Dunia Boleh Berubah, Mitsubishi Power Tetap Berkontribusi di Transisi Energi RI
Upaya transisi energi dari energi fosil menuju energi baru terbarukan menghadapi tantangan dengan perubahan yang terjadi di dunia. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang memiliki peran penting dalam mendorong transisi energi negara-negara berkembang, mengambil kebijakan yang berbeda di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Presiden Donald Trump menyatakan akan menarik mundur AS dari Perjanjian Paris beberapa saat setelah ia dilantik. AS juga menarik diri dari kepemimpinannya di Just Energy Transition Partnership (JETP). Perubahan kebijakan AS ini diperkirakan akan berdampak pada keberlangsungan program transisi energi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Namun, masih ada harapan. Salah satunya melalui kerangka kerja sama Asia Zero Emission Community (AZEC). Jepang menjadi salah satu mitra Indonesia di AZEC yang memperkuat komitmen untuk mendorong transisi energi dan ekonomi hijau.
Katadata.co.id berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Akihiro Ondo, Managing Director and CEO of Mitsubishi Power Asia Pacific Pte. Ltd, salah satu perusahaan Jepang yang terlibat dalam upaya transisi energi di Indonesia. Ini adalah wawancara kedua Katadata.co.id dengan Akihiro Ondo setelah wawancara pertama di sela-sela Enlit Asia 2023 lalu.
Berikut ini petikan wawancaranya.
Terakhir kali, kami mewawancarai Anda di sela-sela Enlit Asia 2023 mengenai apa yang dilakukan Mitsubishi Power untuk membantu transisi energi di Indonesia. Apakah Anda bisa memberikan informasi terbaru mengenai proyek atau program apa saja yang akan dilakukan Mitsubishi Power di Indonesia tahun ini?
Transisi energi banyak mencatat perkembangan baru. Proyek Takasago Hidrogen Park di Prefektur Hyogo, Jepang, yang merupakan pusat pertama di dunia untuk validasi teknologi hidrogen, berhasil menyelesaikan validasi pembangkit listrik campuran hidrogen 30% pertama di dunia pada kerangka besar yang terhubung dengan jaringan turbin gas pada 2023. Proyek ini dibagi menjadi tiga bagian untuk produksi, penyimpanan, dan utilisasi hidrogen.
Kemudian, proyek kami di Amerika Serikat, yakni Advanced Clean Energy Storage (ACES) Delta yang berada di Delta, Utah, yang memproduksi hidrogen hijau mulai beroperasi komersial (commercial operation date/COD) tahun ini.
Jadi, ada banyak hal yang bisa menjadi pelajaran dan diimplementasikan di Indonesia. Kami sangat senang melihat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 di mana terdapat adopsi kapasitas pembangkit listrik bertenaga gas. Turbin gas dalam RUPTL berfungsi sebagai baseload (pembangkit yang beroperasi secara terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan listrik minimum atau beban dasar).
Selain itu, ada banyak Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) atau geothermal yang juga menjadi baseload, ini sangat signifikan. Baru-baru ini kami bekerja sama dengan Star Energy Geothermal Darajat II Limited (SEG) untuk memutakhirkan turbin uap dan peralatan terakhir mereka.
Di dunia, saat ini mungkin ada pergeseran dari negara-negara dalam mencapai target iklim mereka. Presiden AS Donald Trump telah menarik AS dari Perjanjian Paris dan mengalihkan fokus kebijakan energinya kembali ke sektor bahan bakar fosil. Bagaimana Anda melihat hal ini mempengaruhi transisi energi di negara-negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia?
Saya tidak merasa pesimis walaupun ada perubahan kebijakan dari beberapa negara di dunia. Kami bisa membantu memberikan solusi dekarbonisasi yang realistis dengan melihat apa yang ada di dalam RUPTL. Kami akan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di Indonesia.
Tahun lalu, pemerintah Indonesia dan Jepang menandatangani Nota Kesepahaman (MoC) untuk kerja sama transisi energi. Kerja sama ini mencakup pengembangan dan penyebaran energi terbarukan, efisiensi energi, dan teknologi energi bersih seperti hidrogen, amonia, daur ulang karbon, dan CCS/CCUS. Apakah Mitsubishi juga akan terlibat dalam kerja sama ini?
Program-program kami merupakan bagian dari mekanisme kerja sama ini dan ada kemajuan yang signifikan. Kami percaya diri untuk berkontribusi. Melalui inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC), kami melanjutkan kerja sama dengan Indonesia.
PLN dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi mitra kami dalam studi kelayakan (feasibility study) fasilitas co-firing untuk pembangkit yang sudah ada. Ini mencakup co-firing turbin gas Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) dengan hidrogen. Studi kelayakan ini merupakan tahap awal untuk kemudian diaplikasikan di pembangkit. Untuk maju ke tahap berikutnya, kami sangat membutuhkan kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan Jepang.
Selain kerja sama dengan PLN untuk penggunaan turbin gas di pembangkit listrik PLN, serta penggunaan biomassa untuk co-firing, apakah Mitsubishi juga menjajaki kerja sama di bidang lain?
Kami sangat menantikan kerja sama lebih lanjut dengan PLN maupun swasta. Kami sudah melaksanakan seminar teknis untuk meng-update kerja sama dengan PLN Grup, PLN Indonesia Power, dan PLN Nusantara Power. Secara berkala, kami juga meng-update teknologi. Misalnya, untuk PLTG Muara Karang kami lanjutkan ke tahapan berikutnya.
Apakah Mitsubishi Power memiliki rencana untuk berinvestasi di sektor energi baru terbarukan di Indonesia?
Kami akan berpartisipasi berdasarkan keahlian kami dalam penyediaan solusi teknologi bagi konsumen kami. Misalnya, kami ikut terlibat dalam menyediakan turbin uap dan generator untuk PLTP Darajat dan Lumut Balai. Kami juga terlibat dalam proyek-proyek hidrogen di Indonesia, termasuk dalam uji coba co-firing hidrogen di pembangkit listrik.
Kami tidak terlibat langsung dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) tetapi hidrogen bisa menjadi solusi penyimpanan energi yang dibutuhkan oleh pembangkit-pembangkit tersebut. Begitu pula dengan turbin gas, yang bisa mengisi kebutuhan pembangkit baseload dalam transisi energi.
Pemerintah Indonesia saat ini sedang gencar mendorong hilirisasi sektor mineral untuk mendukung transisi energi, apakah Mitsubishi Power juga tertarik untuk masuk ke sektor tersebut?
Induk usaha kami, Mitsubishi Heavy Industries, memiliki banyak solusi untuk industri smelter dan petrokimia. Misalnya, sistem pendinginan (cooling system) berskala besar, teknologi turbin gas untuk kompresor, dan fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) untuk petrokimia.
Kami sangat senang bisa masuk dengan kapabilitas kami di bidang-bidang tersebut. Kami akan menggunakan sumber daya teknologi kami untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Terakhir, apa pesan Anda untuk pemerintah Indonesia agar transisi energi ini bisa berlanjut?
Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber daya alam maupun energi baru terbarukan. Dengan kekayaan gas dan mineral, Indonesia punya potensi besar. Perlu adanya diskusi antara sektor publik dengan pemerintah di berbagai area yang penting. Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah financial arrangement atau skema pendanaan untuk proyek-proyek transisi energi ini.
Untuk mengumpulkan pendanaan yang dibutuhkan dalam transisi energi ini diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak dan ini juga menjadi kunci dalam kerja sama AZEC. Dalam hal ini, Mitsubishi Power ingin berkontribusi dan terus mendorong kerja sama ini.