Indonesia menjadi salah satu negara produsen sampah yang jumlahnya sangat besar. Bahkan, data yang dirilis oleh University of Georgia menyebut Indonesia menjadi produsen sampah terbesar nomor dua di dunia sejak 2015. Volume sampah plastik Indonesia mencapai 187,2 juta ton.
Sementara itu, data lain dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan Indonesia menghasilkan 35,83 juta ton timbulan sampah pada 2022, tertinggi selama periode 2019-2022. Dari volume timbulan sampah tersebut, sebanyak 7,2 juta ton belum terkelola dengan baik.
Saat ini sudah ada beberapa startup digital yang bergerak di bidang pengelolaan sampah, salah satunya adalah Rekosistem. Katadata Green mewawancarai Ernest Christian Layman, CEO dan Co-founder Rekosistem untuk membahas lebih lanjut tentang upaya pengelolaan sampah di Indonesia. Berikut ini cuplikannya.
Bagaimana cerita awalnya Rekosistem ini berdiri?
Kami meluncurkan Rekosistem pada 2021 dalam rangka memperingati Hari Peduli Sampah Nasional. Sebelumnya, kami tidak ingin hanya melakukan kampanye saja untuk meningkatkan kesadaran. Kami ingin memberikan solusi konkret, kemudian hadirlah Rekosistem yang solusinya bisa terus berkesinambungan dan berkelanjutan sejauh organisasi ini tumbuh. Tapi, sebenarnya perjalanan Rekosistem itu sudah dimulai oleh saya dan Mas Joshua (Joshua Valentino, COO dan Co-founder Rekosistem) itu sejak awal 2018.
Bermula dari keresahan kami terhadap masalah lingkungan dan perkembangan bisnis yang hanya memikirkan aspek ekonominya saja. Kami percaya dengan model bisnis berkelanjutan di mana bottomline itu tidak hanya aspek profitability tetapi kita percaya dengan model three p's atau triple bottomline yakni planet, people, dan profit.
Oleh karena itu, kami mencari model-model yang sesuai dan ketemu dengan model bisnis pengelolaan sampah yang sesuai dan sejalan dengan visi kami untuk membuat bisnis yang etis, bisnis yang berkelanjutan.
Sejak 2018 kami mendapatkan banyak pelajaran. Saya dan Mas Joshua pernah jadi pemulung sampah, jadi driver untuk truk sampah yang kami kumpulkan. Kantor dan rumah tempat tinggal jadi satu, itu kami sewa bersama-sama untuk melakukan riset-riset, merogoh 100% kocek yang kita miliki untuk mendapatkan riset yang sesuai. Ketika diluncurkan pada 2021, jadilah konsep Rekosistem yang seperti sekarang.
Apa target Rekosistem di bidang ESG dan apakah ada target juga untuk mencapai net zero emission, misalnya?
Target pertama, sampai 2029 kami ingin mendukung perusahaan-perusahaan produsen di Indonesia untuk mencapai Extended Producer Responsibility (EPR). Berdasarkan Permen KLHK Nomor 75 Tahun 2019, setiap produsen itu harus bertanggung jawab terhadap 30% dari sampah produknya, kita ingin bisa mendukung itu. Dengan demikian, di 2030-2040 itu targetnya semakin tinggi, dimulai dari 2029 untuk menurunkan 30% sampah.
Kedua, sama halnya dengan pengelolaan sampah di ekosistem kawasan-kawasan. Berdasarkan Perpres Nomor 97 Tahun 2017 terkait dengan Jakstranas (Kebijakan Strategi Nasional), kami punya target Indonesia itu mengurangi sampah 30% yang masuk ke TPA (tempat pembuangan akhir) dan melakukan penanganan 70% sampah.
Rekosistem juga punya target, jadi kita tidak hanya melihat untuk target net zero emission pada 2060 sebagaimana target pemerintah. Pasti kami ingin mendukung ke arah sana. Kalau dirinci lagi, kami ingin membantu area kawasan mandiri untuk menurunkan sampah pada 2025. Kami juga ingin membantu produsen untuk mengurangi sampah 30% sehingga karbon emisinya lebih rendah. Jadi, target mereka masing-masing bisa tercapai dan target secara kolektif untuk NZE Indonesia bisa tercapai di 2060.
