itu yang kita lakukan, satu enhancement di sisi prosesnya. Simplifikasi dokumen, yang kedua enhancement dari sisi teknologinya. Jadi paling tidak ya mirip dengan perbankan, lah. Orang perbankan juga udah mulai kan daftar, KYC dari biometrik, ini kita gunakan teknologi yang ada sehingga peserta enggak perlu ke cabang kita.

Apakah semua klaim bisa dilakukan lewat aplikasi?

Sekarang kita mulai dengan Rp 10 juta ke bawah dulu. Kita lihat dari total klaim yang ada, tahun lalu itu yang masuk kan 2,5 juta klaim per tahun. Jadi 2,3 juta di antaranya itu adalah JHT dan 66% klaim ada di bawah Rp 10 juta. 

Satu itu. Kedua, dari sisi mitigasi resiko Rp 10 juta itu lebih manageable buat kita kalau terjadi problem. Jadi satu pendekatan data, populasinya terbanyak dan kedua risikonya. Sama-sama belajar ya, kita belajar juga untuk digitalisasi. Kita tidak ingin gegabah, kita ingin beri manfaat, tapi kita juga bisa mitigasi resikonya. 

Berjalannya waktu ini, semakin ke sini semakin smooth prosesnya, nanti kita lihat, kita review apakah kita akan extend ke angka yang lebih besar atau tetap di situ?

Ada kemungkinan kenaikan plafon juga berarti, Pak?

Ada kemungkinan. Tapi dengan kondisi sekarang pun traffic ke cabang udah tinggal sepertiga. Jadi kalau ke cabang itu di kondisi-kondisi sebelum ada Jamsostek Mobile, orang ke cabang itu misalnya 50 orang sekarang tinggal 15. Jadi komposisinya begini, di awal 2020 itu komposisi orang datang ke cabang itu 75. Nah, 25-nya itu dulu melalui Lapak Asik, itu web-based. Sekarang ini udah kebalik 75 digital, 25 ke cabang. 

Nelayan menjadi salah satu sektor pekerjaan yang akan disasar BPJS Ketenagakerjaan (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/YU)
 

Ada rencana BP Jamsostek ingin menyasar pekerja non upah, bagaimana perkembangannya?

Jadi sebenarnya kalau kita bicara segmen, ada empat segmen yang kita layani. Pertama segmen pekerja penerima upah (PU), dua segmen jasa konstruksi yang sifatnya kontrak, ketiga pekerja migran, keempat pekerja bukan penerima upah yang tadi saya bilang sektor informal. Kalau dilihat memang persentase yang besar ruang tumbuhnya itu sektor informal, karena kalau kita lihat, kita ketemu di luar, pekerja informal itu belum tahu kalau BP Jamsostek itu boleh buat mereka. Mereka pikir BP Jamsostek itu hanya untuk orang kantoran gitu, padahal enggak. 

Memang posisinya tahun lalu pekerja bukan penerima upah jumlahnya kurang lebih tiga juta peserta. Kita akan targetkan dalam empat tahun ke depan jumlah mereka jadi kurang lebih 12 juta, jadi kita akan naikkan empat kali lipat. Ini tantangan buat kami karena pekerja bukan penerima upah ini cara mendapatkannya berbeda dengan pekerja penerima upah. Kalau penerima upah kan dengan perusahaan-perusahaan sekali ketemu bisa 100 orang, kalau ini berbeda segmen. 

Maka kalau kita lihat tahun ini ada lima segmen fokus kita. Pertama petani dan nelayan. Selain itu juga guru keagamaan, pendidikan, terus juga ada pekerja rentan, dan yang terakhir adalah non ASN. Non ASN ini penerima upah tapi belum tergarap. Jadi poin besar itu petani dan nelayan, fokus utama kita di segmen pekerja bukan penerima upah, informal.

Itu tantangan menarik buat kita karena untuk mengajak mereka, petani dan nelayan itu, tidak mudah. Padahal kayak nelayan kan resikonya tinggi juga ya, apalagi pas melaut, nah itu yang terus kita edukasi. Ya tentu saja akhirnya kita kerjasama dengan asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan yang sebagai pintu masuk kita untuk mengedukasi mereka atau dengan koperasi.

Jumlah peserta dari segmen pekerja bukan upah sebanyak 3 juta, itu porsinya berapa persen dari keseluruhan?

Sekarang ini total peserta kita 50 juta, peserta aktif kita 32 juta. Artinya kalau tiga juta tadi sekitar 10%. Kita akan dorong pekerja informal tadi menjadi 12 juta. Di tahun 2026 dalam roadmap kita itu, kita targetkan akan punya70 juta tenaga kerja aktif, lalu kurang lebih 12 jutaa itu adalah informalnya. Kenapa angka itu cukup banyak naiknya? Karena potensi masih besar, tapi kita sadar tantangannya juga enggak mudah. 

Kayak misalnya gini, pekerja transportasi online, ojol, itu kan belum jadi peserta semuanya. Dan mereka dengan pemberi kerjanya itu statusnya mitra, sehingga enggak bisa dipaksa. Nah ini juga yang menurut kami risikonya tinggi. Kecelakaan yang tertinggi kan di jalan raya dan mereka enggak jadi peserta. Beberapa yang sudah jadi peserta di daerah itu kita edukasi dan beberapa yang sudah pernah dapat manfaatnya, kita viralkan juga kepada teman-temanya. Temannya ini yang udah ikut ada resiko kecelakaan jadi tenang, karena ada jaminan sosialnya.

Reporter: Rezza Aji Pratama