Beda Krisis 1998, 2008 dan 2015

Penulis:
Editor: Arsip
10/9/2015, 13.45 WIB

KATADATA ? Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tren ekonomi global yang melambat. Kebijakan ini juga menjadi upaya pemerintah untuk mendapatkan valuta asing yang tergerus akibat depresiasi rupiah.

Kepala Riset Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada menyatakan paket kebijakan ini menjadi penentu kondisi ekonomi ke depan. Menurutnya bila pemerintah membiarkan, bukan tidak mungkin terjadi krisis yang semakin parah.

Tiga pekan terakhir nilai tukar rupiah telah menembus level 14.000 per dolar AS, nilai ini terendah sejak krisis 1998. Penurunan rupiah menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa krisis 1998 akan terulang. ?Masyarakat awam menyamakan kondisi saat ini seperti 1998, ketika rupiah jatuh ke titik terendah bebas, harga-harga naik dan terjadi pengangguran,? ujar Kepala Riset Korindo Securities Indonesia, Reza Priyambada.

Meski rupiah melemah, Presiden Jokowi menegaskan kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan krisis 1998 maupun 2008. ?Ekonomi kita tidak dalam situasi krisis seperti dulu, meskipun tetap harus waspada,? ujarnya di Istana Negara (31/8).

Perbedaanya terletak pada depresiasi rupiah saat ini hanya 14 persen, lebih rendah daripada tahun 1998 yang mencapai 197 persen. Selain itu, stabilitas harga juga lebih terjaga. Hal ini tercermin pada tingkat inflasi (yoy) di level 7,6 persen, belum menembus 60 persen seperti pada 1998. Indikator lainnya yang menunjukan posisi aman diantaranya rasio kredit bermasalah (NPL), jumlah cadangan devisa, bunga pasar uang antar bank, suku bunga acuan, rasio utang pemerintah terhadap PDB dan rasio utang luar negeri (pemerintah dan swasta) terhadap cadangan devisa.

Adapun beberapa indikator yang mesti diwaspadai, antara lain rasio total utang luar negeri terhadap PDB lebih tinggi daripada tahun 2008, defisit neraca transaksi berjalan sebesar US$ 8,6 miliar, yang tidak terjadi ketika krisis 1998 dan 2008. Juga rasio cicilan utang terhadap ekspor (DSR) 56,3 persen yang lebih tinggi dibandingkan DSR pada 1998 (52%) dan pertumbuhan ekonomi yang melambat di level 4,7 persen, lebih rendah dibanding ketika 2008 (6,1%).

Reporter: Leafy Anjangi