Sekarang sudah punya berapa waste station untuk Rekosistem?
Ini mungkin tercampur bukan hanya Reko Waste Station saja tetapi juga ada drop box dan collection points system, kita hampir 50 titik. Kami beroperasi di Jakarta dan sekitarnya, di Tangerang, di Bandung Barat dan Kota Bandung, kemudian di Surabaya dan sekitarnya.
Belum lama ini Rekosistem meresmikan Reko Hub di Gresik, apa bedanya Reko Hub dengan Waste Station?
Kalau dalam bahasanya itu waste station lebih berinteraksi dengan konsumen, dengan masyarakat, untuk memberikan akses kepada orang-orang untuk memilah sampah, dan mendaur ulang sampah hasil pilahannya. Bentuknya lebih kecil, buat pemrosesannya kapasitasnya lebih terbatas.
Reko Hub itu bisa dibilang apa yang ada di belakang. Setiap sampah-sampah yang dikelola oleh Rekosistem itu akan berakhir di Reko Hub. Tujuannya, Reko Hub ini untuk memastikan semua sampah ini bisa terpilah, dan disalurkan ke industri daur ulang sesuai dengan jenisnya dan permintaannya serta kapasitas yang dibutuhkan.
Makanya di sini aktivitasnya bukan mengedukasi atau campaign ke masyarakat tetapi membuatkan lingkungan kerja yang produktif buat para pekerja di sektor pengelolaan sampah. Memberikan lingkungan kerja yang aman, nyaman, beserta penerapan teknologi karena di Reko Hub kita ada beberapa otomasi dan dilengkapi dengan platform internet of things-nya Rekosistem yang sudah terdigitalisasi di sana, pengupahannya fair (adil) buat para pekerjanya hingga hasil pemulihan sampah yang baik untuk bisa diterima di industri daur ulang.
Apakah Rekosistem bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk bikin Reko Hub atau Waste Station ini?
Pasti kita selalu dalam beroperasi di wilayah kita di manapun pasti kita akan memastikan bahwa itu sejalan dengan target pemerintah kota atau pemerintah provinsi. Salah satu cara untuk memfilternya kita melakukan komunikasi secara reguler dengan dinas lingkungan hidup di pemerintah kota atau pemerintah provinsi setempat.
Pada waktu kita meresmikan Reko Hub di Surabaya, kita juga mengundang Pemerintah Kota Surabaya, Pemkot Gresik, dan Mojokerto. Itu area yang tertarik untuk bisa memiliki Reko Hub lainnya ataupun mengelola sampah secara bertanggung jawab bersama Rekosistem.
Itu lahan untuk Reko Hub disediakan oleh pemda atau bagaimana?
Oke, ada dua jenis. Mayoritas menggunakan lahan swasta, apakah milik Rekosistem atau bekerja sama dengan pemilik lahan. Sekarang kami juga sudah ada kerja sama di mana lahan disediakan oleh pemkot atau pemkab masing-masing. Jadi, tidak 100% dari pemkot dan pemkab, masih sebagian besar swasta.
Perlahan-lahan kami sudah bisa bersinergi dengan pemkot, pemkab, pemprov, dan pemda masing-masing untuk bisa mengelola TPS mereka. Reko-Hub itu kurang lebih seperti TPS. Cuma lebih advance, ada teknologi yang dipakai di situ. Kalau TPS kan biasanya hanya tempat penampungan sampah sementara.
Kalau kita menyebutnya sebagai tempat pemulihan material. Jadi, dari TPS kita ubah menjadi TPM atau material recovery facility (MRF) yang gunanya untuk memisahkan sampah-sampah yang tercampur untuk bisa diterima di industri material.
Setelah beroperasi di Jabodetabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, apakah ada rencana untuk memperluas operasi sampai ke Luar Jawa, karena di Pulau Jawa mungkin sudah banyak startup climate tech yang beroperasi tapi kalau di luar Jawa mungkin masih banyak tantangannya?
Pastinya ada. Tahun lalu kami mulai mengelola sampah untuk proyek yang ada di luar Jawa, program pengelolaan sampah di Bali hingga ke Labuan Bajo tetapi itu belum menjadi day to day operasional kita. Untuk semester kedua tahun ini, kita berharap bisa menjalankan operasional yang day to day di luar Jawa.
Apakah pulaunya sudah bisa kita sampaikan sekarang, mohon maaf belum, masih rahasia. Tapi, memang kita ada rencana untuk beroperasi di luar Pulau Jawa. Bagaimana caranya berkoordinasi untuk yang di luar Jawa, pastinya strateginya sama. Kami akan mengelola sampah di kawasan atau bekerja sama dengan pemkab atau pemkot atau pemda yang ada di luar Jawa.
Dari sampah yang dikelola Rekosistem, apakah sudah ada penampungnya dan model kerja samanya seperti apa?
Dari 100% sampah yang kami kumpulkan itu sudah ada penampungnya saat ini. Jadi, kalau kami mau menciptakan ekosistem di mana semua sampahnya bisa tersalurkan, kami sudah memiliki mitra.
Kerja sama bisnis lebih ke supply dan demand. Ketika Rekosistem bisa menyuplai sampah sesuai dengan kategori yang dibutuhkan kita mendapatkan bayaran. Ketika Rekosistem membutuhkan tempat pengolahan untuk sampah-sampah yang nonekonomis itu, Rekosistem yang membayar. Jadi, tergantung jenis sampahnya, tonasenya berapa banyak dan siapa mitranya. Tidak semua sampah itu jadi cuan, ada yang sudah tidak ada nilai ekonomisnya dan mengolahnya itu butuh biaya, Rekosistem yang bayar.
Siapa yang mensubsidi? Ya, gedung, rumah-rumah ataupun permukiman yang harus membayar retribusi sampah. Dalam prinsipnya, mengelola sampah itu adalah biaya. Tapi, dalam 100% biaya ada beberapa jenis yang memiliki nilai ekonomis, seperti plastik, botol, kardus, kertas, minyak jelantah, kaleng, logam, itu memiliki nilai ekonomis. Jadi, kami mendapatkan cuannya itu dari situ. Masyarakat bisa mendapatkan reward poinnya pun dari situ.
Apakah tetap ada biaya? Ada untuk mengelola sampah residu yang sudah tercampur, atau mengelola sampah organik sekarang butuh effort lebih karena nilai ekonominya masih rendah. Meskipun ada metodologi-metodologi yang bisa kami lakukan. Sampah organik itu sekarang bisa kita ubah menjadi kompos kalau secara mandiri walaupun industri kompos rumah tangga sekarang belum ada.
Itu secara industrial kita belum bisa melakukan tetapi itu menjadi tantangan tersendiri bagi industri pengelolaan sampah di Indonesia. Sama halnya dengan pengelolaan sampah-sampah residu yang tercampur. Sekarang dengan konsep waste to energy, sejauh sampah itu bisa dicacah, tidak mengandung logam dan bisa dikontrol kelembabannya itu bisa dioptimalkan.
Beberapa waktu yang lalu ada beberapa perusahaan yang bikin kerja sama dengan Rekosistem, misalnya, Nestle. Apakah itu khusus untuk produk mereka atau menampung plastik yg lain?
Para produsen itu juga peduli, mereka tidak hanya menampung untuk brand-nya sendiri. Tetapi khusus untuk brand-nya, ada reward khusus tersendiri, misalnya dapat voucher diskon untuk belanja di supermarket yang ada kerja sama dengan kita. Kembali lagi dengan adanya payung environment, social, and governance (ESG) sebagai metriksnya semua jadi tahu untuk memberikan dampak, mengurangi emisi karbon.
Kami bisa memberikan dampak positif dari segi offsetting dari polusi yang dilakukan oleh produk mereka. Mereka bisa mendorong masyarakat untuk mendaur ulang dari barang-barang yang di luar produknya, cuma tadi yang saya bilang bahwa ada reward khusus untuk produk-produk mereka.
Sekarang cara untuk menarik orang untuk memilah sampah itu semakin kreatif, ada bank dan brand yang bikin vending machine yang bisa menukar botol plastik menjadi saldo pulsa dan lainnya. Apakah Rekosistem juga terpikir untuk bikin sistem semacam itu?
Kalau sebenarnya Rekosistem ada Reko Waste Station untuk menerima sampah-sampah anorganik untuk ditukar menjadi reward poin yang bisa ditarik menjadi uang digital lewat aplikasi Rekosistem. Kenapa Reko waste station ini menjadi keunggulan? Kami menerapkan single stream recycling, jadi semua jenis sampah daur ulang tidak perlu dipilah berdasarkan jenisnya bisa diterima oleh Rekosistem.
Sekarang masyarakat Indonesia belum terbiasa memilah sampah tetapi disuruh memilah sampah sampai sepuluh jenis. Botol, kardus dipilah khusus sendiri. Apa nggak nyerah duluan tuh orang, makanya Rekosistem melakukan single step dulu, yakni single stream recycling, dikumpulkan dalam kondisi bisa didaur ulang dalam satu boks atau satu karung kemudian bisa disetorkan ke Reko Waste Station.
Yang kedua, ada mekanisme insentif, insentif itu kalau orang lain harus dibelanjakan lagi. Rekosistem nggak, ini bisa ditarik sebagai uang digital jadi reward-nya nyata, langsung. Itu keunggulan Reko Waste Station.
Yang ketiga, kapasitasnya besar. Seringkali vending machine atau drop box itu kapasitasnya kecil, sudah jalan jauh-jauh capek-capek bawa sampah yang sudah dipilah, tidak bisa diterima. Jadi, ini keunggulan dibandingkan dengan drop box atau vending machine. Yang terakhir, ada operatornya.
Walaupun kita perusahaan teknologi, tetap ada operatornya karena proses edukasi itu harus ada interaksi antara manusia. Itu yang tidak bisa dilakukan oleh vending machine atau drop box. Itu prinsip kesederhanaannya single stream recycling: pemilahannya tidak harus repot, reward poinnya riil bisa jadi uang digital tanpa harus dibelanjakan yang lain, kapasitas yang besar, dan adanya human interaction.
Rekosistem terkait vending machine atau drop box pernah nggak?
Pernah, 2021 kami punya vending machine sendiri kita pasang di daerah Jakarta tetapi tidak produktif, kenapa? Volumenya rendah, karena orang harus memasukkan botol dan pilahnya satu-satu pasti orang repot. Kedua, orang kadang bingung kalau tidak ada human interaction, belum biasa memilah, ini bisa diterima atau tidak. Ketiga, kapasitasnya kecil jadi cepat penuh jatuhnya.
Kadang orang yang bawa sampah kan nggak bisa diukur, sampah kardus gede dan sebagainya. Itu yang nggak bisa diterima di vending machine. Sama halnya drop box jadinya berantakan, setoran ada yang hilang dicuri orang. Jadi, model Reko Waste Sistem ini adalah model yang kita sudah melakukan literasi secara terus-menerus untuk menentukan mana yang paling sesuai.
Rekosistem kalau jemput sampah bisa nggak?
Sekarang kalau jemput sampah itu kendalanya karbon emisinya tinggi. Orang kadang cuma punya satu botol langsung pesan, nggak efektif biayanya juga tinggi, nggak sustain untuk menjalankan dengan sistem jemput sampah. Rekosistem bisa jemput sampah di area kawasan rukun tetangga (RT,) kecamatan, atau perkotaan (pemkot) atau perumahan atau permukimannya baik swasta maupun publik punya kerja sama dengan Rekosistem.
Dengan begitu, kami buat lebih sistematis, pengangkutannya seminggu sekali rata-rata, karbon emisinya jadi rendah. Kami mengedukasi pengangkutan terpilah ini dalam satu sistem pengangkutan yang reguler. Tidak dibuat secara terpisah. Itulah alasan-alasannya kenapa Reko Waste Station adalah solusi yang paling optimal. Baik dari segi menjawab tantangan yang ada di Indonesia maupun dari segi karbon emisi dalam melaksanakan operasi.
Jemput sampah atau Reko Pick Up itu hanya di area-area kawasan-kawasan yang kita sudah bekerja sama. Untuk sampah tercampurnya bisa kita jemput setiap hari atau seminggu tiga kali, tergantung kerja sama dengan pemukimannya dan sampah-sampah anorganiknya kita angkut secara reguler. Sampah terpilahnya kita angkut seminggu sekali tapi baru di area kawasan-kawasan.
Kenapa baru di kawasan-kawasan, tujuannya agar karbon emisinya tidak tinggi dan bisa sustain. Kalau tadi hanya punya satu botol kemudian panggil mobil jemput sampah, emisinya tinggi, upah pekerjanya juga jadi nggak sepadan dengan effort yang dilakukan.
Jenis sampah apa yang paling banyak dikelola oleh Rekosistem, apakah plastik, kertas?
Sampah anorganik pastinya yang paling banyak, cuma untuk yang didaur ulang paling banyak adalah plastik. Kalau sampah organik, sampah tercampur banyak juga tetapi yg paling banyak didaur ulang adalah sampah plastik.
Kerja sama dengan PLN, untuk pengelolaan sampah menjadi energi sampai saat ini yang sudah berjalan seperti apa?
Kerja sama itu adalah fasilitas-fasilitas daur ulang. Rekosistem punya suplai banyak sampah. Sampah ini bisa diubah jadi apa. Ternyata, kalau sampah itu bisa kita ubah menjadi SRF atau solid recovered fuel. Ini seperti refuse derived-fuel (RDF) tetapi daya bakarnya lebih bagus. Setelah jadi SRF, ternyata memiliki nilai kalor yang hampir sama seperti batu bara yang biasa digunakan di pembangkit listrik.
Ini adalah kerja sama yang kita jadikan pilot project untuk memasok sampah ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang dimiliki oleh PLN, untuk mengganti sebagian atau co-firing yang ke depannya bukan tidak mungkin penggunaan batu bara akan berkurang dan digantikan dengan sampah.
SRF atau bahan bakar jumputan padat itu 70% bahannya adalah sampah organik yang dikeringkan tapi dicacah dulu. Sama seperti wood pellet yang memiliki daya bakar, sampah organik kita cacah dulu dan keringkan sehingga dia tidak lembab dan bisa digunakan untuk co-firing. Sampah organik itu ketika dia dekomposisi itu memiliki nilai kalor. Kompos itu kan juga menghasilkan panas. Itu 70% organik dan 30% plastik, tapi nggak boleh logam.
Pemerintah sedang gencar mendorong penggunaan kendaraan listrik, salah satu komponennya adalah baterai dan yg sedang dibangun juga adalah daur ulang baterai. Apakah Rekosistem sudah kepikiran untuk masuk ke situ?
Itu sudah kepikiran juga. Kami sebagai perusahaan pengelola sampah kita harus aware dengan sampah dari hasil konsumsi. Sejauh ada konsumsi pasti ada sampah maka di situlah Rekosistem hadir. Tipe konsumsinya apa, sejauh ada perubahan konsumsi maka sampahnya juga akan berubah sesuai dengan produk apa yang dikonsumsi dan material apa yang digunakan.
Dengan adanya perubahan penggunaan dari mobil biasa ke mobil listrik, jenis produk dan material yang digunakan akan berbeda. Itu pun akan mengubah cara kita mengelola sampah ke depannya. Apakah kita sudah lakukan sekarang, belum.
Kami masih dalam tahap research and development untuk setiap sampah-sampah yang nantinya akan dihasilkan oleh kendaraan listrik akan dikelola. Kami ingin ikut andil juga dalam transformasi kendaraan listrik di Indonesia dan khususnya di downstream (hilirnya).
Kalau sekarang Rekosistem sudah menampung sampah elektronik, apakah itu dipisah komponen baterai dengan yang lainnya?
Kalau sekarang ini, kami hanya dalam tahap mengumpulkan sampah lalu kami salurkan ke mitra pengolahan Rekosistem yang sudah memiliki izin untuk mengolah sampah elektronik. Apakah sudah dilakukan pemisahan baterai dan sebagainya, saat ini Rekosistem belum bisa melakukan itu. Untuk bisa mengolahnya, itu butuh izin khusus untuk pengolahan sampah elektronik.
Kalau kami hanya mengumpulkan dari rumah tangga yang masuk secara tidak langsung ke Reko Waste Station atau Reko Hub untuk kemudian kita salurkan. Kami belum melakukan pengolahan sendiri. Di mitra itu nanti dipilah berdasarkan karakteristiknya masing-masing karena setiap materi memiliki karakteristik dan pengolahan yang berbeda-beda.